POLITIK PERBURUAN TUKANG SIHIR
(Pathurrahman Kuranain & Siti M Hairini)
SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Di Eropa abad ke 15 hingga 17, terdapat fenomena mengerikan bagaimana perburuan membabi-buta terhadap penyihir dilakukan oleh orang-orang yang gila kekuasaan. Dalam bukunya yang berjudul “Cows, Pig, Wars and Witches”, Marvin Harris (1974), menjelaskan dengan sangat apik bagaimana orang-orang yang tidak berdaya dituduh secara serampangan sebagai tukang sihir, seperti bersekutu dengan iblis, bersetubuh dengan iblis betina & laki-laki, menghadiri Sabbath (perkumpulan para penyihir), hingga terbang di atas rumah-rumah mereka dengan menggunakan sapu. Mereka yang tertuduh kemudian diinterogasi, disiksa agar mengaku dan dibakar hingga tewas. Ironisnya, menurut Harris dari banyak laporan menyebutkan justru orang-orang yang dituduh ini terpaksa mengakui atas tuduhan yang sebenarnya tidak mereka ketahui dan lakukan, semata-mata hanya untuk mengakhiri penyiksaan yang tidak berkesudahan.
Berbeda dengan Profesor Jeffrey Burton Russel (1972) dalam tulisannya “Witchcraft in the Middle Ages”, yang menegaskan bahwa sihir dan mistisisme merupakan bentuk protes sosial, dimana kaum agamawan dan bangsawan menganggap sihir adalah hal yang berbahaya dan subversif, Marvin Harris justru memberikan eksplanasi yang berbeda. Menurut Harris, sihir merupakan rekayasa kelompok penguasa sebagai komoditas politik untuk mempertahankan kekuasaan dan dominasi kekayaan mereka terhadap gerakan perlawanan kelas proletar. Ternyata perburuan ini sebagian besar diciptakan dan dilanggengkan oleh kelas penguasa untuk meredam gerakan protes dari masyarakat bawah terhadap kesenjangan sosial dan ekonomi yang terus terjadi. Pada abad itu, orang-orang miskin sudah muak dan perlahan memiliki kesadaran kolektif untuk menentang segala bentuk pemaksaan kerja, pembedaan kelas hingga kepemilikan pribadi. Mereka ingin menghapuskan semua relasi kepemilikan dan mendistribusikan kekayaan gereja dan negara kepada kaum papa.
Kelompok elit ingin kaum miskin percaya bahwa penderitaan mereka selama ini (wabah, gagal panen, kelaparan, ternak-ternak mati, dlsb) disebabkan oleh tukang sihir. Gereja dan negara ingin berkilah dari tanggung-jawab terhadap krisis masyarakat, dan mencari kambing hitam dengan mengkampanyekan setan-setan imajiner dalam wujud manusia. Bahkan yang lebih mengenaskan lagi, mayoritas orang-orang yang dituduh sebagai tukang sihir justru berasal dari kalangan sub-altern, yakni orang-orang yang lemah secara sosial, politik dan ekonomi. Penelitian H.C. Erik Midelfort (1972), dalam “Witch Hunting in Southwestern Germany” mengulas tentang eksekusi 1.258 penyihir di Jerman menunjukkan sebesar 82 persen penyihir adalah perempuan-perempuan tua tidak berdaya dan bidan-bidan kelas bawah, serta masyarakat miskin lainnya. Midelfort mencatat hanya ada tiga kasus tuduhan sihir terhadap anggota kelas bangsawan, dan tidak satupun dari mereka dieksekusi.
Keberhasilan propaganda elit terhadap tukang sihir ini membuat masyarakat yang sebelumnya telah frustrasi, teralienasi dan dimiskinkan menjadi ikut terhasut serta turut menyalahkan setan yang merajalela, alih-alih agamawan tamak dan bangsawan korup. Perburuan besar-besaran terhadap penyihir telah membuyarkan energi dan memecah-belah soliditas gerakan protes yang laten, hingga membuat orang tak berdaya dan kembali menggantungkan diri kepada penguasa untuk melindungi dirinya, termasuk harus rela membayar pajak yang mencekik dan mengikuti kemauan penguasa demi menyelamatkan diri dari ancaman sihir. Melalui perburuan penyihir, perhatian publik dapat dibelokkan oleh elit kekuasaan agar konfrontasi terhadap redistribusi kekayaan dan penyamarataan posisi sosial dapat terhindarkan.
Dalam sejarah kelam Eropa terhadap pembantaian orang-orang yang tertuduh sebagai tukang sihir ini, kita dapat merefleksikan bahwa, pertama, kehadiran kelompok elit merupakan fenomena yang tidak terhindarkan dalam kehidupan sosial-politik. Kelompok elit akan senantiasa eksis dimanapun/dalam bidang apapun, selama peradaban manusia terus bergulir. Sebagaimana yang digariskan Pareto & Mosca (1939), hingga Keller (1984), elit adalah sekelompok orang yang memiliki keunggulan, superioritas dan sumberdaya lebih jika dibandingkan dengan orang awam, sehingga dengan keunggulannya inilah mereka mampu mempengaruhi jalannya kehidupan masyarakat luas.
Kedua, kelompok elit ini memiliki insting alamiah untuk terus berupaya mempertahankan kekuasaan dan dominasinya dalam kehidupan. Dengan berbagai keunggulan dan sumberdaya yang dimilikinya, elit mampu melakukan apa yang tidak bisa dilakukan orang biasa, termasuk merekayasa kehidupan sosial untuk mewujudkan keinginan mereka.
Ketiga, dalam upaya untuk mempertahankan kekuasaan dalam genaggamannya, elit tidak segan-segan mengorbankan berbagai urusan dan kepentingan publik, dan tidak jarang kelompok yang paling rentan menjadi “wayang” kelompok elit justru orang-orang pinggiran yang tidak berdaya.
Keempat, pengaruh permainan elit hanya dapat diredusir dengan sistem demokrasi, dimana kekuasaan perlu didistribusikan secara merata kepada setiap orang serta jalannya kekuasaan dapat dikontrol oleh demos. Sebagai anti-tesis dari fenomena elit, demokrasi harus terus dirawat agar nilai-nilai yang terdapat didalamnya tidak menyimpang dari cita-cita bersama.
Terakhir, salah satu cara terbaik untuk merawat demokrasi adalah dengan terus mengobarkan pelita-pelita literasi politik. Ini penting dilakukan agar seluruh elemen masyarakat dapat memahami peran, hak dan tanggung-jawabnya sebagai warga negara yang memiliki daulat untuk memastikan distribusi keadilan dan kesejahteraan dapat terpenuhi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bukankah manipulasi hanya dapat dilawan dengan literasi? Salam Sorotan Demokrasi Duta TV.
(Penulis adalah Akademisi FISIP ULM Banjarmasin)