HOMO LUDENS DALAM GELANGGANG POLITIK
“A ludic experiences”, yang mendorong seseorang merasakan kesenangan dan kegembiraan tiada tara, seperti halnya efek yang ditimbulkan dari pengaruh ekstasi. Bukan sesuatu yang aneh, ketika seseorang telah terjun dalam arena politik, maka dia akan merasa lebih muda, lebih enerjik dan lebih berarti.
Pathurrahman Kurnain & Siti M. Hairini
SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Dalam perihal politik, terdapat satu pertanyaan yang sangat sukar untuk dijawab sekaligus dijelaskan, yakni pada usia berapakah orang-orang harus pensiun dari karir politiknya? Pertanyaan selanjutnya yang lebih kongkrit, mengapa diusianya yang tidak muda lagi, tokoh-tokoh politik senior seperti Megawati Soekarno Putri, Prabowo Subianto maupun Amien Rais seperti masih enggan meninggalkan arena politik? Bahkan, sebagai kandidat yang paling tua diantara nama-nama yang mengisi bursa capres, Prabowo Subianto kerap disebut-sebut tetap akan berlaga pada pemilu 2024 yang akan datang. Kekalahan demi kekalahan dalam pemilihan presiden dan wakil presiden sejak 2009 silam, ternyata tidak menyurutkan minat Prabowo untuk terus berlaga di panggung politik.
Bila ditarik pada konteks global, kita juga dengan mudah menemukan politisi-politisi senior yang tetap semangat untuk terus bergelut dalam politik. Sebut saja misalnya Joe Biden yang terpilih menjadi Presiden AS di usianya yang ke-79 tahun. Bahkan rivalnya pada pilpres saat itu, yakni Donald Trump juga telah berusia 75 tahun. Di negeri jiran, kita bisa temukan contoh kasus yang lebih menarik lagi. Mahathir Mohammad yang kini telah berusia 95 tahun, dikabarkan akan mencalonkan diri kembali sebagai Perdana Menteri Malaysia, dimana posisi tersebut pernah dijabatnya selama 24 tahun. Ternyata bergelut di dunia politik selama 75 tahun belumlah dirasa cukup oleh tokoh politik gaek yang kerap disapa “Dr M” ini. Dalam skala lokal pun, masih banyak ditemukan politisi senior yang masih antusias menceburkan diri dalam gelanggang politik, seperti Zairullah Azhar, Hasanudin Murad, Sofwat Hadi dan banyak lagi yang lainnya.
Menariknya, dari nama-nama politisi yang telah disebutkan tadi, belum ada satupun dari mereka yang secara resmi menyatakan rencananya untuk segera mengakhiri kiprah politiknya. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam dunia politik sepertinya kita tidak mengenal usia pensiun. Lantas, mengapa hal ini bisa terjadi? Dari sekian banyak kemungkinan penjelasan terkait hal tersebut, saya tertarik untuk mengemukakan alternatif jawaban guna menjelaskan fenomena ini menggunakan perspektif “Homo Ludens” dari seorang filsuf Belanda yang bernama Johan Huizinga. Homo Ludens merupakan buku yang ditulis Johan Huizinga pada 1938.
Dalam karyanya tersebut, Huizinga ingin meyakinkan para pembaca bahwa bermain adalah hal yang sangat elementer dalam kehidupan manusia, seperti halnya berpikir dan bekerja. Sehingga manusia tidak hanya dikenal sebagai Homo Sapiens & Homo Faber, akan tetapi juga sebagai Homo Ludens. Menurut Huizinga, bermain merupakan insting paling primitif sekaligus permanen dari hewan dan manusia, sehingga bisa dikatakan bermain telah mendahului sekaligus selalu mewarnai peradaban/kebudayaan manusia di manapun berada. Artinya, sepanjang individu masih bernafas, maka insting bermain akan terus hidup dalam dirinya. Pada hakikatnya, manusia adalah subyek yang bebas dan selalu memiliki kehendak/pikiran untuk bermain sepanjang hidupnya. Dia berhak masuk dalam arena permainan manapun, dengan peran serta cara apapun, walaupun tidak bisa memastikan hasilnya akan selalu dimenangkan. Oleh sebab itu, Huizinga menolak pandangan yang menyatakan bahwa aktifitas bermain hanyalah satu jenjang dalam proses pertumbuhan manusia, dimana bermain selalu dilekatkan pada aktifitas masa kanak-kanak belaka. Singkatnya, Homo Ludens merupakan konsep yang meyakini bahwa setiap manusia adalah pemain yang memainkan permainan.
Bila dikaitkan dengan konteks politik, Homo Ludens dapat dijadikan basis argumentasi mengapa orang-orang akan selalu tertarik dan ingin masuk dalam zona politik, tidak peduli berapapun usia mereka. Domain politik yang berada pada ranah publik, akan selalu menjadi wahana permainan yang ideal untuk mencari kesenangan karena dipenuhi relasi, kontestasi, distribusi, resistensi dan sirkulasi kekuasaan. Disamping itu, permainan politik tidak hanya mengaktualisasikan potensi kognitif, akan tetapi sekaligus menguji potensi afektif dan psikomotorik para pemainnya sekaligus, termasuk memainkan seluruh sumberdaya-sumberdaya (modal ekonomi, modal sosial, modal kultural dan modal simbolik) yang dimiliki.
Pergulatan kekuasaan adalah permainan yang sangat dinamis, misterius, sekaligus juga kompleks. Sebagaimana yang dikatakan Pangeran Otto von Bismarck “Politics is the art of the posible”, dalam politik ada begitu banyak kemungkinan yang dapat terjadi, bahkan tidak jarang justru kejutan-kejutan tersebut terjadi hingga detik-detik terakhir. Arena politik, walau bagaimanapun kerasnya, selalu memberikan gelombang-gelombang intens pengalaman emosional turun-naik yang impresif, sehingga terdapat gairah dan antusiasme tersendiri di dalamnya. Dalam gelanggang politik kita akan menemukan pembagian peran, unjuk kekuatan, tantangan, kompetisi, ketidakpastian, mengotak-atik tak-tik dan strategi, ketegangan, serangan-balasan, penerimaan kenyataan hingga kemenangan dan kejayaan. Inilah yang disebut oleh Huizinga sebagai “a ludic experiences”, yang mendorong seseorang merasakan kesenangan dan kegembiraan tiada tara, seperti halnya efek yang ditimbulkan dari pengaruh ekstasi. Bukan sesuatu yang aneh, ketika seseorang telah terjun dalam arena politik, maka dia akan merasa lebih muda, lebih enerjik dan lebih berarti.
Oleh sebab itu, generasi muda perlu memahami Homo Ludens agar memiliki kesadaran bahwa mereka tidak perlu menunggu para senior untuk pensiun dari gelanggang politik dan menunggu giliran, baru memulai menjadi pemain politik. Karena sejatinya tidak ada kata pensiun dalam permainan politik. Setiap orang bisa masuk dan keluar arena permainan dengan bebas. Selain itu, bila politik dikategorikan sebagai arena permainan, maka kita semua perlu menyadari hakikat dari permainan itu sendiri. Individu-individu telah memutuskan untuk masuk arena politik ataupun ambil bagian di dalamnya, maka pada dasarnya mereka sudah siap untuk bermain. Resiko kekalahan ataupun kemenangan merupakan hal yang biasa baginya dan memang harus dijalani. No hard feelings, mungkin itulah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan bagaimana sikap yang harus dimiliki oleh pemain politik beserta para pendukungnya. Selanjutnya, dalam permainan politik kita tidak boleh memandang rendah para pemain lain, terlepas dari berbagai keterbatasan yang dimilikinya, apalagi bermain-main dalam menjalankan permainan politik.
Seriuslah dalam bermain politik, jika tidak ingin nasib anda dipermainkan oleh orang lain. Selamat bermain !