ANTARA OTT DENGAN SINDROME “ARAKAN BUGIL” (SERI SECANGKIR KOPI SERIBU INSPIRASI)
“Lantas yang menjadi pertanyaan mendasar adalah “MENGAPA KITA MEMBIARKAN KEJAHATAN ITU SAMPAI TERJADI, SEDANGKAN SAAT ITU KITA BISA MENCEGAHNYA ?”, jawabannya tentu bisa sangat beragam tergantung sudut pandang kita masing-masing, namun dari sudut pandang “wisdom” tentu mencegah agar mereka tidak meneruskan niat jahatnya atau menghentikan kondisi yang menggiring mereka ke arah perbuatan jahat, adalah lebih bijak dibanding kita menggrebeknya atau melakukan OTT saat kejahatan itu terjadi”
Oleh : Syaifudin
SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Sahabat secangkir kopi seribu inspirasi, telah lama saya mengkaji Ilmu tentang Kejahatan (kriminologi) yang memperluas dan memperdalam kajian kejahatan dengan berbagai disiplin ilmu (antar dan interdispliner) khususnya ilmu-ilmu sosial seperti ekonomi (crime and economic), psikologi (psikology criminal), sosiologi (sociology criminal), antropologi (biology criminals) dan budaya (culture and criminal) sampai pada dimensi pandangan spritual, yang menimbulkan “kesadaran” pengetahuan dan pemahaman saya, akan adanya benang merah “bahwa kejahatan itu ada dan melekat pada manusia dan masyarakat” sampai akhir kehidupan dunia ini.
Sejarah peradaban manusia juga menunjukan saat adanya tatanan nilai, maka akan selalu kita temukan orang yang menyimpang dari tatanan nilai tersebut, setiap ada larangan akan kita jumpai orang yang tidak mematuhi larangan tersebut, atau pada setiap ada kewajiban akan selalu kita temui orang yang tidak mematuhinya. Kondisi ini bahkan sudah dimulai dari peristewa “Nabi Adam dan Siti Hawa” yang melanggar larangan mendekati dan atau “memakan” buah Khuldi, saat Qabil berselisih dan membunuh Habil, atau bahkan saat pembangkangan Iblis untuk bersujud kepada Adam yang diperintahkan oleh Allah.
Drama kehidupan manusia selanjutnya kita bisa saksikan pada setiap umat, zaman, tempat manapun di dunia ini kita bisa menyaksikan dari catatan sejarah perdaban manusia tersebut, yang menunjukan akan keberadaan yang kita sebut “kejahatan” tersebut, sebagai suatu penamaan atau label dari perbuatan yang melanggar atau tidak mematuhi norma-norma kehidupan manyarakat, baik norma yang bersumber dari kitab suci, maupun norma-norma yang timbul dari peradaban kehidupan manusia itu sendiri, dari tataran masarakat primitif, tradisonal sampai kepada masyarakat modern sekarang ini.
Sejarah peradaban manusia juga menunjukan kepada kita, yang keberadaan kejahatan itu tidak dibiarkan begitu saja terjadi, sehingga terdapat reaksi dan upaya untuk mengendalikannya dengan berbagai cara atau metode, baik itu melihat dari hulunya (baca penyebabnya) maupun hilirnya (baca pemidanaan), yang oleh banyak ahli dikatakan sebagai model pendekatan “social welfare”, “social defence” baik yang bersifat “non penal” maupun yang bersifat “penal”, sehingga semuanya diharapkan menjadi terintegrasi untuk menjadikan kejahatan itu berada pada suatu batas yang keberadaannya seminimal mungkin yang tidak mengganggu kehidupan masyarakat (fear of crime). Dari sinilah pula metode yang dikembangkan untuk mengendalikan kejahatan ini bergerak dari PENCEGAHAN DAN PENINDAKAN.
Sahabat ! untuk mengendalikan kejahatan itu, paling tidak kita mengenal kelembagaan yang bersifat formal yang dibentuk oleh negara, yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan serta Lembaga Pemasyarakatan (sitem peradilan pidana) atau bahkan untuk kejahatan tertentu seperti korupsi dibentuk yang kita sebut KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Disamping itu juga masyarakat membentuk lembaga-lembaga informal yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat itu sendiri berdasarkan skala nilainya masing-masing, sehingga pada setiap kejatahan yang terjadi hampir bisa dipastikan adanya reaksi, baik reaksi formal dari kelembagaan formal di atas, maupun reaksi informal sebagai suatu reaksi langsung dari masyarakat setempat dimana kejahatan itu terjadi (saya batasi untuk tidak membahas kriminilisasi dan dekriminilasasi substansi kejahatannya).
OTT atau operasi tangkap tangan adalah bagian dari reaksi formal atas suatu kejatahan yang saat atau sudah terjadi, sedangkan “sindrome arakan bugil” adalah reaksi masyarakat secara langsung dalam wujud mengambil tindakan sendiri yang kita sebut sebagai perbuatan “main hakim sendiri” atau yang dikenal dengan istilah “eigenrichting”. Istilah sindrome arakan bugil muncul beranjak dari perbuatan asusila yang dilakukan oleh seseorang, sehingga kemudian pelakunya diarak keliling kampung oleh masyarakat.
Sahabat ! apa yang mau saya ceritakan dari uraian di atas, dari pengamatan saya pada beberapa tempat terjadinya OTT dan sindrome arakan bugil ini mempunyai kemiripan, yaitu adanya pemantauan terhadap perilaku yang mengarah kepada suatu perbuatan jahat atau tindak pidana. Pada OTT pemantauan dilakukan bisa lewat sadapan telepon atau laporan masyarakat sehingga penegak hukum tahu persis saat terjadinya kejahatan itu, begitu pula dalam “sindrome arakan bugil” masyarakat sekitar sudah melakukan pemantauan kalau ada seorang pria yang menamu dirumah seorang wanita di lingkungannya atau yang sering disebut “mengintip”, dan saat diperkirakan waktu atau suasananya sudah terjadi perbuatan asusila maka mereka mengrebeknya ramai-ramai.
Lantas yang menjadi pertanyaan mendasar adalah “MENGAPA KITA MEMBIARKAN KEJAHATAN ITU SAMPAI TERJADI, SEDANGKAN SAAT ITU KITA BISA MENCEGAHNYA ?”, jawabannya tentu bisa sangat beragam tergantung sudut pandang kita masing-masing, namun dari sudut pandang “wisdom” tentu mencegah agar mereka tidak meneruskan niat jahatnya atau menghentikan kondisi yang menggiring mereka ke arah perbuatan jahat, adalah lebih bijak dibanding kita menggrebeknya atau melakukan OTT saat kejahatan itu terjadi.
Sahabat ! bukankah dari sisi kebijakan hidup akan bernilai lebih mulia kita bisa mencegah adanya kejahatan, ketimbang membiarkannya lalu menangkapnya ? bukankah biaya sosial yang terjadi akan lebih besar kalau kita memilih menangkapnya?, bukankan kerugian dapat kita cegah dan bahkan kita tidak perlu mengeluarkan biaya penegakan hukum yang besar?, bukankah “cederanya” tatanan nilai akan sulit dipulihkan kalau sudah terjadi pelanggaran terhadapnya, bukankah memperingatkan lebih efektif secara pribadi untuk menjadikan orang berubah baik ketimbang mempermalukannya dan seterusnya.
Sahabat ! sekali lagi semuanya bisa diperdebatkan, apalagi “kegemaran kita” menangkap dan memenjarakan ini seperti menjadi “pemuasan” atas rasa kebencian dan kegeraman struktur sosial dan libido nafsu pembalasan yang ada dalam diri kita, sehingga kita tidak perduli lagi Penjara sudah penuh, dan kita justeru dianggap berprestasi oleh sistem karena berhasil banyaknya menangkap orang.
Salam secangkir kopi seribu inspirasi.