RESPON
“Dari tiga isue tersebut di atas, saya mengajak memunculkan adanya sadari dan pemaklumkan akan adanya banyak variabel yang mempengaruhi mengapa seseorang memberikan komentar yang berbeda beda, setuju atau tidak setuju, memuji atau menghujat dan seterusnya, hal ini disebabkan oleh sifat subjektivitas dan tidak kitapun tidak mengetahui secara utuh suatu keadaan yang melingkupi dari foto atau video atau narasi yang beredar tersebut”.
Oleh : Syaifudin
SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Sahabat ! pada saat saya diminta untuk menjadi narasumber pada BIMTEK untuk anggota DPRD yang diselenggarakan oleh LPPM Universitas Islam Kalimantan (UNISKA) tanggal 22 Nopember 2022 dengan materi public speaking, secara sengaja saya tidak jadi membahas satu satu materi yang ada di PPT yang sudah dibagikan beberapa hari sebelumnya, melainkan langsung membuka forum diskusi. Pertimbangannya didasarkan pada anggapan bahwa para anggota DPRD sudah terbiasa melakukan komunikasi dengan masyarakat dan pada saat rapat-rapat di Dewan, serta acara ini adalah kali yang kedua memberikan materi pada sebagian anggota DPRD yang sama.
Diskusi saya mulai dengan memancing pada isue kekinian yang merubah pola perilaku masyarakat kita dalam ber”public speaking”, yaitu : isue pertama adanya perubahan cepat (revolusi) dalam bidang teknologi informasi yang menjadikan setiap orang mempunyai media pada akun media sosial dengan berbagai platform, sehingga hampir setiap hari kita melakukan kegiatan dibidang public speaking ini, cuman terminologi public speaking yang dulu dilakukan banyak menggunakan komunikasi secara verbal atau lisan, sekarang bergeser kepada komunikasi dengan menggunakan tulisan, gambar dan video di flatform media sosial tersebut. Hal inilah yang merubah peribahasa dulu disebut “mulutmu harimaumu” sekarang “jarimu harimaumu” untuk menggambarkan resiko dan akibat serta tanggung jawab dari komunikasi dalam publik speaking.
Isue kedua, saya anjurkan kepada mereka untuk mencek masing masing aktivitas di smart phone nya, apakah lebih banyak menerima konten ? atau membuat konten sendiri atau membagikan konten yang telah masuk, dari sinilah kemudian saya tanyakan “bagaimana mereka merespon” terhadap tulisan, gambar dan video yang masuk tersebut ?. Konsepsi atau landasan berfikir saya utarakan dalam pembahasan ini bahwa “sesungguhnya kita tidak mengetahui secara pasti bagaimana suasana, mimik, gestur, penekanan kata keadaan lingkungan, suasana hati atau perasaan orang yang menyebarkan konten tersebut”, yang ada justeru terletak pada kita yang melihat dan membacanya serta kemudian memaknainya. Nah dalam pemaknaan inilah saya ungkapkan salah satu teori yang disebut “oposisi binary” sebagai suatu kondisi pemaknaan yang tidak tunggal terhadap objek yang sama. Dan ini memperkuat argumentasi bahwa respon memaknai itu tergantung kepada kita yang memaknai, karena itulah suasana emosional, keadaan, pengetahuan kitalah yang akan mewujudkan “sosok respon kita terhadap konten itu”.
Isue ketiga terkait dengan isue kedua di atas, sikap apa yang harus kita lakukan dalam menghadapinya ? untuk inilah perlu dibangun kesadaran bagi kita yang menerima konten akan adanya yang dalam komunikasi dalam publik speaking disebut bersifat “transcultural communication”, dimana pesan yang ingin disampaikan dalam sebuah komunikasi publik bisa kita terima sebagai suatu kebenaran yang kita sepakat atau sebaliknya kebenaran yang tidak kita sepakat atau ketidakbenaran dalam pemahaman kita. Dalam konteks ini yang harus kita tanamkan pada diri kita adalah kesadaran tentang keniscayaan adanya perbedaan pendapat dan beragamnya nilai-nilai kebenaran yang diyakini oleh mereka dengan latar belakang kehidupan yang berbeda. Oleh karena itu apapun nilai kebenaran konten itu tidak akan jadi masalah bagi kita, adapun yang jadi masalah adalah bukan kebenaran kontennya, akan tetapi bagaimana kita menghargai perbedaan makna dan proses respon terhadap kebenaran konten tersebut.
Dari tiga isue tersebut di atas, saya mengajak memunculkan adanya kesadaran dan pemaklumkan akan adanya banyak variabel yang mempengaruhi mengapa seseorang memberikan komentar yang berbeda beda, setuju atau tidak setuju, memuji atau menghujat dan seterusnya, hal ini disebabkan oleh sifat subjektivitas , dan tidak kitapun tidak mengetahui secara utuh suatu keadaan yang melingkupi dari foto atau video atau narasi yang beredar tersebut.
Simpulan yang kita ambil hanyalah bentuk dari respon diri dari konten komunikasi dalam “public speaking” tersebut, dan bukan menggambarkan apa makna sebenarnya dari suatu konten. Anehnya terkadang hanya didasarkan kepada kesukaan atau ketidaksukaan, kedekatan, kelompok, paras dan sebagainya kita menilai baik dan tidaknya suatu informasi dari konten itu, dan payahnya lagi kita sudah kehilangan daya kritis dalam meresponnya.
Salam secangkir kopi seribusatu inspirasi.