MEMAKNAI SEBUAH PUTUSAN PENGADILAN ATAU MAHKAMAH

MEMAKNAI SEBUAH PUTUSAN PENGADILAN ATAU MAHKAMAH

“Dikehidupan ini kebenaran bukan  milik kita semata, karena ada kebenaran orang lain yang diyakininya juga sebagai suatu kebenarannya oleh orang lain tersebut, memaksakan kebenaran kita semata dan tidak mengakui kebenaran orang lain adalah  orang yang diragukan kebenarannya, apalagi dalam memperjuangkannya mengatas namakan kebenaran orang banyak, padahal substansinya untuk kepentingan dan pamrih pribadi”

(Syaifudin)

SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Sahabat secangkir kopi seribu inspirasi, saya sering memberikan ilustrasi tentang keberagaman pendapat, pemahaman dan cara pandang seseorang atau kelompok  terhadap setiap gejala sosial yang terjadi dalam masyarakat, sehingga terhadap setiap objek atau gejala yang sama akan banyak pendapat dan simpulan berdasarkan latar belakang pendidikan, pengalaman, sritualitas dan karakter orang yang memberikan penilaian.  Oleh karena itu hampir dipastikan selalu ada makna yang berbeda dalam memberikan suatu makna atas gejala sosial yang terjadi tersebut.

Sahabat ! sadar atau tidak, pemaknaan yang kita berikan pada suatu gejala sosial itu sesungguhnya menurut teori “refleksi”, adalah cermin terhadap diri kita sehingga orang justru bisa melihat siapa kita sebenarnya dari pemaknaan atau bahkan reaksi kita dari pemaknaan atas gejala sosial yang kita beri respon tersebut.  Begitulah juga apa yang ingin saya sampaikan akan menjadi refleksi pandangan subjektif saya terhadap setiap pemaknaan dan bahkan penilaian terhadap gejala sosial yang menjadi inspirasi disetiap tulisan saya di secangkir kopi seribu inspirasi ini.

Sahabat ! dengan cara pandang seperti itu, saya mulai untuk memaknai sebuah kata yang disebut PUTUSAN PENGADILAN ATAU MAHKAMAH, karena begitu populernya istilah ini ditunggu dan diperdebatkan yang berkaitan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam mengadili perselisihan perhitungan suara Pemilihan Kepala Daerah, atau bagi mereka yang lagi berperkara di Pengadilan.

Sahabat ! pertama, yang namanya putusan pengadilan itu pasti bermula dari adanya perselisihan atau sengketa yang diajukan oleh para pihak dalam kedudukan dan kapasitas masing-masing mengajukan gugatan ke Pengadilan, karena “merasa” dirugikan, diperlakukan tidak semestinya, dicurangi dan seterusnya. Oleh karena itu gugatan ke- Pengadilan sesungguhnya meminta putusan untuk mendapatkan keadilan menurut versi penggugat tersebut, walapun dalam kehidupan juga sering bertutur ada pihak yang merasa dirugikan, dicurangi dan diperlakukan tidak semestinya tersebut, dapat menerima dengan lapang dada dan tidak melakukan gugatan.  Untuk hal ini saja bagi yang menggugat memaknainya sebuah perjuangan untuk mendapatkan keadilan, tapi bagi yang tidak melakukan gugatan memaknainya sebagai “kelapangan dada” menerima suatu keadaan dan mengambil hikmahnya.

Sahabat ! kedua, yang namanya putusan (apalagi putusan Pengadilan) secara normatif lahir dari suatu proses pembuktian, membuktikan dalil gugatan dan membuktikan dalil bantahan, sehingga terjadi suatu proses melingkar (hermeunitika) untuk mencocokan dari dan ke aturan hukum, sehingga oleh Hakim dapat diambil kesimpulan apakah dalil gugatan terbukti atau justeru dalil bantahan yang terbukti kebenarannya. Proses hermeunitika inilah hakim berpegang pada aturan hukum dan metode penafsisan serta metode penemuan hukum untuk menemukan kebenaran dalam hukum. Untuk ini sudah bisa dipastikan ada perbedaan makna dalam melihat alat bukti dan proses pembuktiannya dari Penggugat dan Tergugat, dan tentu masing-masing mengatakan bukti dan dalil dialah yang paling kuat, sehingga perbedaan makna ini diserahkan kepada Hakim untuk memutuskannya, sebagai konsekwensi diajukankannya gugatan itu ke Pengadilan.

Sahabat ! ketiga, setiap putusan yang sudah dikeluarkan, bisa ditolak oleh salah satu pihak dan pihak lainnya menerima atau bisa juga dua-duanya menolak, karena dirasakan belum memenuhi rasa keadilan mereka masing-masing. Oleh karena itulah cerita penolakan terhadap putusan pengadilan itu adalah biasa, karena perbedaan memaknai putusan berdasarkan cara pandang dan kepentingannya seperti yang disebutkan di atas. Dan yang namanya putusan pengadilan atau suatu mahkamah mesti disadari bukanlah putusan yang mempunyai nilai keadilan hakiki, karena keadilan hakiki itu hanya ada pada pengadilan atau mahkamah ILLAHI.

Sahabat ! apa inti yang ingin saya sampaikan terhadap perbedaan makna melihat putusan pengadilan tersebut, dalam kehidupan kita bertutur ada batas dari perjuangan untuk memaknai ketidak adilan dan ada batasan pula memaknai keberhasilan perjuangan atas suatu putusan, karena yang namanya putusan pengadilan pasti tidak akan memuaskan kita. Karena itu kalau sudah diputuskan oleh suatu lembaga yang kita sepakati sebagai lembaga penyelesaian perselisihan tersebut, maka suka atau tidak suka kita mesti menerimanya sebagai suatu kenyataan kebenaran. Dan saat menerimanya itulah akan terlihat dan dinilai  sebagai orang yang “berlapang dada”, berjiwa besar, berkarakter sportif atau gentlemen. Atau justeru kita menjadi menampakan diri sebagai orang yang terus menerus menggerutu, berjiwa kerdil, maunya menang sendiri dan tidak bisa menerimanya atau bahkan menyalahkan lembaga pemutus yang telah kita amanati untuk memutus itu telah curang dan tidak adil.

Sahabat ! dikehidupan ini kebenaran bukan  milik kita semata, karena ada kebenaran orang lain yang diyakininya juga sebagai suatu kebenarannya oleh orang lain tersebut, oleh karena itu memaksakan kebenaran kita semata dan tidak mengakui kebenaran orang lain adalah justeru itulah orang yang diragukan perjuangan kebenarannya, apalagi mengatas namakan kebenaran orang banyak.

Salam secangkir kopi seribu inspirasi.

Terbaru

spot_img

Related Stories

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini