UNTUK APA DEMONSTRASI ?
MAJELIS PEMAKSAAN, MAJELIS DEBAT ATAU MAJELIS TUKAR FIKIRAN
Secara “wisdom” saya punya keyakinan demonstrasi yang menjadi PANGGUNG MAJELIS TUKAR FIKIRAN itulah yang sesuai dengan nilai-nilai Sosial Budaya dan Struktur (SOBURAL) masyarakat Banua, karena setelah demonstrasi selesai terdapat pencerahan dari masing-masing kelompok dan menemukan titik ketidaksepamahan dan titik kesepahaman untuk saling menghargai dan dijadikan infut perbaikan pada kebijakan sosial berikut. Terlebih lagi kalau kelompok pendemo itu mengatasnamakan kelompok terpelajar, yang tentu lebih mengedepankan sikap rasional, ketimbang emosional.
(Syaifudin)
SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Sahabat secangkir kopi seribu inspirasi, memaknai demontrasi atau unjuk rasa memang sangat beragam dan tentu apa yang menjadi persepsi kita adalah tergantung sudut pandang kita. Oleh karena itu memaknai unjuk rasa bagi saya dan bagi anda bisa kemungkinan dan atau banyak kemungkinan berbeda. Walapun demikian saya ingin melihat dari sudut yang barangkali bisa membuka “dialog” lebih terbuka dan objektif diantara kita, walapun disadari sepenuhnya tidak akan terlepas dari sifatnya yang subjektif sebagai suatu pendapat.
Sebuah unjuk rasa selalu dimulai adanya sesuatu pesan yang ingin disampaikan kepada pihak tertentu tentang “KETIDAK SETUJUAN” atau “KESETUJUAN” atau “KENETRALAN”, semuanya didasari oleh adanya pendapat atau pandangan yang berbeda atas suatu “fenomena” yang terjadi dalam masyarakat. Oleh karena itu suatu unjuk rasa pada dasarnya adalah respon atau reaksi dari fenomena sosial tersebut.
Dalam konteks demokrasi sebuah unjuk rasa adalah mendemontrasikan sikap politik yang berbeda pada suatu kelompok yang berkuasa atau yang berada pada struktur sosial tertentu, yang umumnya berupa ketidaksetujuan dalam bentuk kritik dengan ekspresi yang sopan sampai ekspresi berujud cacian. Oleh karena itu suatu demonstrasi umumnya bermula dari kelompok yang “menantang” atau “mengkritik” atau “ketidaksetujuan” terhadap suatu kebijakan atau kondisi yang dikeuarkan oleh kelompok tertentu yang biasanya kelompok yang lagi berkuasa.
Unjuk rasa ketidaksetujuan ini pula yang “memancing” kelompok pendukung untuk melakukan reaksi balasan dalam wujud unjuk rasa “mendukung” sebagai kelompok pendukung, oleh karena itu sering demontrasi akan terjadi silih berganti dan menjadi hal yang biasa dalam suatu kehidupan politik masyarakat.
Permasalahan akan mulai muncul, kalau demonstrasi tersebut sudah berubah kepada “unjuk kebencian” dengan narasi-narasi yang “kasar” sehingga “pesan” moral dari demontrasi itu terkubur menjadi perilaku sosial yang merusak tatanan atau nilai-nilai kehidupan masyarakat. Dalam konteks inilah kita mesti menyadari “spirit” dari demonstrasi atau unjuk rasa tersebut, apa sesungguhnya yang mereka perjuangkan dan apakah yang diperjuangkan itu hanya kepentingan kelompok tertentu atau kepentingan rakyat, yang biasanya semuanya mengatas namakan rakyat.
Memahami suatu demonstrasi atau unjuk rasa ini, bisa saja menggunakan berbagai perspektif, dari pluralistik, konsensus sampai konflik, namun yang mesti kita sadari semuanya itu dikembalikan pada nilai-nilai sosial, budaya dan strukur (SOBURAL) masyarakat kita. Mengembalikan kepada nilai-nilai SOBURAL ini tentu tidak mudah, karena akan selalu berhadapan dengan nilai kebebasan dalam negara demokrasi yang diyakini oleh kita bersifat universal.
Kita bukan menampikan nilai-nilai kebebasan dalam demokrasi yang bersifat universal tersebut, namun karena ekspresi kebebasan itu berada pada suatu masyarakat tertentu, maka ada relasi ekspresi yang bersifat SOBURAL untuk kita perhatikan. Disinilah eksistensi nilai-nilai kearifan lokal mengambil peran.
Kalau nilai dasar atau jiwa demonstrasi itu adalah penyampaian pesan yang berbeda dengan suatu kondisi atau keadaan atau kebijakan yang ada di masyarakat, maka sesungguhnya kita bisa mencari “wadah” yang tepat untuk menyampaikan pesan itu. Wadah ini pada dasarnya dipilih berdasarkan pertimbangan ke efektifan pesan yang ingin disampaikan, bukankah tujuan dari demonstrasi itu sendiri “menyampaikan pesan”? pesan yang disampaikan dengan memperhatikan nilai-nilai SOBURAL akan lebih efektif dan mudah diterima oleh kelompok atau pihak yang didemo.
Pemikiran inilah yang mengantarkan kepada suatu substansi pemaknaan demonstrasi atau unjuk rasa tersebut, apakah ia dimaknai Mejalis Pemaksaan, Majelis Debat atau Majelis Tukar Fikiran.
Kalau kita beranjak dari konsep suatu demontrasi itu adalah “kritik”, maka panggung demontrasi berisi kritikan, yang idealnya sebuah kritikan akan disertai argumentasi logis yang logis kenapa ia melakukan kritik, sembari mengungkapkan suatu kebijakan terbaik dari hasil kajian yang pengkritik lakukan. Panggung ini akan menjadi show force atau argmentasi logis sehingga akan terjadi “adu argumentasi” dari orang yang dikritik itu.
Sahabat ! perhatikanlah terkadang kehidupan kita bertutur, panggung demonstrasi dijadikan tempat untuk menjadi majelis pemaksaan, karena orang yang dicari harus ada dan menemui mereka, dan kemudian harus menandatangani surat pernyataan yang mereka inginkan. Kalau hal ini yang terjadi, maka panggung demonstrasi sudah berubah dari spirit demonstasi yang memuat pesan tertentu, karena yang ada bukanlagi pesan, tapi pemaksaan.
Disamping itu kita perhatikan lagi ada panggung demonstrasi setelah dihadiri oleh orang atau kelompok yang didemo, kemudian di-isi dengan “perdebatan” dengan argumentasi “pokoknya kami yang benar dan kamu yang salah”, sehingga demontrasi diisi oleh debat kusir dengan maksud menjatuhkan pihak lain. Dan tidak jarang kita temui adanya gejala yang penting mengkritik dan tidak tahu juga jalan keluar terhadap apa yang dikritik itu, katanya “pokoknya kami tidak sepandapat” dan jalan keluarnya bukan urusan kami.
Sahabat ! idealnya panggung demonstrasi dijadikan panggung majelis tukar fikiran terhadap suatu permasalahan yang dianggap mereka keliru atau salah, dengan kemudian mengemukakan argumentasi logis terhadap objek kondisi atau kebijakan yang dikritik itu, sembari memberikan solusi versi pendemo tersebut.
Secara “wisdom” saya punya keyakinan demonstrasi yang menjadi PANGGUNG MAJELIS TUKAR FIKIRAN itulah yang sesuai dengan nilai-nilai Sosial Budaya dan Struktur (SOBURAL) masyarakat Banua, karena setelah demonstrasi selesai terdapat pencerahan dari masing-masing kelompok dan menemukan titik ketidaksepamahan dan titik kesepahaman untuk saling menghargai dan dijadikan infut perbaikan pada kebijakan sosial berikut. Terlebih lagi kalau kelompok pendemo itu mengatasnamakan kelompok terpelajar, yang tentu lebih mengedepankan sikap rasional, ketimbang emosional.
Salam secangkir kopi seribu inspirasi.