MEMAHAMI HUKUM (SERI RENUNGAN ROBENSJAH SJACHRAN)

MEMAHAMI HUKUM

“Hukum itu sebenarnya adalah untuk mengatur kehidupan bermasyarakat demi kelangsungan hidupnya. Hukum pada dasarnya tidak dirasakan ada ketika interaksi antar warga masyarakat berjalan smooth. Kehadiran hukum baru diperlukan ketika kepentingannya terganggu. Manakala ada perbuatan tidak menyenangkan, haknya dilanggar orang, terjadi kelalaian, wanprestasi, atau terjadi konflik kepentingan, barulah orang mempersoalkan hukum, memerlukan keberadaan hukum. Artinya, raison de’etre (reason for being) hukum ketika terjadi pertentangan kepentingan antar warga masyarakat”.

(OLeh : Robenjah Sjachran*)

SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Sedekah Tak Sekadar Rupiah, Para sahabat yang mendambakan kebahagiaan hidup dan kesejahteraan, salam sehat dan salam sejahtera, semoga Allah selalu memberikan rahmat dan berkahnya kepada kita semua. Berbuat baik terhadap sesama, sekecil apapun kebaikan itu, adalah sama nilainya dengan sebuah sedekah.  Sedekah, atau sadakah, adalah pemberian kepada orang lain secara sukarela dan ikhlas tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu. Sedekah tidak hanya  menyumbangkan harta, tepatnya harta yang berwujud materi, tapi juga “harta” non materi.Janganlah engkau meremehkan kebaikan sekecil apapun, walaupun itu berupa cerahnya wajahmu ‎terhadap saudaramu” (HR. Muslim No. 2626).‎ Senyum di hadapan saudaramu adalah sedekah bagimu (HR At-Tirmidzi).

Pada kesempatan ini saya menyapa para sahabat dengan “senyuman”,  dengan rangkaian tulisan mengenalkan Hukum, yaitu  peraturan hidup yang sifatnya mengatur dan mewajibkan untuk melindungi kepentingan manusia, yang merasuki semua aspek kehidupan manusia, walaupun hanya sekadar  beberapa untaian kata bermakna hukum.

Apa “hukum” itu ?

Emmanuel Kant, filsuf Jerman yang lahir dan wafat di Konigsberg – kini beralih nama Kaliningrat –  mengatakan “noch suchen die juristen eine definition zu ihrem begriffe von recht”, tidak ada seorang yuris pun yang mampu membuat suatu definisi hukum yang tepat. Jangankan “definisi”, memberikan “istilah” atau “pengertian” yang memuaskan orang pada umumnya saja terhadap pertanyaan itu: adalah hal yang sulit !  Penyebabnya karena hukum itu tidak dapat ditangkap pancaindra.

Ada tiga orang disabilitas netra yang memegang seekor gajah pada tempat berbeda, satu pada belalai, satu pada tubuhnya, satunya lagi pada telinganya. Dapat dipastikan ketiganya tidak dapat memberikan pengertian, istilah, apalagi definisi tentang gajah secara tepat. Andaipun mereka sebagai man on the street tidak tuna netra, melihat adanya hukum dari kiprah para penegak hukum (polisi, jaksa, advokat) pasti akan berbeda satu dengan yang lain, karena bergantung dengan persepsi pancaindra mereka masing-masing.

Hukum tidak dapat dipisahkan dengan manusia, karena hukum  – disamping norma sosial yang lainnya  – diharapkan membawa kehidupan bersama yang damai dan sejahtera. Eksistensi  hukum bergantung dengan manusia sebagai figur sentral, karena keberadaannya semata-mata untuk mengatur kehidupan manusia dalam bermasyarakat.

Manusia adalah makhluk Allah yang diciptakan untuk menjadi penguasa-penguasa di  bumi ini. Allah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Manusia diciptakan sangat istimewa, karena dari unsur jasmani dan rohani yang berbeda dengan makhluk lainnya. Manusia juga lebih dimuliakan Allah, sehingga malaikat pun takzim kepadanya. Manusia adalah pusat dari segala kegiatan kehidupan. Namun demikian, sudah kodratnya manusia diciptakan dengan memiliki kelemahan-kelemahan. Salah satu kelemahannya bersifat tamak. Manusia juga memiliki ego, memiliki kepribadian dan rasa harga diri.

Makhluk Sosial

Manusia adalah makhluk sosial yang hidupnya bermasyarakat saling berinteraksi satu dengan lainnya. Dalam konteks demikian, manusia adalah makhluk yang bersifat dualistis, sebagai pribadi dan sebagai komponen dalam kehidupan sosial. Pribadi manusia sendiri punya dua aspek, aspek batiniah dan aspek lahiriah. Nah, titik berat hukum tertuju hanya kepada manusia sebagai makhluk sosial dan aspek lahiriah saja, tidak kepada aspek batiniahnya. Itulah sebabnya Ulpianus mengatakan: “cogitationis poenam nemo patitur”, tidak ada seorang pun dapat dihukum atas apa yang ia pikirkan.  Namun tidak dapat disangkal bahwa hukum juga ada kalanya memasuki wilayah batiniah manusia, jika ada kesengajaan (dalam hukum pidana) atau tidak beriktikad baik atau tidak patut (dalam hukum perdata), akan tetapi sentuhan hukum terhadap aspek batiniah itu hanya muncul manakala orang melakukan perbuatan melanggar atau melawan hukum.

Manusia adalah makhluk yang lemah. Tidak mungkin manusia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya seorang diri, ia perlu bantuan orang lain terhadap ancaman kelangsungan hidup dari gangguan binatang, keadaan alam, lebih-lebih menghadapi konflik dengan manusia lainnya. Oleh sebab itu kelemahan-kelemahan itu diatasi dengan hidup berkelompok, dan interaksi dalam berkelompok memerlukan kaidah (rule) dalam bertindak. Semula kaidah sosial tidaklah dibedakan, namun lama kelamaan akhirnya orang membedakan kaidah yang berlaku dalam kehidupan berkelompok. Maka, muncullah kaidah agama, kaidah kesusilaan, kaidah sopan santun, dan akhirnya kaidah hukum.

Perlindungan Kepentingan

Kontak antar manusia dapat berbuah menyenangkan, tapi bukan tidak mungkin menyengsarakan. Menyenangkan apabila kontak antar manusia saling menguntungkan, namun sengsara atau piteous karena adanya perbedaan kepentingan  akan dirasakan apabila terjadi konflik, bentrokan bahkan chaos.

Kaidah atau norma itulah yang menjadi perlindungan kepentingan dalam mempertahankan kelangsungan hidup. Apabila kaidah disertai sanksi, dan ada alat kekuasaan yang dapat memaksa agar sanksi diberlakukan, itulah yang namanya kaidah atau norma hukum.

Jadi, hukum itu sebenarnya adalah untuk mengatur kehidupan bermasyarakat demi kelangsungan hidupnya. Hukum pada dasarnya tidak dirasakan ada ketika interaksi antar warga masyarakat berjalan smooth. Kehadiran hukum baru diperlukan ketika kepentingannya terganggu. Manakala ada perbuatan tidak menyenangkan, haknya dilanggar orang, terjadi kelalaian, wanprestasi, atau terjadi konflik kepentingan, barulah orang mempersoalkan hukum, memerlukan keberadaan hukum. Artinya, raison de’etre (reason for being) hukum ketika terjadi pertentangan kepentingan antar warga masyarakat.

*Founder Bens Institut, pengajar dan praktisi serta pemerhati hukum.

Terbaru

spot_img

Related Stories

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini