Begitulah sensitifitas yang saya alami, lantas bagaimana terhadap orang yang tidak mengalami kebanjiran yang sibuk “bermedsos ria” ? disinilah mesti ditumbuhkah kesadaran untuk bisa merasakan yang orang lain rasakan, walaupun ia tidak mengalaminya sendiri. Caranya coba bayangkan dan resapkan yang orang lain rasakan, sehingga bisa merasakan yang orang lain rasakan tersebut. Kemapuan merasakan yang orang lain rasakan, kemudian meresapkan lalu bersimpati yang diikuti oleh tindakan memberikan bantuan sesungguhnya merupakan bentuk dari kecerdasan emosional dan spiritual.
Oleh : Syaifudin*
SC-NEWS.ID-Banjarmasin. Sering kita dengan istilah “merasa maka tahu” yang menunjukan dalam kehidupan, kita baru bisa mesarakan kalau kita mengalami sendiri (empiric). Lantas apakah hanya mengalami sendiri kita bisa merasakan yang orang lain rasakan ? atau bagaimana kalau kita telah mengalaminya sendiri peristewa sama atau serupa lalu bisa merasakan yang orang lain rasakan ?.
Masalah “rasa” inilah yang jadi renungan saya di masa musibah banjir sekarang ini, karena saya telah mengalami sendiri kebanjiran dan telah menyaksikan bagaimana kehidupan orang-orang yang terkena banjir dan bahkan menurut penilaian saya lebih parah kondisinya dari pada kebanjiran yang menimpa rumah dan kantor saya.
Dari mengalami sendiri dan menyaksikan bagaimana “susahnya” ditimpa bencana ini, telah menimbulkan dua hal di indera “rasa” saya. Pertama saya bisa merasakan dan kedua telah memiliki kemampuan merasakan atas peristewa banjir ini yang dialami oleh orang lain, dan akibatnya dalam diri saya telah tumbuh “sensitifitas” terhadap suasana bencana banjir ini.
Akibatnya dari kedua kemampuan itulah, maka mempengaruhi reaksi saya terhadap lingkungan disekitar saya termasuk media social yang saya ikuti. Dari sinilah bermula mengapa saya sangat tidak setuju dan menentang pihak-pihak yang menjadikan banjir sebagai objek “lelucon”, objek edit gambar dan video tentang banjir, menarasikan banjir dengan menyalahkan dan mengkambinghitamkan orang lain dan parahnya lagi membuat hoax, berita bohong serta ujaran kebencian dan pencemaran nama baik.
Sebagai orang yang berlatar belakang pendidikan dan profesi hukum serta media, insyaallah saya bisa membedakan, mana sebuah kritikan dan mana sebuah fitnah atau penistaan dan hoax, karena kritikan pasti berawal dari fakta, dan terhadap fakta ini kemudian kita mempunyai pemikiran untuk pemecahannya atau solusinya. Sedangkan fitnah dan hoax berawal atau bersumber pada fakta yang telah “direkayasa” atau di edit sehingga telah menjadi “fakta palsu” dengan membuat narasi atau kesan bahwa seolah-olah fakta yang dipajang itu adalah fakta yang sebenar dan terjadi sekarang.
Tidak itu saja, secara moralitas sensitifitas saya juga merasa tidak “tega” bahkan terhadap orang yang sibuk mengambil foto banjir dan menshare foto atau video tersebut ke umum, apalagi bukan untuk menjadi informasi yang bermanfaat, akan tetapi sibuk menggunjing masalah-masalah yang belum tentu kebenarannya terhadap foto atau video itu. Bukankah foto atau video itu akan bernilai sebagai informasi kalau disertai data yang dalam prinsip jurnalisme disebut “5W 1H”, sebagai contoh banyak beredar foto dan video awal kejadian banjir, lalu berkomentar “kok tidak ada bantuan dari pemerintah ?”, sekilas ini benar, tapi coba perhatikan bagaimana mungkin di saat awal awal kejadian ada pihak pemerintah membantu. Atau kalau ada awal kebakaran, mana mungkin ada mobil pemadam datang, yang ada pasti foto tetangga sekitar yang berusaha menyelamatkan diri memadamkan api.
Begitulah sensitifitas yang saya alami, lantas bagaimana terhadap orang yang tidak mengalami kebanjiran yang sibuk “bermedsos ria” ? disinilah mesti ditumbuhkah kesadaran untuk bisa merasakan yang orang lain rasakan, walaupun ia tidak mengalaminya sendiri. Caranya coba bayangkan dan resapkan yang orang lain rasakan, sehingga bisa merasakan yang orang lain rasakan tersebut. Kemapuan merasakan yang orang lain rasakan, kemudian meresapkan lalu bersimpati yang diikuti oleh tindakan memberikan bantuan sesungguhnya merupakan bentuk dari kecerdasan emosional dan spiritual.
Renungan ini secara vulgar melahirkan keprihatinan atas kondisi kehidupan media social kita yang seolah-olah tanpa empatik dan etika menjadikan musibah banjir menjadi ajang gunjingan, lelucon, hoax dan fitnah serta ujaran kebencian. Mengapa hal ini bisa terjadi, mari kita renungkan bersama, tetapi ada satu hal yang mesti kita catat, kalau ada pihak-pihak yang menggunakan bencana banjir ini justeru untuk kepentingan tertentu, apakah itu kepentingan politik atau karena kebencian kita pada seseorang, lantas membuat hoax dan fitnah serta ujaran kebencian itu, maka kita himbau nuraninya dan doakan, “janganlan penderitaan orang lain sebagai alat untuk mencapai tujuan nafsu anda.
Lebih-lebih pagi ini dalam tadarus kami membaca surah An Noor ayat 19 yang walapun peristewanya berbeda, namun bisa menjadi perbandingan untuk contoh mengingatkan kita dalam hidup ini, bahwa “Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar perbuatan yang keji itu (berita bohong) tersiar dikalangan orang-orang yang beriman, mereka mendapat azab yang pedih di dunia dan akhirat. Dan Allah mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui”.
Salam Wisdom Spritual.