SEBUAH RENUNGAN POLITIK ATAS FABEL LUIS SEPULVEDA : “KISAH SEEKOR CAMAR DAN KUCING YANG MENGAJARINYA TERBANG”

 

Bagi seorang politisi yang telah mendapatkan amanah untuk menjadi kepala daerah, sikap kenegarawanan perlu benar-benar ditunjukkan dalam setiap kebijakan yang akan dibuatnya. Rasa tanggungjawab sebagai pemimpin yang bijaksana sekaligus memiliki empati yang tinggi kepada rakyat kecil perlu dikedepankan

 Oleh:

Pathurrahman Kurnain*

SCNEWS.ID-Banjarmasin. Di suatu pagi yang cerah, seekor kucing hitam gemuk bernama Zorbas tengah asyik berjemur di balkon rumahnya. Tiba-tiba Zorbas dikagetkan dengan seekor camar yang kepayahan terbang dan akhirnya terjatuh hampir mengenai dirinya. Tumpahan minyak dari kapal tanker di laut telah melengketkan bulu-bulu Kengah, si camar betina yang hampir bertelur itu, sehingga mustahil baginya untuk kembali terbang melanjutkan migrasinya. Di masa-masa sekaratnya itu, Kengah meminta Zorbas berjanji untuk merawat telurnya hingga menetas dan mengajari anaknya terbang.

Sebagai kucing pelabuhan, Zorbas pantang untuk melanggar janjinya. Zorbas pasang badan untuk menjaga bayi camar tersebut dan berusaha sekuat tenaga mewujudkan permintaan Kengah, dengan dibantu oleh teman-teman kucingnya, yaitu Sectario, Kolonel, Profesor, dan Banyubiru. Merawat dan membesarkan anak camar ternyata bukanlah pekerjaan yang mudah bagi Zorbas dan teman-temannya.

Berbagai rintangan dan kesulitan mereka temui, karena sejatinya mereka adalah sekumpulan kucing yang berusaha menjadi orang-tua sambung bagi si camar kecil yang mereka beri nama Fortuna. Menariknya, mereka tidak bisa memperlakukan Fortuna seperti seekor anak kucing. Zobras dan kawan-kawannya harus menggunakan logika induk camar untuk merawat telur yang hampir menetas, menjaga bayi camar, memberi makan dan membesarkan Fortuna, hingga menemukan cara untuk mengajarinya terbang.

Melalui fabel ini, kita dapat mengambil berbagai pesan moral yang dapat dijadikan sebuah kontemplasi dalam kehidupan politik aktual. 09 Desember 2020 yang lalu, kita baru saja menggelar pilkada serentak terbesar dalam sejarah Indonesia di tengah suasana pandemi. Tidak berapa lama lagi, para kepala daerah yang terpilih akan segera dilantik dan mulai menjalankan kepemimpinannya. Tantangan besar telah mengadang: bagaimana merealisasikan visi, misi dan program kerja yang telah dikampanyekan di periode kepemimpinan yang berkisar hanya 3,5 tahun ini. Belum lagi para kepala daerah terpilih harus berjibaku dengan permasalahan pandemi yang belum bisa diprediksi kapan akan berakhir. Namun kampanye adalah janji, dan janji adalah hutang, dan hutang harus di bayar lunas, apapun tantangan dan kendalanya.

Kita doakan, semoga kepala daerah terpilih dapat mengambil inspirasi dari Zorbas yang memegang teguh janjinya kepada Kengah. Di tengah berbagai keterbatasannya sebagai seekor kucing, namun tetap berusaha untuk merawat telur hingga mengajarkan Fortuna agar bisa terbang dengan berbagai kecerdikannya. Sudah sewajarnya kita selaku pemilih berharap agar kepala daerah yang akan dilantik, mampu mengoptimalkan kecerdasannya guna menjawab berbagai tantangan, kendala serta memberikan solusi terbaik bagi masyarakat yang dipimpinnya.

Zorbas juga mengajarkan kepada kita makna dari sifat kenegarawanan yang harus dimiliki oleh setiap pemimpin daerah. Zorbas bisa saja mengkhianati janjinya kepada Kengah, dengan mengambil keuntungan pribadi untuk memangsa anak camar tersebut. Namun hal tersebut urung dilakukannya, karena rasa tanggung jawab dan empatinya sebagai “induk sambung” bagi Fortuna begitu besar.

Bagi seorang politisi yang telah mendapatkan amanah untuk menjadi kepala daerah, sikap kenegarawanan perlu benar-benar ditunjukkan dalam setiap kebijakan yang akan dibuatnya. Rasa tanggungjawab sebagai pemimpin yang bijaksana sekaligus memiliki empati yang tinggi kepada rakyat kecil perlu dikedepankan. Rakyat sudah banyak yang mengalami kesusahan di era pandemi ini, jangan sampai kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan justru hanya menguntungkan diri sendiri atau kelompoknya, sementara kehidupan rakyat semakin menderita.

Pelajaran terakhir yang dapat kita ambil dari fabel tersebut yakni bagaimana seorang pemimpin perlu membuka pemikiran dan sudut pandang baru dalam melihat permasalahan dan mencari solusinya. Setiap pemimpin pasti memiliki keterbatasan, sehingga dirinya tidak dilahirkan untuk mampu menyelesaikan semua persoalan publik. Setiap pemimpin juga tidak perlu merasa dirinya paling benar, paling pintar dan paling mengerti tentang kehidupan rakyatnya.

Para pemimpin perlu membuka diri untuk mau mendengar sekaligus berkolaborasi dengan berbagai kalangan, seperti akademisi, teknokrat, kelompok-kelompok profesional, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan lain sebagainya dalam memimpin daerah. Tata Kelola pemerintahan yang baik akan terwujud bila pemerintah mampu menempatkan dirinya bukan sebagai unsur yang paling dominan, tapi hanya salah satu pihak dinatara banyak pihak yang terlibat dalam mengelola kehidupan publik.

Seperti Zorbas, yang mau membuka diri untuk belajar melihat sudut pandang baru layaknya seekor induk camar dalam merawat Fortuna. Zorbas juga tidak merasa angkuh dan terlalu percaya diri bahwa dirinya mampu untuk merawat anak camar. Dengan segala kerendahan hatinya, Zorbas justru meminta teman-teman kucingnya untuk bersama-sama merawat hingga mencarikan manusia yang paling tepat untuk mengajari Fortuna terbang.

Semoga fabel yang berjudul “KISAH SEEKOR CAMAR DAN KUCING YANG MENGAJARINYA TERBANG” dapat menginspirasi kita semua.

Salam hangat saya,

*Pathurrahman Kurnain adalah Direktur Global and Local Democracy (GLORY) Institute

Terbaru

spot_img

Related Stories

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini