PENGALAMAN “REVIEWER” DI BELANDA

Hikmah apa yang didapat? Pertama, melakukan perjalanan ke luar negeri sendirian memerlukan pemahaman yang baik tentang negara, kota, dan pola transportasi yang akan dituju. Apalagi , jika tidak ada yang menjemput, perlu memahami dengan cermat informasi yang diberikan sebagai bekal utama perjalanan. Kedua, harus terbangun kepercayaan dengan yang memberikan informasi, dan mengikuti instruksi dengan tepat. Ketiga, tidak perlu banyak bertanya, tetapi perlu banyak membaca, sebab semua informasi yang dicantumkan cenderung sangat akurat. Simpulannya adalah Malas Membaca Sesat di Mancanegara.

Oleh Tjipto Sumadi*

SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Tulisan kali ini, masih bercerita tentang pengalaman di negeri Kincir Angin, Belanda. Kisah ini, bukan bercerita tentang urusan pendidikan, apalagi tentang bertugas sebagai pejabat negara. Kali ini akan mengisahkan perjalanan sebagai seorang reviewer, yang ditugasi untuk melakukan kajian terhadap proposal penelitian yang akan dilakukan oleh salah satu lembaga penelitian terkemuka di Belanda.

Sebetulnya, saya sudah beberapa kali berkunjung atau bertugas ke negeri ini, namun tidak pernah pergi sendirian. Pernah sebagai pendamping program kerjasama antara lembaga pendidikan tinggi di Indonesia dan di Belanda. Kerjasama itu meliputi beberapa perguruan tinggi di Belanda antara lain dengan Leiden University dan Utrecht University. Pernah juga menjadi pembicara dalam sosialisasi perubahan kurikulum untuk lembaga pendidikan dasar dan menengah Indonesia yang berada di luar negeri, termasuk di Belanda. Pada kegiatan-kegiatan yang disebutkan terakhir, semua penyelenggara memberikan penjemputan di bandara. Kala menjadi reviewer ini, semua harus dilakukan sendiri, tanpa penjemputan dari bandara hingga ke hotel, bahkan hingga ke tempat pertemuan, keesokan harinya.

Tentu ini pengamalan menarik, karena baru kali ini bertugas seorang diri ke luar negeri, meskipun sudah beberapa kali ke negeri ini dan sebetulnya cukup familiar, namun tetap saja ada rasa bingung dan bimbang, apalagi harus menggunakan kendaraan umum. Beberapa hari sebelum take off, saya pastikan lagi kepada lembaga yang mengundang, apakah akan ada penjemputan? Sekali lagi jawabannya sudah pasti, tidak ada dan silakan mengikuti petunjuk perjalanan yang sudah dikirimkan melalui e-mail. Berbekal informasi petunjuk di e-mail inilah saya menuju Schiphol, Amsterdam.

Bersama Reviewer dari Inggris, Jerman, dan Belgia

Sebetulnya, arahan yang diinformasikan dalam petunjuk perjalanan ini, sangat jelas. Akan tetapi, karena sudah terbiasa mendapatkan layanan dari pengundang, maka seolah perjalan ini terasa “susah”. Setiba di Schiphol, diarahkan belok kiri menuju counter penjualan tiket kereta api. Sempat mencari dan tidak menemukan counter dimaksud. Menyadari terjadi kesalah arah, lalu kembali ke terminal kedatangan, mulai lagi dari awal. Ternyata letak counter yang dimaksud dekat sekali dari terminal kedatangan. Sesuai arahan, saya membeli tiket sekali jalan (one-way ticket). Namun, akibat dari kesasar beberapa menit tadi, saya jadi ketinggalan kereta api yang sesuai dengan jadwal yang diarahkan.

Stasiun kereta api itu, ternyata berada hanya beberapa meter saja dari pintu ketibaan. Kereta api dari Amsterdam menuju Den Haag sudah berangkat, sungguh jadwal yang tepat waktu. Akhirnya, harus menanti jadwal perjalanan berikutnya. Pada pemberangkatan selanjutnya, saya duduk berdampingan dengan seorang pemuda (tentu orang Belanda). Di ujung perjalanan, setelah ada pengumuman bahwa kereta api akan berhenti di Den Haag, maka saya bergegas untuk persiapan turun. Kepada pemuda di sebelah, saya bertanya apakah Anda juga akan turun di sini? Dia tersenyum, dan menjawab; Iya… semua orang akan turun di sini, karena setelah ini tidak ada lagi jalan kereta api. Stasiun ini adalah pemberhentian terakhir di Den Haag. Jujur sebetulnya saya malu di dalam hati, tapi pura-pura saja tidak ada masalah.

Perjalanan berikutnya, adalah menggunakan trem. Setelah menemukan counter penjualan tiket trem, lalu bergegas menuju halte keberangkatan. Diinformasikan, bahwa setelah naik trem, saya harus turun di halte kedua. Saya ikuti petunjuk, dan betul saja, belum pula duduk, saya sudah tiba di halte dimaksud. Ternyata jarak antara stasiun dengan halte tujuan hanya sekitar 700 meter saja, dan sebetulnya dapat ditempuh dengan berjalan kaki. Namun demikian saya beruntung, karena keluar dari halte bawah tanah itu, langsung mendapati hotel Novotel, tempat menginap.

Hikmah apa yang didapat? Pertama, melakukan perjalanan ke luar negeri sendirian memerlukan pemahaman yang baik tentang negara, kota, dan pola transportasi yang akan dituju. Apalagi , jika tidak ada yang menjemput, perlu memahami dengan cermat informasi yang diberikan sebagai bekal utama perjalanan. Kedua, harus terbangun kepercayaan dengan yang memberikan informasi, dan mengikuti instruksi dengan tepat. Ketiga, tidak perlu banyak bertanya, tetapi perlu banyak membaca, sebab semua informasi yang dicantumkan cenderung sangat akurat. Simpulannya adalah Malas Membaca Sesat di Mancanegara.

Semoga Bermanfaat.

Salam Wisdom Indonesia

*) Mahasiswa Teladan Nasional 1987.    Dosen Universitas Negeri Jakarta

Terbaru

spot_img

Related Stories

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini