NEGARA MENUNTUT, ANANDA MENGIKHLASKAN
Oleh: Robensjah Sjachran
A man’s leg was amputated in a motorcycle crash that claimed his passenger’s life.The pillion passenger killed in the smash near Prebbleton on Tuesday was Leonie Maria Hirawani, 44, of Hornby. Constable Herb Inwood said the motorcycle Ms Hirawani was on had crossed the centre line on Birchs Rd while travelling towards Prebbleton and hit an oncoming vehicle. Speed was a factor.
“The impact of hitting the side of the car was enough to spin it around 180 degrees. The car had been pushed back. The front right hand wheel had been ripped off which had come to a stop further down the road. It was obvious the motorcyclist was going too fast to be able to take that corner,” he said. ….
Constable Inwood said police were waiting for blood results to determine if alcohol was a factor and charges are likely. The rider of the Harley Davidson motorcycle had his right leg amputated and broke his right arm after he was “catapulted into the air” 30 metres from where the accident happened and landed on the road. The road was closed until 7.30pm. – Christchurch Star –
SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Kisah nyata berikut ini adalah kelanjutan dari peristiwa kecelakaan fatal di negeri orang nun jauh di sana yang meninggalkan bekas yang tak terhapus dalam diri saya, mungkin juga untuk yang mengalaminya, Dr Ananda Sabil Hussein, anak saya.
Kecelakaan lalu lintas yang dialami Dr Ananda pada hari Rabu, 6 Februari 2013, di Christchurch, New Zealand (NZ) mengakibatkan pergelangan kaki kanannya retak, si penabrak yang “catapulted into the air” 30 meter. Sementara itu anak dan isteri Dr Ananda yang ikut dalam mobil, alhamdulillah selamat tidak ada luka sedikit pun. Sehari menginap di hospital, kemudian Dr Ananda boleh pulang, dan sejak itu tinggal di rumah. Kepulangan ke Indonesia karena studi sudah selesai untuk sementara terpaksa ditunda guna penyembuhan kakinya.
Hari itu, Rabu, 19 Februari 2013, sekitar pukul 16.00, Dr Ananda berkabar: kembali didatangi polisi, yang sebelumnya, beberapa hari setelah tabrakan, polisi datang untuk mendata dan menyerahkan kunci-kunci yang menjadi satu dengan kunci mobil. Ini kelanjutan kisah dari eksiden kendaraannya ditabrak Harley Davidson di sekitar Birchs Rd, desa Prebbleton, distrik Selwyn, Canterbury, NZ (sekitar 10 menit sebelum masuk kota Lincoln) yang menyebabkan Leoni Maria Hirawani, 44 tahun, si pembonceng tewas seketika di tempat, dan kaki si pengendara diamputasi, tangan kanannya hingga bahu patah.
Sang polisi pada dasarnya mengatakan bahwa Dr Ananda sudah jelas sebagai victim dalam tabrakan fatal tersebut. Oleh karena itu polisi datang menemui bermaksud hendak meminta ketegasan: apakah Dr Ananda mau menuntut ganti kerugian kepada si pengendara atas kecelakaan akibat kelalaian si pengendara Harley itu. Sebabnya, bila Dr Ananda menuntut, maka mewakili publik, Negara (NZ) akan menuntut si pengendara dengan tiga (3) tuduhan.
Tuduhan pertama, si pengendara telah melanggar aturan lalu lintas dengan berkendaraan jauh di atas kecepatan yang sudah ditentukan. Menurut catatan polisi, speedometer HD terhenti di angka 119 km/hr (ini di area menikung yang hanya boleh berkecepatan 65 km/jam). Tuduhan kedua, akibat ulah si pengendara menjalankan HD dengan kecepatan tinggi mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain (teman yang diboncengnya).
Semula Dr Ananda bertanya, andai menuntut ganti kerugian, padahal akhir bulan sudah harus pulang ke Malang, apakah nanti waktu sidang harus datang lagi ke Christchurch ? Sang polisi menjawab, ya jelas lah wajib datang, karena anda sebagai saksi. Pertanyaan dilanjutkan: lha siapa yang harus menanggung transportasi dari Indonesia ke NZ ? Menurut penjelasan pak Polisi, itu menjadi tanggung jawab negara (NZ), tidak hanya biaya tiket pp, tapi termasuk board & lodging, dan ….uang saku.
Setelah berunding dengan isteri, Dr Ananda akhirnya menegaskan kepada pak polisi bahwa apabila pihak asuransi telah mengganti kerugian atas kerusakan mobilnya, Nissan Sunny 2004, maka dirinya tidak menuntut apapun kepada si pengendara moge. Pertimbangannya adalah: satu, dalam kecelakaan mengerikan tersebut anak dan isterinya selamat tidak ada kurang suatu apapun; kedua, kecelakaan atas fraktur tulang kaki kanan sekitar mata kaki tidak menimbulkan kesakitan/kecacatan berarti, ongkos-ongkos berobat telah dikover asuransi; dan ketiga, eksiden itu dianggap sebagai suatu kehendak Allah yang harus diterima secara ikhlas; serta pertimbangan yang terakhir adalah ini, si pengendara sudah cukup banyak mengalami musibah dan cobaan. Sudah kehilangan teman dekat, kaki diamputasi, patah tangan pula, belum lagi rehabilitasi paska kecelakaan, masih ditambah akan menghadapi tuntutan negara atas kelalaiannya. Jadi, si penunggang Harley Davidson “hanya” akan menghadapi dua (2) tuntutan dari negara.
Sebelum sang polisi beranjak pulang dia berpesan kepada Dr Ananda agar segera membuat surat pernyataan tidak menuntut kerugian apapun atas kecelakaan yang menimpanya. Dia jawab okay, setelah nanti sakit kakinya berkurang baru dapat ke kantor polisi. Namun officer itu bilang…..ooh nggak perlu ke kantor, surat pernyataan cukup layangkan via e-mail saja. Begitu mudah urusannya.
Dalam kasus tersebut saya beropini bahwa NZ yang bersistem hukum common law, sementara negara kita menganut sistem hukum continental / civil law, tidak memisahkan antara peristiwa pidana dan perdata. Saya yang lebih memahami hukum perdata (hukum privat), akan tetapi tidak menguasai hukum pidana, membandingkan bahwa andai dalam kasus itu Dr Ananda menuntut ganti rugi (compensation), di sana ia akan diwakili oleh negara, sementara di negara kita tentu ia harus diwakili seorang advokat. Di negara kita, eksiden yang dialami Dr Ananda itu, selain menimbulkan tuntutan pidana, dimungkinkan pula melakukan tuntutan ganti kerugian, dalam proses sidang yang terpisah. Ini tentu merepotkan, karena harus menempuh formalitas dan prosedur tersendiri, juga harus meminta bantuan seorang pengacara. Di sana, kasus kecelakaan lalu lintas yang demikian tuntutan dan sidangnya menjadi satu paket. Dalam opini saya, ini adalah model restorative justice khas NZ.
Hikmah yang dapat diambil dari info Dr Ananda adalah: setelah lebih kurang 4 tahun tinggal di Christchurch, New Zealand, dan sebelumnya hampir 2 tahun di Wollongong, NSW, Australia menempuh strata 2, atau 5 tahun lebih tinggal di negara dengan budaya Barat, ternyata Dr Ananda tidak meninggalkan nilai-nilai kehidupan yang bernuansa local wisdom; dan yang menggembirakan, masih tinggi rasa kemanusiaannya. Ada dua alasan yang mendukung pendapat itu, pertama: Ia dan keluarga merasakan bahwa semua eksiden itu sebagai kehendak Allah Swt yang tidak dapat dihindari, kita harus berserah diri kepadaNya, ikhlas dan tawakkal. Kedua: ia menganggap sudah cukup “balasan” yang diterima si pengendara Harley. Sudah hilang kaki dan patah tangan, masih dituntut Negara untuk bertanggung jawab atas kelalaiannya, belum lagi menghadapi masa depan kehidupannya. Oleh karena itu ia dan isteri berpendirian: “Biarlah Negara menuntut, tapi Dr Ananda mengikhlaskan”. Ben
Beberapa foto dokumentasi penulis di kawasan kota Christchurch Lincoln NZ dan sekitarnya