GETOK TULAR (SERI OPINI IBG DHARMA PUTRA)

GETOK TULAR

Oleh : IBG Dharma Putra

SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Getok merupakan istilah khusus dari memukul, yaitu khusus untuk memukul kepala dan bukan bagian lain dari tubuh sedangkan tular artinya menjangkit, menjalar atau mempengaruhi. Jika kedua kata dipasangkan menjadi getok tular, ternyata artinya menjadi menyebarkan berita dari mulut ke mulut. Ada yang bicara, ada yang mendengarkan dan yang mendengarkan akan bicara untuk didengarkan oleh yang lain, sampai berita diketahui oleh semua anggota masyarakat. Dalam getok tular, terlihat jelas adanya proses komunikasi dari mulut ke mulut, menyembunyikan proses komunikasi antara telinga dengan telinga lainnya. Mulut memang senang pamer, tidak demikian keadaannya dengan telinga, yang terbiasakan sembunyi mengintip pembicaraan untuk memahami.

Telinga perlu dibiasakan sekaligus dibiarkan belajar mendengarkan, sampai bisikan misteri ditangkapnya secara lengkap tanpa hilang satu hurufpun. Telingga wajib bisa mendengar karena rasa ataupun mata, tidak selalu bisa diandalkan. Rasa dipenuhi oleh kepentingan dan harapan, sehingga sering terperangkat dalam khayalan mimpi. Matapun begitu, tidak bisa membedakan baik buruk dengan pasti, kecualinya bisa dilihatnya tanda atau tulisan, dijidat ataupun objek yang bersangkutan.

Mendengarkan bisa dilakukan secara pasif, dengan menunggu bunyi atau secara aktif, dengan membuat bahkan merangsang atau memicu timbulnya bunyi. Dikala ada keinginan mendengar secara aktif, diampun dipancing berbunyi melalui bicara tanpa makna, karena itulah, ada saatnya, bahwa diam akan serupa dengan banyak bicara, jika bicaranya tak ada kejelasan isinya dan bicara tak bisa dibedakan dengan berbunyi, sebab bunyi tak harus punya arti. Sebaik baiknya bunyi yang membuat diam berbicara, adakah bunyi yang dipenuhi tanya. Sebuah paradok sulit dijelaskan, tanpa makna tapi dipenuhi tanya.

Mendengarkan lebih mudah dilakukan secara pasif, walaupun bukan tanpa kesulitan berarti. Kepandaian mendengar dengan menunggu bunyi secara pasif, mencapai prestasi puncak jika sudah bisa mendengarkan diam. Disaat seperti itu, saling diampun akan bisa menjadi jawab dari semua tanya dan keheningan akan dicari untuk mendapatkan arti.

Sayangnya kebiasaan mendengar sudah lama ditinggalkan, kemungkian sejak cerita mulut ke mulut dianggap lebih rendah kualitasnya dibandingkan dengan tulisan. Katanya, tulisan bisa dipertanggung jawabkan sedangkan omongan tidak demikian, konon karena lidah tidah bertulang. Mulai saat itu, kegiatan mendengarkan digantikan dengan membaca, yang sebenar benarnya tak sama luar dalam.

Anak Nusantara mulai kehilangan kehebatan dan keunggulannya sejak itu, sejak mengikuti jalan pikiran subversif bahwa hitam putihnya tulisan bergradasi diatas getok tular dari mulut ke mulut. Seandainya, pendapat diatas tidak diikuti begitu saja tetapi diberi reaksi dengan menjadikan cerita lisan dapat dipercaya mutu dan kebenarannya setara dengan tulisan, tentunya dengan berbagai rekayasa tepat, niscaya keunggulan budaya tidak akan pernah lepas dari tangan anak bangsa ini.

Cerita serupa dan mirip, tentang penurutnya kita kepada keputusan orang tanpa memberi pertimbangan lain, pernah terjadi di kancah olah raga, tetapi akibatnya berbeda karena terlalu unggulnya Indonesia. Ceritanya dimulai disaat Indonesia menjadi raja ratu bulu tangkis dunia, selanjutnya bertukar bergantian dengan cina, sampai terasakan takkan ada lagi, negeri lain yang bisa mengalahkan dua raksasa ini. Lalu oleh organisasi bulu tangkis dunia, diadakan perubahan penilaian pemenang, menjadi seperti yang dikenal saat ini, agak mirip, atau sama dengan penilaian yang dipakai di tenis meja. Perubahan juga diterima tanpa ribut ribut berarti, bulu tangkis tetap dimainkan dengan sportif penuh kegembiraan dan dua raksasa bulu tangkis tetap tidak tergantikan.

Sebenarnya banyak cerita serupa, di bidang lain dan selalu diikuti oleh tunduk takluk, mungkin karena rendah diri, terpesona oleh kharisma bangsa penjajah, dan semuanya tidak berakhir seperti bulu tangkis tetapi berujung pada keterpurukan dan kebodohan bebal. Dikatakan bebal karena terjadi berkali kali dan selalu merugikan tetapi tetap tidak kapok kapok untuk dilakukan.

Di sektor kesehatan sebagai contoh, adalah sebuah pendapat memusuhi kholesterol dan setelah pendapat itu diikuti dengan tunduk dan takluk, yang berakibat makanan berlemak sangat dihindari ternyata di era selanjutnya, dikatakan bahwa glucosa lebih berbahaya dibanding kholesterol serta harus dihindari dengan lebih hebat. Menghindari kholesterol seolah menolak minyak, yang kala itu, banyak diproduksi anak bangsa, dan tentunya bisa membuat harganya murah, sedangkan menolak glucosa berarti menempatkan gula milik anak bangsa bersaing dengan tanaman stevia yang manisnya berpuluh kali glucosa dan tentunya merupakan manis yang tidak berbahaya.

Pendapat sehat diatas, dikemukakan dengan berbagai alasan ilmiah pembenarnya dan semua kita tunduk takluk mengikutinya tanpa berpikir bahwa ada pesan tersembunyi dibalik sebuah ajakan, bisa berupa pesan bisnis berupaya mencari keuntungan atau pesan yang hendak mencuri keperkasaan. Kehati hatian dalam mengikuti ajakan, selayaknya dimiliki oleh semua anak bangsa.

Kecerdasan disertai kepercayaan diri, sangat diperlukan untuk bisa memiliki kewaspadaan. Melakukan penelitian mandiri, dalam upaya mengembangkan ilmu, perlu dibiasakan dan diberdayakan. Memperbaiki mutu pendidikan, mutu pendidiknya dan mutu lulusan institusi pendidikan, perlu sesegeranya dilakukan dengan kesungguhan hati secara bersamaan. Pendidikan gratis untuk seluruh anak bangsa perlu diprogramkan, sehingga semua anak potensial bisa bersekolah,,mendapat asuhan tepat, dalam mengasah kecerdasannya.

Pembangunan karakter merupakan salah satu program nusantara, yang wajib diberi prioritas tertinggi dan disentuhkan kepada semua anak bangsa sedini mungkin, bahkan sejak didalam rahim ibundanya. Kepercayaan diri selayaknya segera menjadi milik segenap anak bangsa ini, bersamaan dengan hilangnya rasa rendah diri sebagai bekas bangsa terjajah. Sebuah upaya yang akan berhasil jika disertai bukti yang bisa dirasakan, didengar serta dilihat. Pembuktian yang sungguh sungguh dan bukan sekedar sandiwara kosong yang digembar gemborkan.

Perasaan rendah diri karena masih tersisanya mentalitas rakyat jajahan ( inlander ) bukanlah masalah remeh yang boleh diabaikan begitu saja, karena bukan tidak mungkin, akan dapat menjadi awal terjadinya kebodohan, seperti berbagai contoh yang telah tersampaikan. Rendah diri adalah sebuah indikasi terjadinya kelemahan karakter bangsa. Karakter lemah cendrung diikuti oleh rendahnya kemandirian ekonomi dan bukan tidak mungkin, akan diikuti pula oleh goyahnya kedaulatan politik.

Jalan lurus perbaikan karakter, harus dimulai sejak dini, dimulai sekarang juga, secepat kilat, dan disertai dengan program berjangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjangnya. Dan bangsa ini berharap contoh dari para pemimpinnya serta bimbingan dari para guru.

Banjarmasin
25112022

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini