“GUGATAN”

GUGATAN

“Saya tidak bermaksud menampikan adanya gugatan dalam mempertahankan dan memperjuangkan hak dan keyakinan yang kita yakini kebenarannya, akan tetapi sebelum melakukannya, maka ada baiknya kita renungkan pertanyaan mendalam yang menjadi motivasinya. Orang bijak bersikap “mengambil hikmah” adalah langkah terbaik dalam kehidupan, ketimbang memperjuangkan dengan gugatan yang ada pamrihnya. Atau ketidak ikhlasan kita menerima takdir kehidupan, maka gugatan yang kita lakukan adalah sama dengan menggugat Tuhan”.

(Syaifudin)

SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Sahabat secangkir kopi seribu inspirasi, Gugatan secara sosial beranjak dari keberagaman kepentingan dan harapan pada suatu proses interaksi sosial dalam kerangka memenuhi kebutuhan dasar (basic personal need) dan kebutuhan yang bersifat komplementer, ditemukan adanya ketidak sesuaian antara harapan dengan kenyataan. Gap antara harapan dengan kenyataan ini secara personal dipahami sebagai “keculasan” pihak lain yang tidak memenuhi apa yang dianggap menjadi haknya dalam interaksi sosial tersebut.  dari sinilah kemudian “gugatan” kepada pihak lain tersebut, baik secara langsung ataupun melalui lembaga yang menjadi tempat penyelesaian gugatan.

Sahabat ! pada tataran kehidupan bernegara, gugatan muncul sebagai wujud dari ketidakpuasan warna negara terhadap regim penguasa atau pemerintah yang dianggap tidak adil dalam memberikan hak-hak warga negara, baik itu dalam rangka pemenuhan hak dan pembebanan kewajiban ataupun juga dalam pengelolaan sumber daya alam yang dinilai ada keberpihakan pada kelompok atau golongan tertentu.

Sahabat ! begitu juga dalam bidang politik, proses demokrasi yang sudah ditentukan “rule of game”nya dalam peraturan perundang-undangan, terkadang dinilai hanya berada dalam tataran normatif yang dalam implementasinya dinilai masih lemah dan terdapat kecurangan-kecurangan, sehingga diri dan kelompoknya dirugikan dalam proses politik itu, bahkan “rule of game” yang dituangkan dalam peundang-undangan itu sendiri dinilai sudah berlaku tidak adil dalam pengaturannya.

Sahabat ! dalam aspek hukum yang banyak bersentuhan dengan rasa keadilan terlebih lagi istilah gugatan ini menjadi menu dalam kajian dan praktek hukum itu sendiri, karena setiap adanya gugatan pasti didahului oleh adanya sengketa dan perselisihan yang dirasakan tidak adil, tidak seimbang, tidak netral, tidak memenuhi prestasi dan telah adanya pelanggaran hukum dari subjek yang satu terhadap subjek lainnya. Cakupannya menjadi luas, karena hukum melingkupi seluruh aspek kehidupan manusia baik itu yang bersifat privat  maupun yang bersifat publik.

Sahabat ! deretan gugatan itu bisa sangat panjang kalau diteropong pada semua aspek dan dimensi kehidupan dengan sikap dasar dati ketidak puasan dan perasaan ketidak adilan dalam kehidupan, oleh karena sisi yang sangat ekstrem dari gugatan itu bukan pada tataran gugatan pada individu lainnya dan atau kelompok dan lembaga bahkan negara, akan tetapi Tuhanpun bisa digugat oleh mereka, yang diakibatkan oleh kondisi ketidak puasan terhadap kondisi yang ada pada dirinya dengan membandingkan dengan pihak lain dari apa yang sudah diberikan oleh alam (baca : Tuhan) kepada diri dan hidupnya, sehingga tidak jarang kita mendengar adanya gugatan terhadap keadilan Tuhan dengan mengatakan Tuhan tidak adil pada dirinya.

Sahabat ! begitulah hidup, gugatan menjadi jalan untuk protes dan sekaligus memperjuangkan apa-apa yang kita anggap tidak adil, terzalimi, ditipu, dikhianati, dikucilkan, ditinggalkan, dibodohi dan seterusnya yang semuanya menggambarkan pada posisi diri sebagai pihak yang “TERSAKITI” pada suatu peristewa atau kejadian atau keadaan dalam proses menjalani kehidupan tersebut.

Sahabat ! mari kita renungkan sejumlah pertanyaan berikut ini, yaitu apakah gugatan itu akan bisa menyelesaikan “ketersakitan” yang kita rasakan itu ? ataukah gugatan itu kita lakukan hanya untuk memenuhi “hasrat” dasar keakuan kita terhadap kehidupan yang akan melawan kalau tersakiti atau semacam “pelampiasan dendam” untuk melakukan pembalasan ? ataukah gugatan itu untuk menutupi kesalahan yang kita lakukan ? atau apakah gugatan itu menunjukan diri kita tidak bisa menerima keadaan yang meninpa dan merugikan kita ? ataukah gugatan itu hanya untuk menaikan popularitas kita, atau apakah gugatan itu sebatas untuk mendapatkan pengakuan, atau apakah gugatan itu semata hanya untuk menghambat dan menghancurkan orang, atau apakah gugatan itu kita lakukan karena ketidakmampuan kita menangkap hikmah dari suatu peristewa ?

Sahabat ! saya tidak bermaksud menampikan adanya gugatan dalam mempertahankan dan memperjuangkan hak dan keyakinan yang kita yakini kebenarannya, akan tetapi sebelum melakukannya, maka ada baiknya kita renungkan pertanyaan tersebut di atas. Orang bijak mengambil sikap “mengambil hikmah” adalah langkah terbaik dalam kehidupan, ketimbang memperjuangkan dengan gugatan yang ada pamrihnya. Atau ketidak ikhlasan kita menerima takdir kehidupan, maka gugatan yang kita lakukan adalah sama dengan menggugat Tuhan.

Salam secangkir kopi seribu inspirasi.

Terbaru

spot_img

Related Stories

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini