TATANAN NILAI DUNIA MEDIA SOSIAL (BAGIAN 2 “ KEBIJAKAN PENGENDALIAN SOSIAL DAN NORMA AGAMA YANG MENGATUR HUBUNGAN SOSIAL DI DUNIA MAYA”)

Kesadaran dan keniscayaan ada  manfaat dan mudharat pada flatform media social mesti disikapi secara bijak, karena ia lahir dari perkembangan teknologi dan peradaban manusia modern yang tidak mungkin untuk dihindari, oleh karena itu mesti dikendalikan dengan suatu kebijakan social (social policy).  Bagaimana cara mengendalikan dampak negative tersebut, yaitu dengan melakukan kebijakan “defence” masyarakat, baik itu dengan pendekatan moral, etika dan agama (non penal policy), maupun dikedalikan dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal policy). Kebijakan secara “non penal policy” contohnya sebagaimana terdapat dalam Fatwa Majelis Ulama Indoensia Nomor 24 Tahun 2017 sebagai pedoman dan rambu-rambu muslim dalam bermuamalah di media social yang disadarkan pada keimanan, ketaqwaan dan diisi dengan kebajikan serta konten saling menasihati

Oleh : Syaifudin*

SCNEWS.ID-Banjarmasin. Sebagaimana yang saya tulis di bagian pertama, sebenarnya media social dengan segala macam bentuk flatformnya sebenarnya perkembangan  “alat” berkomunikasi dari perkembangan teknologi informasi. Oleh karena itu prinsip dasar hubungan social sebagai wujud manusia sebagai makhluk social tetap sama tidak berubah. Atau dengan istilah lain yang berkembang (berubah) itu hanyalah cara dan atau alat komunikasinya, yang kalau dulu komunikasi dilakukan dengan cara lisan dan tulisan secara langsung dan sederhana dari subjek (manusia) ke subjek lainnya, sekarang telah berkembang dengan menggunakan teknologi informasi.

Prinsip komunikasi sebagai suatu penyampaian pesan dari pemberi pesan ke penerima pesan yang dahulu subjek penyampai pesan dan penerima pesannya dapat diidentifikasi secara jelas, maka melalui alat komunikasi sekarang dengan berbagai macam flatform yang subjeknya dipresentasikan dengan ”akun” sebagai identitas pemberi pesan dan penerima pesan menjadi “kabur”. Kekaburan ini ditandai oleh munculnya akun yang bisa dimiliki oleh seseorang, bahkan karena komunikasi diperankan oleh akun-akun yang sudah berubah menjadi indutri “buzzer” dan “influenzer” ketidak jelasan itu semakin menjadi tidak jelas.

Perkembangan alat komunikasi melalui flatform media social ini, sebagaimana juga perkembangan teknologi dan kemajuan peradaban manusia lainnya, mempunyai dampak yang sangat positif untuk memudahkan kehidupan manusia itu sendiri. Namun seperti layaknya “pisau” yang mermata dua, maka pada satu sisi dia membawa kebaikan dan kebermanfaatan, tetapi disisi lainnya ia juga bisa disalahgunakan untuk melakukan “kejahatan” yang sangat merugikan masyarakat.

Kajian “kriminologi” menyadarkan akan kedua sisi baik dan buruk tersebut, karena kejahatan itu melekat pada kehidupan masyarakat, pada setiap perkembangan apapun dalam kehidupan masyarakat, maka pasti akan selalu di ikuti oleh perkembangan kejahatan itu sendiri.  Oleh karena itulah dalam pandangan “kriminologi” usaha untuk menghapus kejahatan di masyarakat  hanya sebagai “utopia” yang tidak mungkin terjadi. Lantas kalau begitu apakah kejahatan yang melekat dimedia social itu harus dibiarkan begitu saja ? tentu tidak.

Kesadaran dan keniscayaan ada  mamfaat dan mudharat pada flatform media social mesti disikapi secara bijak, karena ia lahir dari perkembangan teknologi dan peradaban manusia modern yang tidak mungkin untuk dihindari, oleh karena itu mesti dikendalikan dengan suatu kebijakan social (social policy).  Bagaimana cara mengendalikan dampak negative tersebut, yaitu dengan melakukan kebijakan “defence” masyarakat, baik itu dengan pendekatan moral, etika dan agama (non penal policy), maupun dikedalikan dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal policy).

Kebijakan secara “non penal policy” contohnya sebagaimana terdapat dalam Fatwa Majelis Ulama Indoensia Nomor 24 Tahun 2017 sebagai pedoman dan rambu-rambu muslim dalam bermuamalah di media social yang disadarkan pada keimanan, ketaqwaan dan diisi dengan kebajikan serta konten saling menasihati.

Fatwa MUI lahir dengan kajian yang sangat komprehensif dengan dalil Alquran dan Sunnah, silahkan pembaca menyimaknya sendiri, karena terlalu Panjang kalua saya utarakan disini.  Namun perlu ditegaskan substansi Fatwa MUI telah memberikan pedoman bagi kita agar terhindar dari dosa dan kesalahan dalam bermedia social, diantaranya isi fatwa tersebut adalah :

  • Dalam bermuamalah dengan sesama, baik di dalam kehidupan riil maupun media sosial, setiap muslim wajib mendasarkan pada keimanan dan ketakwaan, kebajikan (mu’asyarah bil ma’ruf), persaudaraan (ukhuwwah), saling wasiat akan kebenaran (al-haqq) serta mengajak pada kebaikan (al-amr bi al-ma’ruf) dan mencegah kemunkaran (al-nahyu ‘an al-munkar).
  • Setiap muslim yang bermuamalah melalui media sosial wajib memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
    Senantiasa meningkatkan keimanan dan ketakwaan, tidak mendorong kekufuran dan kemaksiatan.

Mempererat persaudaraan (ukhuwwah), baik persaudaraan ke-Islaman (ukhuwwah Islamiyyah), persaudaraan kebangsaan (ukhuwwah wathaniyyah), maupun persaudaraan kemanusiaan (ukhuwwah insaniyyah).
Memperkokoh kerukunan, baik intern umat beragama, antar umat beragama, maupun antara umat beragama dengan Pemerintah.

  • Setiap muslim yang bermuamalah melalui media sosial diharamkan untuk:
    Melakukan ghibah, fitnah, namimah, dan penyebaran permusuhan.
    Melakukan bullying, ujaran kebencian, dan permusuhan atas dasar suku, agama, ras, atau antar golongan.
    Menyebarkan hoax serta informasi bohong meskipun dengan tujuan baik, seperti info tentang kematian orang yang masih hidup.
    Menyebarkan materi pornografi, kemaksiatan, dan segala hal yang terlarang secara syar’i.
    Menyebarkan konten yang benar tetapi tidak sesuai tempat dan/atau waktunya.
    Memproduksi, menyebarkan dan/atau membuat dapat diaksesnya konten/informasi yang tidak benar kepada masyarakat hukumnya haram.
    Memproduksi, menyebarkan dan/atau membuat dapat diaksesnya konten/informasi tentang hoax, ghibah, fitnah, namimah, aib, bullying, ujaran kebencian, dan hal-hal lain sejenis terkait pribadi kepada orang lain dan/atau khalayak hukumnya haram.
    Mencari-cari informasi tentang aib, gosip, kejelekan orang lain atau kelompok hukumnya haram kecuali untuk kepentingan yang dibenarkan secara syar’i.
    Memproduksi dan/atau menyebarkan konten/informasi yang bertujuan untuk membenarkan yang salah atau menyalahkan yang benar, membangun opini agar seolah-olah berhasil dan sukses, dan tujuan menyembunyikan kebenaran serta menipu khalayak hukumnya haram.
    Menyebarkan konten yang bersifat pribadi ke khalayak, padahal konten tersebut diketahui tidak patut untuk disebarkan ke publik, seperti pose yang mempertontonkan aurat, hukumnya haram.
    Aktifitas buzzer di media sosial yang menjadikan penyediaan informasi berisi hoax, ghibah, fitnah, namimah, bullying, aib, gosip, dan hal-hal lain sejenis sebagai profesi untuk memperoleh keuntungan, baik ekonomi maupun non-ekonomi, hukumnya haram. Demikian juga orang yang menyuruh, mendukung, membantu, memanfaatkan jasa dan orang yang memfasilitasinya.

Rambu-rambu yang terdapat dalam Fatwa MUI ini disertai pula dengan pedoman-pedoman lainnya yang secara rinci memberikan aturan kepada kita bagaimana bermuamalah di media social untuk tetap mencerminkan ajaran agama Islam yang Insyaallah merupakan nilai-nilai universal…. (BERSAMBUNG).

SALAM WISDOM SPRITUAL

*Alumni Mawadan87, Founder Jurist Solution, Dewan Redaksi dutatv dan dutatv.com, Dewan Redaksi scnews.id, Pendiri Yayasan Banua Media Utama, Pengajar Luar Biasa di Pascasarjana UIN Antasari

Terbaru

spot_img

Related Stories

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini