MENGAKUI DIRI SEBAGAI MANUSIA (SERI RENUNGAN LENA HANIFAH)

Mengakui Diri Sebagai Manusia

“Mau sedih sampai kapan?” Saya sangat marah padanya. Tapi ia benar”.

Oleh : Lena Hanifah, Ph.D

SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Seorang bijak pernah menyampaikan kepada saya, bahwa jika kita sedang diuji dengan ujian yang besar, itu tandanya kita akan naik kelas. Saya menyetujuinya. Tapi ketika dihadapkan secara tiba-tiba pada kenyataan bahwa anak saya mengidap hemofilia, saya seperti dihantam batu besar yang meluluhlantakkan. Saya tergugu. Menangis berminggu-minggu, dan rasanya susah untuk bisa membayangkan bahwa akan ada kebahagiaan lagi yang mungkin menanti. Kelainan ini memaksa anak saya untuk menjalani perawatan memasukkan faktor pembeku darah setiap dua minggu.

Saya tak putus bertanya dalam lima kali sembahyang, dalam setiap lantunan doa malam, mengapa anak saya? Apa salah saya sehingga diuji seperti ini? Apa rencana Allah terhadap hidup anak saya? Terhadap saya? Terhadap keluarga saya? Saya begitu marah, menarik diri, tak sanggup rasanya saya melihat wajah-wajah sumringah orang-orang, sahabat, dan kerabat yang berpendar cahaya. Sedangkan bagi saya, lentera yang saya miliki sudah meredup, susah payah saya menjaga agar dia menyala, menerangi jalan terjal di hadapan.

Saya sengit kepada setiap orang yang menyuruh saya bersabar. Saya sabar, kata saya. Kalian tidak tahu apa yang saya rasakan karena tidak mengalaminya. Tidak hidup dalam kecemasan setiap harinya. Tidak merasakan pedihnya ketika melihat anak kesayangan mengalami efek samping yang mengkhawatirkan saat memasukkan obatnya. Tidak hidup dalam ketakutan apakah anak yang satunya juga mengidap kelainan yang sama. Kami tak henti berada dalam kekhawatiran jika ia lepas dari pandangan karena harus sekolah setiap harinya. Bagaimana keadaannya? Apakah ia terluka? Apakah ia tersandung? Apakah ada yang mencederainya? Apakah ia bercanda pukul-pukulan dengan temannya? Bagaimana jika tergores? Dan seribu pertanyaan lain yang menghantui sampai ia kembali ke pelukan di sore hari.

Saya lelah sekali. Rasanya sendirian dan tak tahu berpegangan ke mana. Tak ada gunanya rasanya gelar akademik berderet yang didapat dari luar negeri, atau rasa bangga artifisial lainnya.

Sampai seorang sahabat mengirim pesan pedas.

“Mau sedih sampai kapan?”

Saya sangat marah padanya. Tapi ia benar.

Saya berusaha tersadar, dan masih terus berusaha menyadari. Apalah saya, tak ada daya upaya. Manusia lemah. Tak bisa melampaui takdir, tak juga bisa menentukan kepastian. Apa yang terjadi, terjadilah. Kun fa yakun. Tetapi, Allah menjanjikan bahwa tak akan seseorang dibebani melampaui kemampuannya (Al-Baqarah 286), dan DIA pun meminta agar berdoa kepadaNya:

Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah pelindung kami.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini