LUKA, JALAN MENUJU CAHAYA
SCNEWS – “Luka adalah tempat di mana cahaya memasukimu. Luka yang kamu rasakan adalah sebuah pesan. Dengarkanlah mereka” – RUMI
Lazimnya manusia akan mencari sebuah zona nyaman, menghindari hal-hal buruk dan mencari sesuatu yang memastikan rasa amannya. Itu adalah fitrah umum pada setiap insan. Menempati posisi nyaman, sejahtera dan aman adalah kebutuhan dasar ideal yang diinginkan oleh setiap insan, pada berbagai tahapan kehidupan. Tetapi kita juga paham bahwa tidak semua hal ideal itu bisa dengan mudah kita dapat, bahkan terkadang pada sebagian orang pada akhirnya harus menerima kenyataan bahwa hal ideal adalah harapan yang terus tergantung tanpa bisa diraih.
Tugas manusia adalah ikhtiar, penentu segalanya adalah Sang Maha. Salah satu ikhtiar adalah doa, untuk menyambung energi dengan yang empunya kekuasaan, menghiba dan memohon dikabulkannya setiap harapan. Hanya saja, bahkan dalam doa, tak ada ruang untuk memaksa. Karena Tuhan lebih tahu apa yang terbaik untuk setiap insan. Sebuah harapan, mimpi dan tujuan yang dalam kasat mata adalah hal terbaik yang kita inginkan, belum tentu sama dengan yang Tuhan lihat.
Bisa juga, apa yang kita harapkan memang terbaik untuk kita, hanya saja masih diperlukan waktu cukup panjang, dalam proses yang lebih matang dan juga energi kedekatan dengan Sang Maha agar terus terjalin. Dengan doa, hibaan dan rintihan kita, itulah cara Tuahn menyambung rindu di hati kita. Karena terkadang ketika semua keinginan sudah terpenuhi, kita menjadi sedikit abai bahkan kadang lalai untuk membuka pintu menuju kedekatan denganNya.
Luka yang begitu menyesakkan dada, bagai mereka yang memahami makna adalah jalan menuju cahaya. Karena kita menggenggam begitu erat harapan hanya padaNya. Ketia tidak ada satu jalan pun yang terbentang antara kita dengan insan lainnya, yang bisa memberi pertolongan, rasa aman dan rasa nyaman, maka hanya jalanNya yang begitu luas terbentang. Saat setiap pintu tertutup, ketika airmata kita perlahan menetes jatuh, atau luka dalam yang teriris meneteskan darah, pintu Tuhan menyambut dengan gembira, asal kita mampu melihatnya dan menyadarinya.
Membuat sebuah kesadaran bahwa luka, kepedihan dan ujian adalah jalan menuju cahaya, memerlukan sebuah pemahaman yang ikhlas. Karena kadang kita tidak mampu melihat dan menerima makna, sehingga selalu mencari pembenaran atas apa yang dilakukan dan berupaya menemukan kambing hitam kesalahan atas duka pada pihak lain. Semua diluar kita dipahami sebagai sebab duka menimpa, hingga kita lupa ada hal besar dalam diri yang ternyata penyebab utama luka itu terbuka.
Perlu kontemplasi yang jujur agar kita bisa sampai di titik ini, karena ada hal yang dimaklumi sebagai manusiawi sebagai respon diri, yang justru menghalangi keikhlasan itu sendiri. Karena dalam luka yang begitu sesak, kunci untuk menemukan cahaya adalah kita harus mampu mengikhlaskan atas apa yang terjadi. Memaafkan diri sendiri yang paling besar andil atas luka, dan mengampuni faktor lain yang menyebabkan semua menjadi begitu besar. Saat semuanya selesai, maka perlahan kita melihat selarik jalan menuju cahaya. Kita tersungkur dengan khidmat dan menangis dengan nikmat. Tak lagi meratapi ‘mengapa’ dan ‘kenapa’, tapi sudah mulai merintihkan kerinduan dan rasa syukur padaNya. Tak lagi terbahas hal-hal yang mungkin salah dalam persepsi kita sebagai insan, tapi menyerahkan semua yang menjadi tahapan kehidupan pada tuntunanNya.
Itulah keindahan yang sesungguhnya, karena tidak akan pernah ada luka, duka dan kesedihan yang merusak jiwa, jika kita tidak pernah mengijinkannya. Karena pada akhirnya apapun yang terjadi sesungguhnya adalah sebuah sebab akibat, dan sebab paling utama adalah karena diri kita sendiri. Semua adalah proses dalam kehidupan, ada yang berbanding lurus dengan panjangnya usia, ada juga yang terdewasakan oleh berbagai pengalaman kehidupan. Mengasah diri, hati agar menjadi peka dan akhirnya menyadari apa yang sebetulnya terjadi dalam setiap tahapan kehidupan, membuat kita mampu menyimpulkan bahwa pada dasarnya hidup itu sangat sederhana. Yang membuat sulit dan rumit adalah perlakuan kita pada setiap keadaan. Ketika hati dan rasa hanya berpusat pada diri sendiri, menempatkan sebagai obyek penderita, dan menjadikan faktor lain selalu sebagai penyebab apa yang terjadi, maka kesederhanaan yang terjadi akan tertutup dengan berbagai asumsi yang menyebabkan tumbukan pada hati kita sehingga kita menjadi terpuruk.
Saat menghadapi sebuah keadaan, yang terpenting harus kita pahami adalah, “apa” dan “bagaimana” . Ketika kita bisa menelusuri dengan jernih, maka langkah selanjutnya apakah kita mengijinkan hal tersebut untuk merusak hati dan rasa kita. Jika kita tidak mengijinkannya maka langkah selanjutnya adalah berpikir jernih, selalu melihat dari berbagai sisi setiap solusi dan konsekuensi. Menjalani dengan ikhlas setiap konsekuensi, itulah yang membuat segala sesuatunya menjadi sederhana. Meski mungkin saja konsekuensi itu berat sekali dijalankan, tapi saat kita tahu dan menyadari, mengambil hikmah bahwa mungkin ini cara dan jalan menuju cahaya yang lebih tinggi, maka menjalaninya akan lebih tenang meski tetap terasa berat.
Bukan hal mudah, tapi juga tidak sulit jika kita mampu menjalaninya. Berhenti menempatkan ‘kepantasan diri’ pada sebuah keadaan, akan membuat kita lebih santai. Karena ‘kepantasan diri’ yang keluar berdasarkan persepsi sendiri hanya akan membuat luka dan duka semakin perih, yang menjurus akhirnya mengasihani diri sendiri, dan selalu menyalahkan faktor luar.
Bangkin dari sebuah keterpurukan, kuncinya adalah diri sendiri. Memahami bahwa hakikat hidup adalah terkoneksi dengan empunya cahaya kehidupan, kita ikhlaskan setiap luka, duka atau tantangan dalam tahapan hidup kita.
DhyRozz
#catatandhyrozz