MANUSIA DAN HUKUM (SERI RENUNGAN INSPIRATIF ROBENSJAH SJACHRAN)

MANUSIA DAN HUKUM

“Norma hukum tidak berjalan sendiri. Ada kalanya, dan bahkan sebagai landasannya, hukum dipandang sebagai refleksi moral, etika, dan keadilan. Antara kaidah hukum, agama, kesusilaan, sopan santun, bertemu dalam format perundang-undangan. Kebebasan beragama, dilarang membunuh, mencuri, bahkan hanya sekadar memaksa orang melakukan atau membiarkan dengan memakai kekerasan atau ancaman, kini dilarang undang-undang.”

(Oleh : Robensjah Sjachran)

SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Manusia diciptakan sangat istimewa, karena dari unsur jasmani dan rohani yang berbeda dengan makhluk lainnya. Mereka yang berpaham antroposentrik berpandangan manusia adalah pusat dari segala kegiatan kehidupan, sementara alam dan segala isinya hanya sekadar alat bagi pemuasan kepentingan hidup manusia. Pandangan yang demikian ditentang keras oleh yang berpaham ekosentrik, bahwa semua makhluk hidup di muka bumi ini berkaitan erat satu dengan lainnya.

Manusia sebagai makhluk sosial hidupnya berkelompok (homo homini socius). Tujuan hidup berkelompok tidak lain sebagai modus survival. Manusia tidak dapat bertahan hidup sendirian untuk melawan ganasnya alam, dan buasnya hewan. Manusia tidak mungkin hidup seorang diri, ia perlu bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidup dan mengatasi konflik dengan manusia lainnya.  Sementara itu “homo homini lupus”, ujar Plautus, dramawan Romawi (254 SM – 184 SM), manusia adalah serigalanya manusia. Manusia yang seharusnya menjadi manusia sosial, diantaranya dapat menjadi “serigala” yang memakan atau menikam sesamanya.

Hukum tidak dapat dipisahkan dengan manusia sebagai makhluk sosial. Cicero, filsuf dan negarawan Romawi kuno (106 SM – 43 SM), mengatakan  ubi societas ibi ius – di mana ada masyarakat, di situ ada hukum. Kalau perkataan Cicero itu kita ikuti, berarti hukum setidaknya sudah ada ketika manusia hidup berkelompok.

Dalam kehidupan bermasyarakat yang dipenuhi dengan interaksi warganya, manusia perlu mengadakan kesepakatan-kesepakatan untuk dijadikan pedoman atau patokan dalam bertingkah laku yang berisi perintah dan larangan. Pedoman bertingkah laku itu disebut “norma” atau “kaidah”. Jadi, norma atau kaidah secara gampangnya adalah aturan atau harapan yang ditegakkan secara sosial. Itulah sebabnya mengapa norma agama, norma moral/kesusilaan, norma etika tingkah laku/sopan santun, dan norma hukum, seluruhnya disebut sebagai norma sosial.

Manusia sebagai makhluk sosial yang hidup antar sesamanya saling berinteraksi satu dengan lainnya, masing-masing bersifat dualistis, yaitu sebagai pribadi dan sebagai komponen dalam kehidupan sosial. Dalam aspek pribadi masing-masing manusia,  terbagi dua juga, yaitu aspek batiniah dan aspek lahiriah. Sasaran norma sosial terhadap manusia berbeda-beda. Pada norma agama, titik berat sasarannya pada pribadi antar individu dan aspek sikap batin masing-masing. Kekuatan mengikatnya ada dalam diri manusia, dan ketaatan terhadap kaidah agama bergantung sepenuhnya dengan iman masing-masing.

Pada dasarnya manusia dapat berbuat menurut kehendaknya secara bebas. Namun, manusia adalah makhluk bermoral, yang tidak ingin dalam kehidupan bermasyarakat  dicap sebagai manusia amoral (asusila). Norma kesusilaan sasarannya kepada pribadi manusia, dan asalnya dari hati nurani (batin) manusia. Norma kesusilaanlah yang mendorong manusia berbuat baik kepada sesamanya, menjauhi perbuatan yang buruk. Jangan membunuh, jangan mencuri, jangan ingkar, jangan khianat, berbuat jujur, bertanggung jawab, toleran, disiplin, hormat kepada sesama, semuanya mengandung nilai-nilai moral yang ideal.

Sementara itu norma sopan santun atau etika tingkah laku sasaran keberlakuannya lebih kepada pengaturan aspek manusia sebagai makhluk sosial dan lahiriahnya. Kaidah sopan santun berfungsi sebagai panduan dan pengendalian tingkah laku yang dapat diterima oleh kelompok masyarakat tertentu, sehingga tercipta tatanan yang harmonis dan ketertiban dalam pergaulan. Antre dengan tertib sesuai dengan giliran, berilah tempat duduk bagi anak-anak, orang tua, ibu hamil, tidak menggunakan sandal jepit dan baju singlet ketika hadir dalam acara resmi, adalah norma sopan santun yang berlakunya pada komunitas sosial dalam teritorial terbatas. Makanya ada peribahasa “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”.

Etika tingkah laku membebani (mewajibkan) anggota masyarakat, tapi tidak memberikan hak kepada anggota komunitasnya. Ibu yang hamil tidak dapat menuntut (haknya kepada) anak muda untuk mengosongkan kursi yang didudukinya di bus atau MRT. Sanksi atas pelanggaran etika tingkah laku hanya sebatas reaksi cemoohan, cibiran, celaan, hinaan, pandangan yang merendahkan, hingga pengucilan dari pergaulan.

Norma hukum dikenal belakangan. Norma hukum diperlukan oleh masyarakat karena ketiga kaidah sosial lainnya tidak dapat diandalkan untuk tertibnya pergaulan hidup dalam bermasyarakat. Maklum, norma kesusilaan, norma sopan santun, dan norma agama bersifat membebani orang dengan kewajiban saja, tidak memberikan hak kepada orang lain, sehingga daya kerja sanksinya tak begitu memberatkan secara lahiriah maupun batiniah. Berbeda dengan norma hukum yang selain membebani orang dengan kewajiban, namun pada saat yang sama memberikan hak. Maka, pelanggaran atas hak oleh orang yang diwajibkan berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dapat ditindak oleh institusi resmi bentukan masyarakat. Jadi ada sanksi atas pelanggaran hak.

Namun demikian, norma hukum tidak berjalan sendiri. Ada kalanya, dan bahkan sebagai landasannya, hukum dipandang sebagai refleksi moral, etika, dan keadilan. Antara kaidah hukum, agama, kesusilaan, sopan santun, bertemu dalam format perundang-undangan. Kebebasan beragama, dilarang membunuh, mencuri, bahkan hanya sekadar memaksa orang melakukan atau membiarkan dengan memakai kekerasan atau ancaman, kini dilarang undang-undang. Orang yang melanggar hukum dan merugikan orang lain  karena kesalahannya wajib untuk mengganti kerugian, semula hanya diartikan sebagai perbuatan melanggar undang-undang, tapi kini – sejak putusan kasus Lindenbaum vs Cohen di Amsterdam tahun 1919 – telah diartikan luas, tidak hanya melanggar undang-undang saja namun juga bertentangan dengan tata susila, kepatutan, ketelitian dan sikap hati-hati, yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat atau terhadap harta benda orang lain.

*Dr. Robensjah Sjachran, SH.,MH. Founder Bens Institut

Terbaru

spot_img

Related Stories

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini