RASA TIDAK PAS
“Rasa tidak pas itu akan menjadi pas jika bisa dilakukan pergesEran sistem peniLaian dari nilai bersifat subjektif menjadi nilai bersifat objektif. Sehingga diperlukan sebuah bangunan nalar ilmiah untuk dijadikan kesepakatan penilaian dan pemberian penghargaan”.
(Oleh : IBG Dharma Putra}
SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Rasa tidak pas yang pertama yang ingin saya tulis adalah rasa tidak pas saat melihat debat cagub, cabup dan cawalkot pada pilkada. Suasana debat sangat mirip dengan suasana ujian skripsi para kandidat sarjana di kampus.
Para cagub, cabup dan cawalkot, diminta untuk memaparkan skripsi tentang visi misi serta dilakukan pendalaman masalah melalui debat serta ditanyai penguji yang ditunjuk oleh KPU.
Para kandidat dinilai kedalaman iptek serta kecerdasan penalarannya dan yang membuat rasa tidak pas karena pilkada berniat memilih pemimpin yang sukses membawa masyarakat kearah kemajuan. Dan pemimpin yang sukses itu, tak melulu ditentukan oleh kehebatan ilmu, tapi lebih oleh keberanian dalam mengambil keputusan. Pada kenyataannya berilmu bisa tak berguna tanpa keberanian
Rasa tidak pas lain yang pernah saya rasakan adalah rasa tidak pas disaat awal mengetahui bahwa seorang rektor perguruan tinggi dipilih mirip seperti memilih ketua RT ditempat saya tinggal. Kepada para pemilihnya, yang nota bene amat pintar, disodorkan secarik kertas berisi semua nama kandidat untuk ditandai dengan contrengan pada pilihannya.
Dan rasa tidak pas terjadi lagi karena rektor terpilih ternyata lebih ditentukan oleh pilihan menteri pendidikan. Diwilayah para pemilik ilmu dan daya nalar, yang seharusnya digelar contoh berdemokrasi secara baik dan benar untuk dijadikan teladan bagi masyarakat, ternyata pemimpinnya dipilih dengan otoriter dan dengan mengabaikan prinsip demokrasi.
Rasa tidak pas jika sumber kekuatan bangsa, yang seharusnya dikelola dengan kecerdasan dan akal sehat, ternyata pemilihan pemimpin dilakukan dengan aroma otoriter seolah tidak percaya bahwa manusia dapat nengelola diri dan lingkungannya secara baik jika dipunyai kejujuran, kecerdasan, keluasan wawasan dan keberanian.
Rasa tidak pas lain yang pernah terjadi adalah rasa tidak pas dari pekerja berkinerja baik yang sukses melakukan penemuan kasus gizi buruk ternyata dikecam karena dianggap lalai dalam memperhatikan masyarakatnya hingga kasus gizi buruk itu sampai terjadi.
Rasa tidak pas semakin menghantui, karena petugas yang tidur dan berpotensi mati oleh rutinnitas kerjanya dan tidak menemukan satu kasuspun padahal secara objektif seharusnya ada, mendapat pujian oleh berbagai kalangan karena dianggap sukses menjaga daerahnya dari gempuran masalah gizi.
Rasa tidak pas juga timbul di awal pandemi ini, karena daerah yang tidak menemukan kasus seolah baik dan tak perlu melakukan tindakan karena memang tak bermasalah sedangkan daerah dengan jumlah kasus banyak, wajib dikecam karena menjadi pertanda kegagalan pemerintahan di wilayahnya.
Rasa tidak pas diawal pandemi terjadi karena penemuan kasus seolah tindakan sangat subversif, yang menghancurkan kehormatan daerah sehingga wajib dihindari dan bekerja secara rutin merupakan tindakan tepat untuk aman dari risiko kecaman.
Masih banyak deretan rasa tidak pas yang bisa dicurhatkan dalam tulisan ini, tapi deretan rasa tidak pas yang diungkapkan,sudah cukup sebagai latar inspirasi bahwa jika rasa tidak pas itu dibiarkan dan tidak dikelola melalui koreksi sistem evaluasi maka kita semua akan terjebak pada lubang kematian akibat jebakan rutinitas.
Rasa tidak pas itu akan menjadi pas jika bisa dilakukan pergeseran sistem penilaian dari nilai bersifat subjektif menjadi nilai bersifat objektif. Sehingga diperlukan sebuah bangunan nalar ilmiah untuk dijadikan kesepakatan penilaian dan pemberian penghargaan.
Seperti halnya dengan rasa tidak pas yang terjadi pada penemuan kasus gizi buruk, yang akan menjadi pas jika dinilai dari jumlah kasus gizi buruk prediktif di masing masing daerah. Jumlah kasus gizi buruk prediktif adalah angka yang diolah dengan dasar keilmuan dan pengalaman emperis sehingga bersifat sangat objektif.
Selayaknya semua kasus prediktif itu ditemukan, sehingga kinerja penemuannya dinilai dengan patokan objektif tersebut, artinya semakin ditemukan mendekati jumlah prediktif mempunya arti kinerja yang semakin baik dengan kinerja tertinggi jika semua kasus prediktif dapat ditemukan. Gizi buruk tak akan pernah tertanggulangi jika kasusnya tidak ditemukan.
Dengan begitu semua petugas akan berupaya menemukan sebanyak banyak kasus dan menanggulanginya agar tuntas dan tidak menjadi masalah yang diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya. Dari yang hanya berupa gizi buruk pada balita, menjadi gizi buruk pada wanita dan berujung stunting sebagai awal perbodohan bangsa.
Begitu juga yang terjadi pada awal pandemi, karena penikaian subjektif sehingga tak jarang daerah yang bermasalah dapat pujian sementara yang kinerjanya baik, dikecam bersama. Kondisi ini, amat potensial berlanjut karena kesepakatan penilaian objektif belum didalami serta dipahami secara masif.
Rasa tidak pas itu layak dimusnahkan dengan penilaian yang objektif disertai pemberian penghargaan yang setara dan tidak bersifat paradoksal dengan penilaian objektif tadi. Dan sebaiknya dimulai saat ini, sebagai upaya percepatannpensnggulangan covid.
Percepatan yang terjadi karena petugas, swasta dan masyarakat berlomba lomba untuk mencapai kesuksesannya, dan dasar awalnya adalah pemberian penghargaan sesuai kondisi objektif dan bukan karena subjektifitas semata.
Pada pandemi ini, penghargaan hanya layak diberikan kepada pemerintahan yang bisa mengalang peran serta semua stake holder untuk mendapatkan data yang kredibel dan bermutu, karena tanpa itu semua keberhasilan yang diproklamasikannya bersifat subjektif, sebagai politik pencitraan dan sebuah kesombongan berlandaskan kebohongan
semata.
Pemerintahan yang punya petugas yang secara sengaja melakukan kebohongan kepada masyarakatnya, seharusnya dihukum sebagai pelanggar konstitusi karena secara sengaja atau tidak menghambat penuntasan masalah yang berakibat memanjangnya waktu pandemi.
Data dikatakan kredibel jika bisa dilakukan satu testing bagi setiap seribu penduduk dalam setiap minggunya. Dan jika sudah dicapai jumlah yang seperti itu, maka angka pemeriksaan positif sebesar lima persen kebawah dapat dipakai sebagai indikasi penularan covid yang terkendali.
Menjadi indikasi adanya penularan tidak terkendali jika angka pemeriksaan positifnya lebih dari lima persen dan penularan sangat tidak terkendali jika angka pemeriksaan positifnya lebih dari sepuluh persen. Pada penularan covid yang sangat tidak terkendali, potensi terjadinya mutasi virus sangat besar.
Testing dengan jumlah yang memadai, tidak akan tercaoai jika hanya mengandalkan pelacakan kasus semata tetapi harus disertai dengan penelusuran kasus dari rumah ke rumah, sesuai dengan kewajiban puskesmas peduli keluarga.
Dan kunjungan dari rumah ke rumah ini, sekaligus bisa digunakan untuk mencari sasaran vaksinasi covid usila yang riskan tak bisa hadir ketempat pelaksanasn vaksinasi oleh berbagai alasan
Hal lain untuk menghindarkan paradok covid adalah mutu data. Secara filosofis, data dikatagorikan sebagai data yang bermutu jika memenuhi kriteria lima C, yaitu clear ( jelas ) , complete ( lengkap ), correct ( benar ), juga consistent ( akurat ) dan continue ( teratur )
Secara praktis, mutu data bisa dilihat dari pelaporan yang lengkap dan tepat waktu.
Dalam kondisi saat ini, pelaporan bisa lengkap dan tepat waktu cuma mungkin dicapai jika diterapkan sistem survailans aktif, dengan mendatangi ketempat pembuat laporan, menunggunya sampai kewajiban membuat laporan diselesaikan dan bisa dibawa untuk di kompilasikan, dengan penerapan kemitraan, meliputi kesetaraan, keterbukaan dan mutual benefit.
Jadi kredibilitas pelaksanaan testing dan terkumpulnya pelaporan secara lengkap dan tepat waktulah yang bisa dijadikan patokan dalam menilai benar dan tidak benarnya data covid, layak dipercaya atau tidak dipercaya data covid
Data yang tidak kredibel sekaligus tidak bermutu, sebaiknya tidak membuat jumawa karena jika yang terjadi seperti itu berarti telah dilakukan sebuah kesombongan berdasarkan kenyataan yang bohong. Sekaligus berarti juga, sebuah upaya menutupi kebodohan untuk sementara sebelum meledak membuat malu.
Daerah yang datanya tidak kredibel dan tidak bermutu, selayaknya melalukan introspeksi untuk perbaikan kinerja testing dan survailan aktifnya, bukan malah terlena, sombong dan merasa sukses.
Daerah dengan data tak kredibel serta tidak bermutu selayaknya berhenti berbangga diri dengan keberhasilan semu dan mencoba untuk meneliti kembali kinerja aparatnya. Sudahkan ada penelusuran masif sambil mencari sasaran vaksinasi usila dan sosialisasi penanggulangan covid dan sudahkah ada petugas khusus penjemput laporan covid.
Mari hentikan paradok, temukan masalah dan segera diselesaikan secara tuntas. Jangan biasakan menyembunyikan kasus baik sengaja ataupun tidak, hanya sekedar agar terlihat sukses.
Jika sebuah usaha, dari awal dikelola dengan kebohongan dan sekedar akal akalan, agar tampak sukses dan masalah yang timbul sebagai akibatnya, diselesaikan dengan kebohongan dan akal akalan juga, maka optimisme penuntasannya, dipastikan hanya omongan bohong dan dipenuhi akal akalan. Sebuah tindakan tanpa komitmen paripurna dan hanya bersifat politis semata.
Hindari kesuksesan dengan berbohong dan kesuksesan khayal yang berpotensi merusak nilai luhur kemanusiaan dan membahayakan nyawa rakyat. Bukankah hakekat dari politik adalah kejujuran, menemukan masalah untuk diselesaikan dan bukan menyembunyikannya, sekedar untuk pencitraan.
Mari membuat kebijakan dari hasil informasi yang didapat berdasarkan data yang kredibel dan bermutu.
Banjarmasin
12072021