MENGENANG DAN DIKENANG
“ia dikenang karena memang pantas untuk dikenang, karena dengan mengenangnya kita akan tercerahkan”
Oleh : Syaifudin
SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Sahabat ! saat saya menyampaikan refleksi saat mengenang hari kelahiran pada tulisan jumat lalu, dan kemudian diangkat menjadi bahan talk show SKSI Talk bersama Diana Rosianti terdapat kesan “ketidakberdayaan” memaknai saat menginjak usia lanjut. Tentu kesan ini bukanlah maksud saya menyinyalkannya, oleh karena itu saya merasa perlu mempertegas kembali tulisan sebelumnya. Disamping itu dibulan Desember ini juga kami mengenang satu tahun berpulangnya sahabat pemersatu Mawadan 87 (alumni mahasiswa teladan nasional tahun 1987) Frans Lebu Raya, telah mendorong untuk menulis tema Mengenang dan Dikenang ini.
Eksistensi kehidupan kita didunia ini adalah fase kelanjutan dari fase ketiadaan ke fase alam rahim, oleh karena itu dunia ini dapat diibaratkan rahim kedua kita bertempat tinggal dalam menjalani fase kehidupan.
Pada fase alam rahim ibu, kita tidak mengingatnya kembali apa yang terjadi saat itu, namun berdasarkan pengetahuan empiris kajian-kekajian proses pembuahan sel sperma menembus dinding sel telur yang melengket di rahim inilah kehidupan kita dimulai secara biologis dan mendapatkan tiupan ruh sehingga kita menjadi makhluk yang bernyawa, segala kebutuhan untuk hidup di alam rahim ibu ini telah dicukupi oleh Ibu kita lewat distribusi alamiah sistem perangkat tubuh kita, dan alam rahim inipun berakhir saat kita lahir pada usia kandungan umumnya sembilan bulanan.
Fase alam dunia sesungguhnya kita berada dalam rahim dunia yang kita alami dan rasakan sekarang, kita tumbuh dari bayi, anak-anak, remaja, dewasa dan sangat dewasa (lansia) dengan bekal kehidupan yang juga sudah disiapkan oleh Allah lewat mekanisme sistem kehidupan alam dunia, secara makrokosmos alam yang luas dengan berbagai sumber energi dan atau makanan yang bisa kita santap, dan secara mikrokosmos diri kita dibekali oleh perangkat naluriah dari fisik, nafsu, hati dan qalbu untuk kita kelola dan berdayakan menuju misi kehidupan yang kita emban (dari sinilah pada edisi yang lewat saya menyebutnya hidup ini anugerah dan kita tinggal menikmatinya).
Sahabat ! setelah dewasa dan sangat dewasa inilah kemudian secara alamiah pula kehidupan kita di rahim dunia akan berakhir yang nanti akan ditandai dengan “kematian” yang saat bersamaan kita akan terlahir pada alam barzah dan seterusnya nanti saat kiamat tiba, maka berakhirlah kehidupan di alam barzah dan kita akan terlahir di alam akhirat (dibangkitkan) dialam ini kita bisa ditempatkan di Neraka atau di Surga atau transit di Neraka kemudian ke Surga.
Namun realitas kehidupan kita sekarang di alam dunia, maka secara empiris kita bisa ketahui dan rasakan apa yang terjadi di alam dunia ini, sedangkan pada alam barzah dan akhirat informasinya kita dapatkan dari Kitab Suci dan Keterangan Nabi dan Rasul, akan tetapi sebagai hamba yang beriman kita meyakini adanya alam-alam yang akan kita masuki dimasa yang akan datang.
Lantas bagaimana pengalaman yang kita rasakan saat menjalani hidup di alam dunia ini ? jawabannya hanya kita sendiri yang mengetahuinya, sehingga akan banyak ragam dalam menilainya berdasarkan pengetahuan dan pemahaman serta penghayan atas segala yang terjadi pada realitas kehidupan kita tersebut. Intinya setiap tahapan yang isinya substansi dinamis perpaduan tarik menarik antara “hitam dan putih”, baik dan buruk, bahagia dan derita, tawa dan tangis, sukses dan gagal dan seterusnya kita respon atau maknai apa dalam kehidupan ini ?
Manakala kita mengembalikan pada nilai nilai kehidupan sebagai anugerah dengan segala perangkat yang disediakan oleh Allah, maka kita akan merespon dinamisasi substansi kehidupan tersebut dengan bersandar atau bertawakal kepadaNya, responnya adalah bersyukur manakala kita anggap mendapatkan kesuksesan dan bersabar manakala kita mendapat yang kita anggap susah, sehingga hakikatnya semuanya akan nikmat.
Pada saat menjalani kehidupan yang sesungguhnya tersebut tentu tidak semudah yang saya rumuskan di atas, karena masalah itu membuat kita “menderita” dan penderitaan itu kita maknai sebagai “kesialan” diri. Untuk inilah perlu meribah paradigma lagi, dengan menempatkan segala ikhitar dan penderitaan tersebut adalah bentuk “pengorbanan” kita dalam mencapai apa yang kita inginkan dalam kehidupan ini.
Bagi orang-orang yang mampu berselancar di atas gelombang masalah kehidupan, ia akan akan fokus pada cita-cita atau misi kehidupannya, badai gelombang adalah justeru pemacu semangatnya untuk terus berjuang dan setiap berjuang telah menyadari akan ada pengorbanan. Orang-orang yang mampu melakukan itu, oleh para sahabatnya akan dikenang inspirasi hidupnya dan mengenangnya membawa semangat hidup kita terus bangkit, singkatnya “ia dikenang karena memang pantas untuk dikenang, karena dengan mengenangnya kita akan tercerahkan”.
Jadi cerita merubah orientasi hidup dimasa tua yang lebih kepada spritualitas dan kebijakan, bukan bersedih atau seolah menjadi pasrah dan pasif, tapi memilih panggung lain dalam menyiapkan diri pada kelahiran di alam berikutnya, namun selama hayat masih dikandung badan kita tetap eksis memperjuangkan misi kehidupan kita yang mulia, eksistensi ini rasanya hanya bisa dirasakan oleh mereka yang menjalaninya.
Salam secangkir kopi seribusatu inspirasi.