ANAK, BUSUR PANAH YANG SIAP MELESAT

SCNEWS – “……Kaulah busur,  Dan anak – anakmulah anak panah yang meluncur.
Sang Pemanah Maha Tahu sasaran bidikan keabadian.
Dia menantangmu dengan kekuasaan-Nya,
hingga anak panah itu meleset,
jauh serta cepat……” (Khalil Gibran)
Puisi Tentang Anak Kahlil Gibran berjudul “Anakmu Bukan Milikmu” ini mengingatkan kita yang kadang menganggap anak sebagai bagian dari kepemilikan kita. Meskipun kita sadar bahwa anak adalah ciptaan Tuhan yang dipercayakan kepada kita, masih banyak orang tua yang menganggap sebagai hak milik yang proses pendidikan bahkan pembentukannya menjadi hak preoregatif kita sebagai orang tua. Tidak jarang, kita menganggap bahwa anak wajib menjadi kertas fotocopy yang sama persis dengan mesinnya, yaitu orang tuanya. Terkadang kita bahkan lupa bahwa anak adalah makhluk hidup yang mempunyai hak dasar untuk bisa tumbuh kembang dan mempunyai mimpi-mimpinya sendiri.
Atas nama tanggungjawab, kadang kita berupaya membentuk anak-anak sedemikian rupa, dengan dalih untuk masa depan dan kebahagiaan si anak. bahkan kita lupa untuk bertanya apa sebetulnya yang dikehendaki seorang anak atas dirinya. Alasan utama tidak membawa mereka berdialog tentang keinginannya adalah karena mereka adalah makhluk kecil lemah yang masih perlu bimbingan dan apa yang disampaikannya bisa saja salah karena belum berpengalaman. Mungkin ada benarnya apa yang menjadi opini para orang tua yang mengambil jalan ‘parenting’ seperti ini. Kadang mereka melihat contoh dan juga melihat betapa rentannya tantangan kehidupan untuk si anak. Sehingga merasa berkewajiban untuk menyiapkan segala sesuatunya demi kenyamanan si anak.
Tetapi belajar dari cuplikan puisi karya Khalil Gibran ini, kita bisa menyimpulkan arti retorika puisi bahwa hubungan antara orangtua dan anak hanya memberikan arahan dan bimbingan tetapi bukan memaksakan keinginan dan pemikirannya. Gibran jelas mengatakan bahwa anak-anak bukanlah milik orang tuanya. Anak-anak punya kehidupan sendiri. Memang betul anak-anak lahir “melalui” orang tuanya, tapi bukan orang tuanya yang memberi anak-anak itu kehidupan, Tuhanlah yang memberikannya. Anak-anak hanya dititipkan oleh Tuhan kepada orang tua mereka. Dan meski orang tua sudah merawat dan membesarkan anak-anaknya, namun mereka bukan hak orang tua untuk menguasainya.
Orang tua boleh bahkan wajib memberikan kasih sayangnya kepada anak-anak. Namun bukan berarti orang tua boleh memaksakan kehendaknya kepada anak-anaknya “atas nama” kasih sayang. Orang tua juga tidak layak memaksakan pikirannya, karena anak-anak sebagai manusia yang utuh mempunyai pemikiran sendiri. Orang tua boleh memberikan anak-anaknya rumah untuk badan mereka, tapi bukan “sangkar” untuk jiwa mereka. Anak-anak punya masa depan yang diimpikannya sendiri, dan orang tua tidak berhak untuk mengatur masa depan anak-anaknya itu. Bahkan sekedar niat pun tidak boleh. Mengarahkan ke jalur yang baik memang boleh, tapi bukan mengatur masa depan anak-anaknya
Apapun yang dilakukan oleh anak semuanya merupakan ketetapan yang maha Kuasa. Kalimat “anak-anaknya adalah anak panah, dan kita adalah busur”, artinya kita orang tua sebagai busur  baru akan memiliki makna sebagai orang tua sejati jika bisa melepas anak panahnya, yaitu anak-anak kita, ke arah yang terbaik sesuai dengan potensi mereka. Biarkan anak panah itu melesat mengejar target berupa mimpi dan cita-citanya. Karena Tuhan, mencintai anak panah  atau anak-anak yang berjalan lurus menuju targetnya, sebagaimana Tuhan juga mencintai busur atau orang tua yang selalu mendukung setiap kegiatan positif anaknya demi mencapai cita-cita yang diinginkan anaknya itu.
Potongan puisi ini sangat dramatis, kontroversial, sekaligus bagai bom yang meledak di telinga orang tua yang masih berpikir anak sebagai hak milik, bagian dari kekayaan yang dikuasai. Kebanyakan orang tua selalu ingin menguasai anak-anaknya sebagai sesuatu yang bisa mereka atur semaunya. Dan sikap orang tua seperti ini, bukan terbentuk dengan sendirinya, kadang merupakan sebuah ‘warisan’ dari orang tuanya dahulu. Sebuah budaya turun temurun, dan keyakinan yang menjadi pakem dalam mendidik anak. Kadang saat orang tua berada dalam keadaan dilema, ada ketidakrelaan untuk melakukan gaya ‘parenting’ yang sesuai, maka kalimat ampuh yang sering keluar adalah gaya dan warisan turun temurun dalam mendidik, yang ternyata telah menjadikan para orang tua berhasil dalam hidupnya.
Pola asuh dan didik yang keras misalnya dari para orang tua sebelumnya, ternyata menghasilkan sosok yang tangguh, berhasil dan mempunyai daya juang serta disiplin yang kuat. Bahkan dikaitkan dengan adat istiadat, mempunyai budi pekerti, tingkat kesopanan dan kepatuhan yang tinggi. Sementara, pola asuh ‘parenting’ modern, yang menjadikan anak sebagai subyek yang diberi keleluasaan atas pilihan-pilihan hidupnya, kadang menjadikan mereka tidak membumi, arogan. Dengan kebebasan berpendapatnya, cenderung tidak memahami akar budaya terkait budi pekerti dan sopan santun. Kebebasan dalam memilih serta berekspresi dan menentukan pilihan, sebagian orang tua juga berpendapat akan menghasilkan anak yang kurang dalam daya juang melawan ‘kesakitan’ sebuah proses. Karena memang kecenderungan anak sekarang dengan terbukanya akses informasi, akan mudah untuk menolak sesuatu yang sulit, yang dianggap ‘menganiaya’ intelektual mereka. Mereka dengan mudah akan beralih kepada pilihan lain yang menurut pandangannya lebih menghargai dirinya dengan kompetensinya. Anak-anak yang melesat dengan kecepatan tinggi, menjadi anak panah yang tajam, melesat ke satu titik mimpinya, tapi kurang terasah dalam prosesnya.
Kondisi seperti ini akhirnya membuat perdebatan tentang pola asuh yang sesuai, sehingga sebagian orang tua membenarkan apa yang menjadi keyakinannya, dan kembali menerapkan pola asuh lama yang sudah turun temurun, dengan mengedepankan adat, budi pekerti bahkan agama. Tentunya akan sangat dilema sekali, dan diperlukan hati yang luas untuk akhirnya menentukan yang terbaik. Menggabungkan pola asuh yang memberikan kebebasan pada anak untuk berekspresi mengeluarkan sisi terbaiknya, harus diimbangi dengan mengenalkan pada akar budaya dan akar keluarga, tapi harus melepaskan rantai rasa memiliki yang begitu tinggi, agar tidak ada kecenderungan egoisme orang tua yang menentukan. Pastinya sulit, tapi harus bisa agar anak bisa tumbuh kembang dan menjadi sosok terbaik versi dirinya tapi tidak tercerabut dari akar budayanya yang baik untuk mengasah karakternya.
Tidak ada pakem sebagai ‘manual book’ dalam pola asuh anak, semua dikembalikan kepada masing-masing orang tuanya. Hanya saja yang menjadi acuan adalah, kita sebagai orang tua harus bisa menjadi busur, sebagai landasan yang lengkap sebelum anak-anak kita lepaskan menuju titik sasaran yang tepat sesuai kompetensinya.Saat memupuk landasan ini, sepenuhnya adalah cinta dan kasih sayang, bukan doktrin satu arah yang membuat seorang anak bahkan kehilangan asa percaya dirinya untuk menyampaikan apa keinginannya. Tetap harus menjadi busur yang kuat, agar anak panahnya bisa melesat jauh. Diasah keruncingan, ukuran dan titik lepasnya, semua adalah bekal yang dibungkus dengan adat, budaya dan agama. Tetapi tetap bukan untuk menjadi sarana penguasaan dan doktrinasi kekuatan orang tua kepada anak.
Pastinya bukan hal mudah, tapi juga bukan hal sulit, jika kita kembali memahami apa arti posisi orang tua dan anak, seperti selayaknya busur yang tangguh dan anak panah yang hebat.
DhyRozz
#catatandhyrozz
#dhyrozzlife
#dhyrozzactivity
#perempuanindonesia
#perempuansetengahabad

 

 

 

Terbaru

spot_img

Related Stories

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini