UNGKAP FAKTA ADA APA DIBALIK PEMERKOSAAN MAHASISWI FAKULTAS HUKUM ULM UNTUK KEADILAN BAGI KORBAN & MASYARAKAT

UNGKAP FAKTA ADA APA DIBALIK PEMERKOSAAN MAHASISWI FAKULTAS HUKUM ULM UNTUK KEADILAN BAGI KORBAN & MASYARAKAT

(Syaifudin *)

SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Jujur hari ini saya tersentak mendengar kabar tentang Proses Hukum Pemerkosaan yang dialami oleh Mahasiswi FH ULM yang baru selesai menjalani program Magang di Lembaga Kepolisian, kemudian diajak jalan oleh seorang oknum Polisi ditempat ia magang, kemudian secara dramatis “diperkosa oleh Oknum Polisi tersebut dengan terlebih dahulu memberikan minuman yang membuat Mahasiswi ini tidak sadarkan diri.

Anehnya proses hukumnya begitu cepat dan tidak banyak diketahui oleh publik atau bahkan oleh korban sendiri, dalam kurun waktu 31 hari kerja perkara pidana itu diputus oleh Pengadilan Negeri banjarmasin dengan menjatuhkan pidana selama 2 tahun dan 6 bulan karena terbukti melanggar pasal 286 KUHP, dari tuntutan  pidana yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum selama 3 tahun 6 bulan.

Kenapa saya tersentak dan bahkan menangis ?

Pertama, korbannya adalah mahasiswi fakultas hukum yang berarti sedang belajar ilmu hukum dengan cita-cita menjadi profesional hukum, dan kampus ia menimba ilmu adalah kampus saya yang pernah mengajar mengajar hampir 30 tahun, sehingga saya merasakan korban seperti  “anak” sendiri yang lagi kuliah dan baru selesai melaksanakan program perkuliahan “magang” di lembaga kepolisian tapi justeru tragis menjadi korban pemerkosaan oleh oknum lembaga ditempat ia magang tersebut.

Kedua, pelakunya adalah anggota kepolisian yang notabene penegak hukum yang mestinya memberikan perlindungan dan pengayoman kepada masyarakat, terlebih korban adalah sedang belajar pada instutusi sebagai lembaga penegak hukum yang akan memberikan bekal padanya untuk melihat tugas dan fungsi Kepolisian. Lantas mereka yang mestinya mengajarkan ilmu atau paling tidak memberikan tauladan saat magang tersebut, ternyata malah menjadi aktor “biadab” yang berbaju “aparat”.

Ketiga, proses hukum dalam sistem peradilan pidananya terkesan tertutup dari media, bahkan kami dimedia juga tidak mengetahui seperti apa proses hukumnya, sehingga variabel-variabel apa yang kemunginan mempengaruhi proses hukum tersebut tidak dapat terdetiksi oleh masyarakat, oleh karena itu sangat wajar adanya “dugaan-dugaan” variabel yang terstruktur telah mempengaruhi jalan proses hukum tersebut.

Ke-empat, jaksa penutuntut umum yang menangani perkara ini memasang  Pasal 286 KUHP tentang persetubuhan dengan perempuan yang bukan istrinya sedang diketahuinya perempuan itu pingsan atau tidak berdaya, yang ancaman pidanya maksimal 7 tahun penjara. Kenapa tidak memasang pasal 285 KUHP sebagai tindak pidana pemerkosaan dengan ancaman 12 tahun penjara.

Ke-lima, Penggunaan pasal 286 KUHP oleh Jaksa Penuntut Umum telah secara gamblang tidak memperhatikan ketentuan pasal 89 KUHP yang menyebutkan istilah kekerasan termasuk didalamnya perbuatan membuat orang pingsan atau tidak berdaya, sehingga tidak masuk akal kalau seorang Jaksa Penuntut Umum tidak mengetahui hal ini.

Ke- enam, pertimbangan fakta hukum apa atau variabel-variabel apa yang menjadi dasar penentuan tuntutan pidana oleh Jaksa penuntut Umum selama 3 tahun dan 6 bulan penjara, padahal ketentuan pasal 286 KUHP yang digunakan itu saja ancaman pidananya selama 7 tahun.

Ke-tujuh, hal-hal yang meringankan apa yang terungkap dipersidangan atau fakta hukum apa atau legal rationing apa yang menjadikan Mejelis hakim menjatuhkan pidana dengan pidana penjara selama 2 tahun dan 6 bulan penjara.

Ke-delapan, dasar pemikiran apa atau ada variabel apa Jaksa Penuntut Umum tidak melakukan upaya banding terhadap putusan pengadilan tersebut, yang secara logika penjatuhan pidananya kurang dari separo dari ancaman pidananya.

Ke-sembilan, cara pelaku melakukan pemerkosaan dengan membujuk dan karena ditolak kemudian memberikan minuman yang berisi zat tertentu sehingga korban pingsan atau tidak berdaya, bisa dijadikan indikasi pelaku telah merencanakan dan “lihai” atau “profesional” sehingga ada kemungkinan adanya korban-korban lainnya dari perbuatan pelaku tersebut yang perlu diselidiki dan dihimbau kepada masyarakat untuk melaporkannya.

Ke-sepuluh, saat korban dibawa ke Hotel, dengan menggunakan kursi roda, lantas kursi rodanya diperoleh dari mana, apakah fasilitas hotel atau sudah dipersiapkan, lantas mengapa orang pingsan atau tidak berdaya tersebut dibiarkan begitu saja oleh petugas hotel untuk memesuki kamar hotel, secara logika kalau ada orang pingsan mestinya dibawa ke Rumah sakit.

Ke-sebelas, dari rangkaian perbuatan pemerkosaan itu, bukan mustahil ada pihak lain yang membantu korban atau bahkan ada pelaku lainnya yang terlibat dalam pemerkosaan tersebut.

Dari sebelas alasan keprihatinan saya yang telah lama mengajar hukum pidana dan kriminologi dan bahkan sering diminta menjadi saksi ahli perkara pidana, secara hermeunitika hukum dengan analisa dari perbuatan pidana, pertanggungjawaban pidana dan sanksi pidana, disamping kajian kriminologi, saya melihat adanya “kejanggalan” dalam proses hukum pada kasus pemerkosaan ini.  Oleh karena itu untuk membuat citra aparatur yang terdapat dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system) kepolisian, kejaksaan dan pengadilan tidak terpuruk dan di cap melakukan rekayasa proses peradilan dengan mengorbankan “rasa keadilan dan kemanusiaan”, sudah sangat layak dibentuk tim pencari fakta proses penegakan hukum kasus ini.

Saya melihat ini kasus adalah tragedi kemanusiaan bagi Bangsa ini yang mesti direspon oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, jaksa Agung dan Kapolri.

Orang tua mana ? dosen mana ? keluarga mana ? masyarakat mana ? yang tidak prihatin dan menangis menyaksikan “drama” kejahatan seperti ini, pelakunya bukan saja mesti dihukum setimpal, bahkan malah mestinya dikebiri.

*Dr.H.Syaifudin, SH.,MH (Akademisi dan Pimpinan Umum Dutatv dan dutatv.com.)

 

Terbaru

spot_img

Related Stories

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini