MUSIM GUGUR DI JERMAN (SERI CATATAN TJIPTO SUMADI)

MUSIM GUGUR DI JERMAN (SERI CATATAN TJIPTO SUMADI)

Hikmah yang dapat dipetik dari kisah ini adalah kita tidak perlu melawan alam, tetapi kita perlu melakukan peningkatan dan pengembangan teknologi untuk beradaptasi dengan alam dan lingkungan. Fenomena dinamika alam adalah sunatullah (hukum alam), oleh karena manusia adalah penghuni sekaligus khalifah fil ardh, maka sepatutnyalah manusia berikhtiar untuk menyesuaikan dengan alam, agar terjadi keseimbangan dalam kehidupan antara manusia, flora, dan fauna. Pesan ini telah diamanatkan dalam Ar Rahman: Alllaa tatghaw fil mizaan  (8) hendaknya manusia tidak merusak keseimbangan yang telah diciptakan

Oleh Tjipto Sumadi*

SCNEWS.ID-JAKARTA. Pembaca yang Budiman, Kata Gugur memiliki banyak makna, bergantung pada kata kerja atau kata benda yang mengikutinya. Potongan lagu Gugur Bunga ciptaan Ismail Marzuki, menyampaikan pesan kesedihan tentang kehilangan pahlawan tercinta, penggalan liriknya berbunyi; telah gugur pahlawanku, tunai tugas janji bakti, gugur satu tumbuh seribu … potongan syair ini pun mengingatkan kepada bangsa Indonesia terhadap peristiwa yang baru terjadi dan amat sangat membuat bangsa Indonesia kehilangan, yaitu hilangnya Kapal Selam Nanggala 402 yang dinyatakan “On Eternal Patrol”. Semoga para syuhada yang terhimpun pada “Tugas Keabadian” itu, ditempatkan di jannatun naim, di sisi Tuhan Yang Makakuasa. Tentu ada banyak lagi makna kata gugur itu, sekali lagi bergantung kepada kata ikutannya.

Sebagaimana yang tercantum pada judul tulisan ini, bahwa tulisan ini akan berkisah tentang Musim Gugur di belahan bumi lain, yang sempat penulis kunjungi.

Dingin mulai menerpa setiap insan yang berada di luar rumah. Apalagi di saat musim gugur, angin cenderung bertiup cukup kuat, sehingga semakin menambah rasa dingin. Meskipun di atas kepada, masih nampak sang mentari bersinar benderang, namun seolah cahayanya yang kuat terhalang oleh rasa dingin yang lebih perkasa menerpa permukaan bumi. Tak ayal, setiap orang pun harus berpakaian cukup tebal untuk melapisi kulit halusnya, agar terhindar dari rasa dingin yang berlebihan. Bagi penulis, pengalaman menghadapi masa Musim Gugur adalah sebuah keindahan tersendiri, karena ini sangat berbeda jika dibandingkan dengan dinginnya musim salju saat di New York. Kebetulan penulis belum berkesempatan merasakan musim gugur di negeri Paman Sam tersebut. Tulisan ini, mengisahkan perjalanan penulis saat bertugas ke Berlin, Jerman.

Foto di depan Gedung Parlemen Jerman (doc pribadi)

Keindahan musim gugur ditandai dengan munculnya warna-warni pada daun di sejumlah pohon. Warna-warni ini dapat diilustrasikan sebagai fenomena dan dinamika dalam kehidupan manusia. Daun muda tumbuh dengan warna hijau, lalu menguning, kemudian berwarna jingga, tak lama kemudian berwarna merah, lalu kusam, dan akhirnya luruh ke bumi. Begitu juga kehidupan manusia, lahir, beradaptasi, mengenyam pendidikan, mengabdi, berbakti, dan luruh mengikuti akhir di penghujung usianya.

Rasa cemas yang mulai merasuki perasaan penulis, bahwa rasa dingin akan menjalar ke seluruh tubuh, ternyata ditanggapi santai saja oleh penduduk asli Jerman. Sahabat dari Jerman ini menjelaskan, Jerman hari ini berbeda dengan masa lalu yang mengkhawatirkan datangnya musim dingin, yang biasanya diawali oleh musim gugur. Saat ini, sawah dan ladang telah banyak yang berubah menjadi sumber listrik yang berasal dari sinar matahari (solar cells protector). Sinar matahari yang melimpah di musim panas, disimpan pada lempengan penangkap energi matahari dan diubah menjadi energi panas dan listrik, saat memasuki musim dingin. Begitulah kemajuan teknologi di Jerman, yang amat sangat kontekstual dengan kebutuhan masyarakatnya. Perpaduan antara keindahan perubahan daun yang menyesuaikan dengan cuaca dingin dan kemajuan teknologi tepat guna yang diterapkan untuk mengatasi kebutuhan masyarakat Jerman, berjalan secara simultan, dan memang perlu diadaptasi.

Foto Solar Cell Protector di Jerman: Dokumen Pribadi

Pembaca yang Budiman, hikmah yang dapat dipetik dari kisah ini adalah kita tidak perlu melawan alam, tetapi kita perlu melakukan peningkatan dan pengembangan teknologi untuk beradaptasi dengan alam dan lingkungan. Fenomena dinamika alam adalah sunatullah (hukum alam), oleh karena manusia adalah penghuni sekaligus khalifah fil ardh, maka sepatutnyalah manusia berikhtiar untuk menyesuaikan dengan alam, agar terjadi keseimbangan dalam kehidupan antara manusia, flora, dan fauna. Pesan ini telah diamanatkan dalam Ar Rahman: Alllaa tatghaw fil mizaan  (8) hendaknya manusia tidak merusak keseimbangan yang telah diciptakan.

Semoga Bermanfaat.

Salam Wisdon Indonesia

*) Mahasiswa Teladan Nasional 1987

   Dosen Universitas Negeri Jakarta

Terbaru

spot_img

Related Stories

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini