“MEDIA SOSIAL DAN “KEPUNAHAN” AKAL SEHAT ?

Saat melihat dan baru membaca sekilas buku karangan Elizabeth Kolbert yang berjudul KEPUNAHAN KE ENAM (THE SIXTH EXTINCTION) yang bercerita tentang berbagai macam spisies telah punah di peradaban manusia, fikiran saya tersentak melayang justru kepada bagaimana hiruk pikuk kehidupan di media social yang telah kehilangan “akal sehat”, sehingga kepunahan akal sehat ini akan lebih tragis dari pada kehilangan spisies makhluk hidup.

Oleh : Syaifudin*

SCNEWS.ID-Banjarmasin. Pernyataan pembuka tersebut tidaklah berlebihan apabila dilihat dari sisi dampaknya dalam kehidupan, karena perangkat “akal sehat” ini mempunyai posisi yang sangat penting dalam berfikir dan bereaksi saat merespon suatu kejadian atau informasi yang masuk dalam fikran manusia.

Secara sederhana akal sehat ini semacam filter dari segala kejadian atau informasi yang masuk ke benak atau otak kita, seperti dalam suatu proses input pada otak yang menyerapnya, lalu kemudian mengeluarkannya sebagai reaksi atas kejadian atau informasi tersebut dalam bentuk lisan, tulisan ataupun tindakan. Dengan demikian seberapa baik filter itu berfungsi, akan sangat menentukan kualitas respon yang keluar dari seseorang itu.

Posisi akal sehat dalam kehidupan manusia akan menentukan kualitas fikiran dan tindakan seseorang dalam pergaulan social (masyarakat), oleh karena itu akal sehat yang disebut juga “common sense” sebagai standar berfikir yang bersifat umum atau ukuran keumuman atau normal dalam kehidupan masyarakat dimana individu itu bertempat tinggal. Dalam konteks inilah akal sehat menjadi semacam perangkat yang menuntun cara berfikir seseorang pada sisi “kebaikan” atau “tepat” atau “benar” yang bersumber pada rohani manusia, dan kalau dikaitkan dengan penafsiran disebut “dalil Aqli” yang melihat kepada kemampuan akal fikiran yang sehat dan objekfif.

Sayangnya akal sehat itu tidak selamanya menjadi “akal sehat”, karena pada kondisi tertentu akal sehat itu telah berubah menjadi “akal sakit” sebagai kebalikan dari akal sehat itu sendiri.  Dampaknya segala respon dari proses masuknya kejadian atau informasi yang masuk dalam benak fikirannya menjadi tidak rasional atau menjadi tidak normal, payahnya lagi ketidak normalannya tersebut diyakini sebagai suatu kebenaran. Jadilah ia kebenaran yang tidak sehat atau tidak normal, dan pada saat kelompok ketidaknormalan ini bertambah banyak yang menerimanya sebagai suatu kebenaran,  maka terjadilah keberanian bersama untuk mempertahankannya.

Secara personal kondisi akal tidak sehat disebabkan oleh kondisi kondisi psikologis yang terjadi pada diri kita, seperti stress akibat banyaknya malasah, stress karena musibah, marah terhadap seseorang, kondisi sedih yang berlebihan, lagi jatuh cinta, atau bahkan gembira yang berlebihan, dan kejadian-kejadian lainnya yang membuat fikiran kita menjadi tidak normal.

Secara social kondisi akal sakit ini disebabkan  oleh keadaan atau informasi yang telah direkayasa untuk tujuan tertentu untuk mempengaruhi fikiran seseorang, secara perlahan kemudian muncul kepercayaan atas informasi atau keadaan itu, akhirnya informasi atau kejadian yang masuk tersebut diterima oleh akalnya yang lagi terganggu. Dari sinilah muncul dalam diri seseorang apa yang disebut “false belief” atau “keyakinan yang salah”, namun dia tidak sadar akan hal tersebut.

Pada saat penyebab  factor individual dan factor social itulah  berpadu dalam diri seseorang, maka akan menjadikan akal sakitnya bertambah kualitas bobotnya atau semakin parah akal sakitnya, dengan kata lain kondisi ini akan menjadikan tingkat fikiran yang semakin jauh dari akal sehat.

Dampak dari akal tidak sehat ini secara individu kita menjadi tidak objektif dalam menilai dan memberikan reaksi social atas suatu kejadian yang akibatnya bisa menimbulkan keretakan hubungan social, dari tingkat pecahnya persahabatan, persaudaran, kekeluargaan, sampai kepada sikap membenci seseorang atau kelompok orang.  Pada posisi yang sangat parah akan menciptakan kerusuhan social atau kekerasan secara masal, yang dalam “the bomb theorie”, amunisi kebencian itu meladak yang dipicu oleh hal-hal sepele  dan tidak masuk akal.

Mengingat bahaya yang seperti itulah, yang menjadikan saya tersentak saat membayangkan kondisi media social sekarang ini, dimana begitu mudahnya seseorang mengedit video dan atau membuat konten rekayasa atau tidak factual, dan begitu mudahnya tersebar tanpa memperhatikan lagi kebenaran dari konten, parahnya lagi konten itu dianggap sebagai suatu kebenaran dan mempengaruhi fikirannya dalam bersikap dan bernarasi.

Kondisi inilah yang saya sebut “kehilangan akal sehat” yang bisa lebih berbaya dari “kehilangan spisies”, bukankah saat kehilangan akan sehat, telah terjadi kehilangan “rasa dan sifat kemanusiaan” yang membuat manusia menjadi beringas seperti  yang digambarkan oleh Plautus dalam karyanya “Asirania” sebagai “srigala bagi manusia lainnya atau “ homo homonilupus.

Yayasan Banua Media Utama yang saya dirikan,  bertujuan untuk memperjuangkan akal sehat dan melawan segala bentuk penggunaan teknologi informasi untuk tujuan yang akan merusak akal sehat.

Salam Wisdom Spritual

*Alumni Mawadan87, Founder Jurist Solution, Dewan Redaksi dutatv dutatv.com, Dewan Redaksi scnews.id, Pendiri Yayasan Banua Media Utama, Pengajar Luar Biasa di Pascasarjana UIN Antasari.

Terbaru

spot_img

Related Stories

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini