HITAM PUTIH DWARAPALA (SERI OPINI : IBG DHARMA PUTRA)

HITAM PUTIH DWARAPALA

“Prinsip penegakkan hukum dengan sangat jelas dan tanpa kompromi itu, memastikan hukum diterapkan sesuai dengan aturan tertulisnya dan bukan diterapkan semaunya, sesuai dengan prilaku aparat hukum. Seorang penjaga tak boleh dikenalkan warna lain, bahkan dikenalkan warna abu abupun tidak boleh, sebagai simbolisasi bahwa pemberian kebijaksanaan, tidaklah berada ditangan aparat penegak hukum tetapi berada ditangan pemegang mandat rakyat”.
(Oleh : IBG Dharma Putra)

SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Jika berwisata ke Bali dan menyempatkan diri mengunjunggi bangunan tradisional bali, baik berupa pura, griya, puri atau balai desa adat, terlihat dikanan dan kiri pintu pagar bangunan, terdapat dua patung Dwarapala.

Dwarapala berwujud patung berbadan kekar berotot, lengannya besar, memegang senjata gada dengan kepala yang dihiasi rambut tebal dan ikal, sehingga tampak sangat berwibawa.

Expresi Dwarapala sangat unik, mata melotot, taringnya panjang dan besar sehingga tampak menyeramkan. Wajahnya yang seram tampak ramah oleh senyuman tipis yang menghiasi bibirnya.

Yang paling menarik perhatian dan menjadi bahan pembicaraan, adalah selembar sarung poleng yang dikenakan oleh Dwarapala. Karena Dwarapala seolah sarung poleng adalah otentitas daerah Bali.

Otentitas yang diperkuat oleh kenyataan dari sarung poleng yang juga dikenakan oleh para pecalang, jika sedang bertugas, mengawasi dan memastikan tidak adanya gangguan terhadap keberlangsungan sebuah acara adat di Bali.

Dwarapala maupun Pecalang, mempunyai profesi yang mirip, sama sama sebagai tukang jaga. Dwarapala penjaga gerbang sedangkan pencakang adalah penjaga aturan adat.

Keduanya sama sama,mengenakan sarung poleng, yaitu kain dengan motif kotak berwarna hitam putih, sewarna dengan warna papan catur klasik atau mirip dengan warna tanda dimulainya balap mobil formula.

Warna yang sangat ikonik, yang membuat wisatawan merasakan suasana amat berbeda jika berwisata ke Bali. Dan hitam putih itulah yang menjadi inspirasi dari tulisan ini.

Dwarapala adalah penjaga pintu masuk, yang menjadi batas antara bagian luar dan bagian dalam sebuah bangunan. Dan sebagai tukang jaga batas luar dan dalam, Dwarapala adalah simbol aparat penegak hukum.

Dia tampak besar dan berotot, yang menjadi lambang kekuatan dan keberanian. Amat kuat menjaga integritas disertai keberanian dalam menegakkan aturan yang berlaku.

Keberanian paripurna, yang secara lengkap meliputi keempat aspek keberanian, untuk menghadapi tantangan fisik, kesulitan moral, tekanan sosial maupun ketakutan spiritualnya.

Untuk menjadi berani secara paripurna, layak jika para aparat penegak hukum dibekali dengan pelatihan jiwa dan raganya disertai bekal finansial yang memadai, seperti gada yang dibawanya dan mahkota rambut yang dimilikinya.

Expresi yang menyeramkan dengan mata yang melotot, mensimbolkan mutu pengawasan yang harus dikedepankan dengan keras. Sebuah sentuhan ketegasan tertangkap dari senyum tipis yang tersungging dibibirnya.

Sebuah ketegasan, seperti tulisannya yang terdiri dari kata TEGA disertai huruf S,memang harus tega untuk menindak penyimpangan dengan niat memperbaiki karena sayang.

Sedangkan sarung poleng hitam putih yang dikenakan Dwarapala adalah simbol penegakkan hukum tanpa kompromi. Para aparat penegak hukum hanya tahu dua warna yaitu warna hitam dan warna putih. Dengan pemahaman bahwa tidak hitam, berarti putih.

Selayaknyalah begitu, aparat penegak hukum, hanya tahu benar dan salah. Aparat hukum wajib hanya tahu bahwa tidak benar itu berarti salah dan tidak salah itu adalah benar.

Seharusnya benar dan salah bagi aparat hukum merupakan variabel dengan skala diskrete binomial, cuma berisi dua katagori dengan ruang kosong diantara keduanya. Tak boleh ada kompromi dan ketidak jelasan.

Prinsip penegakkan hukum dengan sangat jelas dan tanpa kompromi itu, memastikan hukum diterapkan sesuai dengan aturan tertulisnya dan bukan diterapkan semaunya, sesuai dengan prilaku aparat hukum. Seorang penjaga tak boleh dikenalkan warna lain, bahkan dikenalkan warna abu abupun tidak boleh, sebagai simbolisasi bahwa pemberian kebijaksanaan, tidaklah berada ditangan aparat penegak hukum tetapi berada ditangan pemegang mandat rakyat.

Ada mekanisme pemberian warna yang berbeda sesuai polarisasi warna pelangi, sebagai simbol kearifan hukum negara, yang ada di tangan mandatoris, dalam bentuk maaf, pengampunan, pemberian tolerasi dan sebagainya.

Dengan begitu keputusan pemberian warna hitam yang tak bisa ditawar dari Dwarapala, bisa dimintakan kebijakan dari pemilik rumah. Dan pemilik rumah akan menggunakan kewenangannya untuk melakukan penilaian kembali dengan aspek yang lebih paripurna.

Ada mekanisme bagi setiap orang untuk menolak keputusan yang diberikan oleh aparat penegak hukum dan menggunakan hak untuk meminta keputusan pada penentu kebijakan sampai tingkat yang teratas.

Bagaimana cara pengenalan dan pemilihan warna bagi setiap orang, tentunya menjadi kewenangan penuh pemilik rumah dan dalam keseharian, sebaiknya dipasrahkan kepada para ahli hukum.

Dan akan baik, jika saya hanya menulisnya, sampai disini saja

Kota Kelahiran
10062021

Terbaru

spot_img

Related Stories

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini