HARGA DIRI (“SERI OPINI IBG DHARMA PUTRA”)

HARGA DIRI

Hanya manusia cerdaslah yang memilih untuk tidak memiliki martabat dan menjadi manusia tak berharga. Dia seolah rebah rendah, bertiarap rata dengan tanah tanpa satu buah martabatpun yang tersisa padanya. Menjadi manusia tak berharga dengan keluguan yang dipersepsikan sebagai bodoh tingkat dewa.
Oleh: IBG Dharma Putra

SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Sahabat saya, memberi pesan dalam bentuk tanda titik, didepan pintu kamarnya, sebagai pertanda, tak ingin ngobrol dan hanya akan fokus belajar saja pada hari itu.

Pesan aneh, unik bergaya anak muda di masa itu, terlihat lucu, seperti pesan si buta, dengan titik titik braile kepada sahabat yang tidak bisa membaca huruf tersebut.

Tanda titik hanya bisa dipahami oleh sahabat sangat dekat saja dan tidak akan dimengerti oleh teman lain. Dan tentunya menimbulkan kebanggaan kelompok disaat itu.

Nostalgia kegilaan itu membawa saya pada kesimpulan akan pentingnya pemahanan terhadap status dalam sebuah komunikasi. Penempatan martabat manusia secara kurang tepat, dapat berpotensi rusuh dan menjadi alasan kemacetan komunikasi.

Dan tanpa saya ketahui penyebabnya, ingatan pada titik dan gradasi status persahabatan, menggerakan jari jari saya untuk mulai menulis tentang harga diri, salah satu kepemilikan manusia yang sangat sakral sekaligus tabu jika disentuh sembarangan.

Harga diri yang merupakan padanan kata pride dalam bahasa inggris, dalam kehidupan keseharian tampak seolah sudah menjadi sebuah kebudayaan. Dikatakan begitu karena harga diri seolah merupakan aspek budaya, karena melekat erat dalam setiap gerak langkah kehidupan manusia.

Sebagai unsur kebudayaan, harga diri tampak wajib untuk selalu diperhitungkan dalam tata pergaulan antar manusia. Harga diri biasanya bergradasi, artinya semakin tinggi strata sosial ekonomi manusia maka harga dirinya semakin tinggi juga. Harga diri dikeseharian tak dibedakan dengan gengsi, prestise, perbawa, nama baik, martabat, atau kehormatan.

Dan setiap manusia cenderung sangat menjaga martabatnya itu. Martabat termasuk bagian peka manusia sehingga jika manusia disikapi tak setara dengan martabatnya, akan terjadi keributan akibat luapan emosi yang tak terkendali.

Harga dirilah yang membuat manusia menjadi marah saat namanya terlupakan dan tidak disebutkan sebagai salah satu undangan pertemuan, apalagi jika ternyata ada nama manusia dengan martabat setara atau bahkan berhirarki lebih bawah yang disebutkan.

Harga diri pula yang bisa membuat sakit hati bahkan bisa berujung dendam, iri hati serta dengki jika postingan instagram seorang manusia ternyata hanya sedikit penyukanya. Postingan itu disukai tak sebanyak harapan pemilik instagram tersebut padahal postingan lain dari manusia lain yang setara dengannya mendapat jempol sangat banyak.

Harga diri juga bisa menciptakan kesedihan manusia, manakala ada manusia lain yang bergradasi setara dan lebih tinggi, ternyata tidak mempedulikan keberadaannya dan bahkan lebih peduli kepada manusia yang selama ini menjadi saingannya.

Pada pokoknya harga diri manusia mempunyai hubungan sangat erat dengan emosi, karena bisa timbulkan mager, baper, kuper dan caper serta segala kegalauan beserta akibatnya didalam pergaulan kemanusiaan.

Harga diri yang salah kelola, juga dapat menimbulkan kekecewaan, merasa terhina, merasa diremehkan bahkan merasa dimusuhi oleh orang sekitar yang diharapkan mestinya memberikan hormat, selalu mendahulukan dan menjadi sahabat terdekat.

Harga diri bahkan cendrung akan bisa memberi pengalaman rasa sakit yang belum pernah dirasakan sebelumnya, dengan gradasi yang semakin lama semakin menyakitkan.

Walaupun sebegitu besar potensi sakit hati yang ditimbulkan oleh harga diri, ternyata tak banyak manusia yang menjadi sadar serta tetap terjebak dalam kepemilikan harga diri, menjaganya dan berharap sekaligus memaksa manusia lain untuk menempatkan dirinya setara dengan harga dirinya itu

Manusia tak sadar bahwa setinggi apapun harga dirinya tetaplah merupakan sebuah harga yang akan dapat dibeli. Pendapat itu, ada dibenak saya, mungkin karena saya tumbuh besar dalam asuhan keluarga sederhana tapi dipenuhi oleh ajaran tata nilai serta prinsip kehidupan.

Gaya pengasuhan sederhana ini, membuat saya berpandangan tentang adanya jebakan harga diri dan hanya manusia cerdas yang tercerahkan yang dapat lepas dari jebakan maha dahsyat itu.

Hanya manusia cerdaslah yang memilih untuk tidak memiliki martabat dan menjadi manusia tak berharga. Dia seolah rebah rendah, bertiarap rata dengan tanah tanpa satu buah martabatpun yang tersisa padanya. Menjadi manusia tak berharga dengan keluguan yang dipersepsikan sebagai bodoh tingkat dewa.

Dikatakan cerdas karena pilihan itu, membuat manusia seperti itu, tak terbeli. Tak ada cara untuk membeli manusia yang tak memiliki pajangan serta label harga.

Dan pilihan itu, akan mengantarnya kearah jalan lurus kebahagiaan jika setiap kosong kehidupan akibat tiadanya harga diri diisinya dengan jutaan nilai luhur kehidupan.

Harga yang membuat marah diganti dengan kesabaran, yang membuat remeh dilawan dengan kerendah hatian, yang membuat sakit hati dilawan dengan ketulusan dan yang membuat terasa dimusuhi digantikan dengan nilai kasih sayang berkeadilan.

Berada di kerendahan membuatnya mudah memahami lingkungannya dan nilai luhur yang dipunyainya akan bisa terpakai sesuai pemahamannya tersebut. Bukankah pemahaman yang tepat disertai dengan penyikapan yang tepat terhadap kehidupan adalah bentuk dari kebahagiaan.

Ternyata ada paradok didalam martabat dan harga diri itu, mempertahankannya membuat manusia menjadi murahan dan bisa dibeli sedangkan membuangnya membuat hidup lebih berharga.

Buanglah harga diri, lupakan martabat, karena setiap harga adalah penghambatmu untuk mencapai bahagia. Dan ketahuilah bahwa bahagia adalah anugrah, karena bahagia itu, selalu berada dalam lindungan, rahmat serta nikmat Tuhan YME

Banjarmasin
22052021

Terbaru

spot_img

Related Stories

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini