SINDIRAN DARI BUANGIT
Hidup bernuansa segala rasa dan semuanya harus dijalani, dipahami dan dinikmati. Hidup memang akan menjadi mudah jika dibuat mudah dan tentunya menjadi sulit jika dibuat sulit, karenanya buatlah hidupmu menjadi mudah walaupun membuat hidup menjadi mudah itu sangat sulit.
Oleh : IBG Dharma Putra
SCNEWS.ID-BALI. Buangit, sepengetahuan saya, tak ada diluar Bali. Ada dua jenis sayur yang belum pernah saya jumpai ditanam diluar Bali, buangit dan gonda namanya. Buangit adalah perdu yang tumbuh di tegalan, tanah liar dipinggir hutan sedang gonda tumbuhnya disawah yang berair.
Rasa keduanya sangat berbeda, seperti bumi dengan langit, seolah keduanya berada pada dua ekstrim yang sangat berbeda dan seolah kedua macam sayur itu, memang diciptakan sebagai paradok satu dengan lainnya.
Gonda terasa manis dan cendrung bisa dimakan mentah, dipakai lalapan dengan hanya dicocolkan sambal, walaupun akan lebih nikmat jika direbus dan setelah mendidih di masukin adonan berisi gerusan bawang putih lombok dan garam sambil segera dihentikan proses masaknya.
Buangit mempunyai rasa sangat berbeda, karena sangat pahit, bahkan lebih pahit dari pare maupun daun pepaya. Saking pahitnya, bau pahitnya sudah menyengat sejak masih dalam bentuk daun mentahan. Buangit dimasak dengan cara dipindang, hanya direbus bersama dengan adonan garam dan asam jawa bisa disertakan lombok bijian didalamnya.
Jukut buangit ( sayur buangit ) merupakan makanan yang melegenda di Bali Barat karena susah dicari dan memanng sejak dulu tidak terlalu diminati oleh mayoritas masyarakat karena pahitnya. Tidak begitu dengan jukut gonda ( sayur gonda) yang sangat populer dan disukai hampir semua orang.
Perbedaan rasa yang sangat ektrim, tidak mempengaruhi lidah saya untuk memberi kesimpulan nikmat bagi keduanya. Nikmat ternyata bisa manis, bisa juga pahit dan saya meyakini nikmat juga bisa terasa untuk segala rasa, karena nikmat tergantung dari cara pikiran dalam mengolah rasa rasa itu.
Diliburan kali ini, saya bernostalgia sekaligus mendapat inspirasi dari jukut buangit yang saya santap pada siang hari ini, ditemani nasi putih hasil persawahan setempat, berengkes, sate lilit dan pepesan tain telengis. Dikala menyantapnya nikmat, pikiran saya terbawa liar kepada sindiran dari buangit. Dan saya menuliskannya.
Tain telengis ditempat tugas saya di kota Banjarmasin, dikenal bernama tahi lala. Di pontianak disebut taik minyak, dan selain secara nyata diberikan sebagai nama bagi endapan sisa proses pembuatan minyak kelapa, taik minyak juga disematkan secara simbolis kepada manusia tukang bohong.
Kali ini, bukan tukang bohong, tapi bentuk nyata sebagai makanan, dimakan bersama sate lilit dan berengkes. Ketiga makanan ini, diolah dengan bahan dasar ikan laut ataupun tambahan ikan laut hasil tangkapan nelayan pengambengan, yang lokasinya diujung barat daerah Bali Barat.
Menjadi bertambah nikmat karena buangitnya dikirim dengan atensi persaudaraan oleh sahabat masa kecil yang masih tinggal serta tak pernah meninggalkan kota ini, karena mengurus bisnis keluarganya secara turun temurun di kota ini, namanya Thomas Subagio dan saya lebih mengenalnya sebagai Koko Ping Cuan, sesuai panggilannya dulu, sewaktu masih sama kanak kanak.
Rasa pahit yang menyentuh lidah, membuat saya terbayang pada pandemi dan makanan pahit anti mikroba, bakteri maupun virus. Yang terasa pahit, apalagi sangat pahit dan rasa ekstrim lain seperti kecut dan pedas cendrung tidak disukai oleh virus dan kuman penyakit. Mikroba tidak mempunyai lidah tetapi mikroba tetap bisa merasakan rasa dan dipastikan mempunyai cara lain untuk merasakan dunia.
Saya akan lebih memilih rasa pahit sebagai anti mikroba, khususnya untuk melawan sakit yang diakibatkan oleh covid-19 karena terasa enak dan lebih masuk akal dibandingkan dengan anjuran untuk mengobati covid dengan minum arak bali. Keduanya sebenarnya tidak punya dasar ilmu dan sekedar ngomong saja.
Manfaat pahit seolah membenarkan pendapat yang mengatakan bahwa manis berakibat sakit gula, asin menimbulkan tekanan darah tinggi, terlalu sedap menumpuk lemak dan merusak jantung , terlalu kecut mengerus permukaan lambung, timbulkan maag dan semua penyakit akibat manis, asin, sedap dan kecut terebut, diobati dengan bahan makanan berasa pahit.
Kepahitan hidup juga perlu dialami sebagai pembelajaran, anak anak tidak dimanja dan fasilitasnya terkadang wajib ditunda asalkan tak mempengaruhi proses untuk menjadi sempurna dan hasilnya tetap semakin baik. Penundaan hanyalah untuk sebuah percobaan siksa. Jika sudah pernah merasakan siksanya kepahitan hidup, niscaya kondisi yang biasa akan menjadi bahagia. Pembelajaran pahit, mengobati kita dari penyakit dengki, dendam, sirik dan iri hati.
Jika tak ada dendam, dengki, sirik maupun iri hati, maka hidup akan lapang serta dijauhkan dari rasa ketidak adilan, Dengan demikian, semua situasi bisa dipahami dan diterima seperti kenyataannya yang terjadi. Bukankah bahagia itu juga karena bisa menerima kehidupan seperti apa adanya.
Pahit merupakan salah satu rasa yang wajib ternikmati dan tidaklah perlu bersedih maupun sombong karena rasa pahit. Kesedihan timbul karena menempatkan pahit digradasi yang lebih buruk dibandingkan manis, sebaliknya kesombongan timbul karena merasa unggul dan bisa menikmati pahit dengan segala keistimewaannya.
Pahit itu biasa saja, seperti halnya asin, manis, kecut dan sedap. Yang tidak biasa adalah hambar tanpa rasa, tak pahit, tak manis, tak asin dan tak kecut. Sehambar hambarnya tetap harus bisa dirasakan, setidaknya sebagai alarm bahwa ada yang kurang dalam kehidupan ini.
Hidup bernuansa segala rasa dan semuanya harus dijalani, dipahami dan dinikmati. Hidup memang akan menjadi mudah jika dibuat mudah dan tentunya menjadi sulit jika dibuat sulit, karenanya buatlah hidupmu menjadi mudah walaupun membuat hidup menjadi mudah itu sangat sulit.
Rasa tak boleh berpengaruh di kehidupan ini. Kemiskinan tak bisa mempersulit hidupmu karena buangit yang tumbuh liar di lahan tak terurus dipinggir hutan masih nikmat disantap, dan karena miskin memang bukan hal yang nista. Kita tak ingin miskin bukan karena papanya, tapi karena terasa tidak nyaman saja.
Nikmatilah rasa dalam keheningan, sehingga hambarpun menjadi nikmat. Hambar ternikmati dalam heningnya diam karena hambar banyak terjadi karena miskomunikasi dan miskomunikasi didasari oleh memaksakan komunikasi pada orang yang tidak inginkan komunikasi.
Miskomunikasi itu sering terjadi karena kesalahan sendiri, penyebab utamanya adalah karena orang yang ingin santai, hanya ingin gampang hidupnya, tidak ingin mikir macam macam, diajak untuk berpikir tentang proses kehidupan.
Dan diam juga berarti bahwa nikmatnya jukut buangit cukup diketahui sendiri saja dan jangan mencoba untuk dikhabarkan terutama bagi si kaya. Jika mereka tahu, buangit tak lagi jadi makanan enak bagi si miskin karena habis dibeli orang kaya.
Diam memang kewajiban orang miskin karena kalau toh bicara, sehebat apapun nilai omonganmu akan menjadi kotoran telinga tak berharga dan tak akan sedikitpun diperhatikan orang. Ngomonglah jika sudah kaya dan berkuasa, karena omongan orang kaya yang tak berisi maknapun akan dikaji dan diikuti bak filsafat dunia.
Diam sambil berdoa, supaya buangit tak bisa diolah jadi bahan bakar minyak karena jika bisa dijadikan bahan bakar maka buangit tidak akan sempat dinikmati sebagai jukut buangit dan pasti akan menjadi mahal karena diolah menjadi minyak agar pemilik mobil mewah bisa berwisata melihat kemiskinan dan kebodohan kita.
Bali Barat,
15102021