OBJEKTIF YANG SUBJEKTIF & SUBJEKTIF YANG OBJEKTIF (SERI SECANGKIR KOPI SERIBU INSPIRASI)

OBJEKTIF YANG SUBJEKTIF & SUBJEKTIF YANG OBJEKTIF

 “Objektivitas ilmu tidak bersifat otoritatif hanya sebatas pada sebuah justifikasi kebenaran” (Thomas Kuhn)

(Syaifudin)

SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Sahabat secangkir kopi seribu inspirasi, pada saat bertutur tentang SESUAI JALANNYA saya menyampaikan “proses menemukan makna” terhadap seri tulisan secangkir kopi seribu inspirasi ini, yang kemudian saya simpulkan harus saya teruskan dengan niatan berkontribusi pada “jalan kecil” karya pemikiran dibandingkan “jalan besar” yang ditempuh sahabat dalam “karya buku akademis”.  Disinilah kemudian sahabat dr IBG Dharma Putra menyeletuk bahwa apa yang dituturkan  pada seri secangkir kopi adalah sangat subjektif untuk menunjukan pada istilah yang lebih vulgar “tidak objektif”. Tentu saya sangat berterimakasih atas “celetukan” cerdas dan bijak tersebut, dan sekaligus menginspirasi saya menulis seperti termuat dalam judul di atas.

Pertanyaannya adalah, adakah sebuah karya dan karya ilmiah sekalipun yang bernilai absulot objektif ? dalam pandangan filsafat ilmu objektivitas kita lihat dari metode atau cara kita meneliti atau menemukan kebenaran dengan menggunakan metode ilmiah, yang dalam pandangan positivisme sesuatu yang dianggap benar dan objektif manakala kita bisa melakukan pengujian (test) secara faktual (kuantitatif) dan terukur, sehingga hasilnya berupa “derajat kebenaran” dalam bentuk “signifikansi” sebagai jawaban dari hipotesa yang kita buat. Nilai objektivitas dari metode kuantitatif inipun sesungguhnya juga dipertanyakan, karena saat mengambil pilihan sampel (metode pengambilan sampel) dan metode analisanya serta seluruh proses bekerjanya penelitian tidak terlepas dari hal-hal yang bersifat subjektif dari penelitinya.

Dengan argumentasi yang seperti ini, saya tetap bisa mengatakan bahwa seobjektif apapun dari suatu penelitian kuantitatif yang bersifat induktif, akan ditemuai sifat subjektifitas penelitinya. Perhatikanlah bagaimana  saat kita merumuskan latar belakang, merumuskan masalah, membuat hipotesa mencari teori yang tepat dan menggunakan metode yang dianggapnya paling tepat itupun adalah pertimbangan-pertimbangan yang bersifat subjektif yang ada dalam fikiran peneliti.

Begitu pula dalam penelitian yang bersifat “kualitatif” dan “normatif” dengan menjadikan menjadikan “fenomena” sebagai objek penelitiannya, mengurai fenomena berdasarkan kerangka teori sehingga ia bersifat “deduktif” dengan menggunakan tool “order of logic” untuk menarik suatu kesimpulan, maka akan lebih terasa “nuansa” subjektifitas penelitinya dan bahkan ada kecenderungan ketidaksamaan kesimpulan dari peneliti yang satu dengan peneliti yang lain, seperti yang dikemukanan Sausure dalam “opisisi binary” nya tentang hubungan yang tidak pasti antara pemaknaan dengan yang diberi makna.

Memaknai sebuah “senyuman” saja kita bisa berbeda-beda, terlebih dalam merumuskan “cantik”, sehingga cantik bagi yang satu belum tentu cantik bagi yang lain, sehingga disinilah esinse opisisi binary itu menemukan kebenaran relatifnya yang kita sebut bersifat subjektif, walapun keduanya sama benarnya. Disinilah yang saya katakan “order of logic” itu bersifat subjektif, akan tetapi karena bersifat “open bar” yang alur fikirnya bisa diikuti oleh “kolega” maka kesimpulannya dianggap objektif, walapun sesungguhnya juga bersifat subjektf.

Sahabat ! untuk ini berkenan saya pinjam pendapatnya Thomas Kuhn yang mengatakan bahwa  “objektivitas ilmu tidak bersifat otoritatif hanya sebatas pada sebuah justifikasi kebenaran”.

Sahabat ! dari ranah sumber ilmu yang didapat dari realitas dan uji realitas saja serta dari fikiran  “order of logic” ini saja kita sudah sukar menemukan pendapat dan kesimpulan yang “pure objektif” dan atau “pure subjektif”, apalagi kita bicara dari sumber ilmu yang berasal bukan dari fakta dan uji fakta dan fikiran tersebut, seperti pendapat atau “kalam” yang berasal dari “intuisi”.

Kebenaran pendapat atau kalam yang didapatkan dari sumber intuisi ini, tidak bisa dibandingkan secara “aple to aple” dengan kebenaran yang diperoleh dari dunia empirik tersebut, karena keduanya berbeda pijakannya. Positivisme dibangun dari dunia empirik sedangkan intuisi dibangun dari dunia “hayalan yang abstrak”.

Penggunaan daya “nalar” yang didasarkan pada intuisi ini disebut “intuitif” sebagai suatu “pengetahuan yang didapat dari bentuk yang sebelumnya  tidak disadari”, oleh karena itu daya intuitif wujud dari KEMAMPUAN MANUSIA YANG IRRASIONAL”. Sifatnya yang irrasional inilah sehingga ia dikatagorekan sebagai KEMAMPUAN PSIKIS MANUSIA.

Daya intuisi ini diperoleh oleh seseorang dari suatu anugerah yang sudah ada sejak ia lahir, atau pun juga karena dari proses keluasan dan kedalamannya dalam menuntut ilmu dalam dimensi “jiwa” dan “ruh” atau memang ia menjadi manusia terpilih oleh yang Maha Kuasa. Produk dari daya intuisi ini terlihat dari kemampuannya menangkap firasat yang kuat, sehingga ia dapat melihat sesuatu yang ‘masih ghaib” yang bagi kita umumnya hal itu sesungguhnya masih misteri.

Sahabat ! sumber pengetahuan yang didapatkan dari intuisi ini bisa dikatakan lebih sangat subjektif lagi, akan tetapi suatu saat yang sangat subketif ini akan menjadi kebenaran yang objektif.

Dari tiga tataran sumber ilmu pengetahuan itulah, saya katakan dari sudut ilmu, maka setiap objektivitas terdapat sifat subjektivitas dan begitu sebaliknya setiap subjektivitas juga mengandung dimensi objektivitas.

Terimakasih sahabat Dr IBG Dharma Putra, insyaallah, walaupun seri secangkir kopi seribu inspirasi ini sangat subjektif, namun masih ada kadar nilai objektivitas, hatta sekalipun itu sangat kecil sesuai dengan kemampuan penulisnya dalam “membaca” fakta, mengolah logika dan intuisi.

Salam secangkir kopi seribu inspirasi.

 

 

 

Terbaru

spot_img

Related Stories

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini