ALHAMBRA : MONUMEN KEJAYAAN YANG SIRNA
Oleh: Robensjah Sjachran
SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Bermula dari ekspedisi panglima Muslim (di masa Dinasti Umayyah) Musa bin Nushair (lahir di Syam/Damaskus, Suriah), bersama salah satu komandan lapangannya, Thariq bin Ziyad, yang sukses memperluas wilayah hingga ke Afrika Utara & Spanyol pada tahun 711. Silih berganti penguasa Muslim di Spanyol hingga Bani Ahmar atau Dinasti Nasrid mulai berkuasa sampai terusir dari tanah Andalusia tahun 1492. Di masa Dinasti Nasrid itulah (1232) berdiri istana sekaligus benteng bernama Alhambra di pusat kekhalifahan, Granada, Andalusia. Akan tetapi diyakini bangunan Alhambra sebenarnya sudah ada jauh sebelum itu, hanya saja pada masa Dinasti Nasrid berkuasa Alhambra dibuat megah. Kini, Andalusia adalah salah satu daerah administratif di negara kerajaan Spanyol yang terdiri dari 8 provinsi, berpredikat sebagai komunitas otonomi khusus, berpusat di kota Sevilla. Wilayah Andalusia seluas lebih kurang 80 ribu km2 (hampir sama dengan luas Provinsi Jawa Timur digabung dengan Jawa Tengah) dihuni lebih dari 8 juta jiwa, sangat dekat dengan kerajaan Maroko, negeri Maghribi yang terletak di Afrika Utara, hanya dibatasi oleh Selat Gibraltar yang menghubungkan samudera Atlantik dengan laut Mediterania atau dikenal juga laut Tengah. Pertemuan kedua air laut yang tak tercampur itu, menimbulkan fenomena alam yang disebut dalam ayat kauniyah, Al-Qur’an Surat Ar-Rahman 19-20.
Komplek Alhambra seluas 30 hektar memang luar biasa. Alhambra yang sebenarnya terdiri dari benteng, istana, dan taman, dikunjungi lebih dari 2 juta orang dalam setiap tahunnya. Ficky Yusrini menulis di Femina, bahwa bisa dimengerti mengapa Alhambra disebut sebagai puncak pencapaian arsitektur Islam, karena tiap detil bangunan terkandung filsafat, puisi, geometri, matematika, fisika, dan seni. Oleh karena itu, tidak heran kalau sudah dua kali saya berkunjung ke Alhambra, tapi “empat kali” saya berdecak kagum, pantaslah ia disebut sebagai salah satu dari keajaiban dunia. Betapa tidak, melihat Alhambra yang dibangun intensif oleh Dinasti Nasrid yang berasal dari Afrika Utara dan sangat dipengaruhi budaya Arab, ternyata ia melebihi dari seni bangunan di negara asalnya.
Islam berkembang di jazirah Iberia, yang kini menjadi negara Spanyol – Portugal – Andorra – dan sebagian wilayah Perancis, sejak abad 7 di masa dinasti Umayyah. Walaupun dinasti ini berkuasa hanya lebih kurang 90 tahun (661 – 750) namun perkembangannya sungguh luar biasa. Setelah menaklukkan Afrika Utara pada tahun 710, pasukan Islam mendarat di Gibraltar tahun 711 yang sebelumnya terlebih dahulu mengirim pasukan ekspedisi awal 500 tentara diantaranya 100 tentara berkuda yang dipimpin Tharif bin Malik dan mendarat di tanah paling selatan semenanjung Iberia yang kini disebut sebagai kota Tarifa (mengenang komandan Tharif bin Malik). Setelah 8 tahun berjuang dengan bersimbah keringat, darah dan air mata, berkubang trik dan intrik, akhirnya seluruh semenanjung Iberia dapat dikuasai pasukan Muslim.
Selama masa penaklukan, sejarah mencatat ilmu pengetahuan di Spanyol berkembang sangat pesat, seiring dengan kemajuan intelektual masyarakatnya. Hal itu tidak terlepas dari peran penguasa Muslim yang memerintah dengan bijaksana dan penuh toleransi. Sehingga tidak heran di masa itu kemajuan peradaban berkembang pesat yang ditandai dengan bermunculannya para cendekiawan jenius, sebut saja Ibnu Hazm, sejarawan, ahli fikih, penulis produktif 400 judul buku; Ibnu Rusyd, ahli ilmu kedokteran, ahli fikih, filsafat, fisika, astronomi; Ibnu Arabi, seorang sufi, penyair, dan penulis; Al-Zahrawi, menguasai ilmu kedokteran khususnya ilmu bedah; Abu Ishaq Al-Zarqali, astronomi terapan; Hakam II, seorang khalifah yang cinta ilmu pengetahuan, membangun perpustakaan di Kordoba berisi 400 ribu judul, mendirikan banyak sekolah.
Sayangnya sifat serakah, tamak, ingin paling berkuasa dari para pemimpin, jenderal, pangeran berebut pengaruh menggerogoti otoritas kekhalifahan Islam yang sah di Andalusia. Untuk memperoleh kekuasaan tak jarang penguasa yang tadinya berseteru lalu berkoalisi dengan bekas musuh untuk menghancurkan penguasa lain yang tadinya sohibnya. Tidak jarang konflik internal berujung kerajaan di bagi dua, seperti orang membelah semangka. Para emir yang tadinya bersahabat kemudian menjadi lawan saling memusnahkan, paman dan keponakan berseteru hebat, pada akhirnya saling bantai. Akibatnya, wilayah kekuasan terpecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil, misalnya seperti 8 daulah yang dikenal luas sebagai kerajaan kecil atau Taifa dan memiliki otoritas atas wilayah yang dikuasai, sebut saja Kordoba, Granada, Sevilla, Toledo, Badajoz, Valensia, Zaragoza, Lisboa (sekarang masuk wilayah Portugal); dan seiring berjalan waktu, akhirnya kekuasaan Islam pelan tapi pasti runtuh dan terusir dari tanah Hispanik. Puncaknya adalah Sultan Granada, Abu Abdullah Muhammad XII alias Boabdil, yang pada 2 Januari 1492 kalah berperang mempertahankan gempuran gabungan tentara kerajaan Aragon dan Kastilla, terpaksa menyerahkan kunci Alhambra kepada raja Ferdinand dan ratu Isabella.
Saya dapat membayangkan, bagaimana sedihnya penguasa terakhir Sultan Granada, Boabdil, yang digelari El Chico, si Kecil, setelah menyerahkan pusat kerajaan kota Granada kepada Ferdinand & Isabella dan diasingkan ke Alpujarras (kini masuk wilayah municipality Almeira); dari kejauhan di puncak bukit yang sekarang disebut Suspiro del Moro (Tarikan nafas terakhir orang Moor) ia menangis sesenggukan saat menoleh ke Alhambra untuk terakhir kali. Ketika itu ibu Boabdil, Sultana Aixa (Aisha al Hurra), yang menyertai pengusiran berkata kepada anaknya: ”Jangan menangis seperti wanita untuk apa yang tidak bisa kau pertahankan seperti seorang pria”. Do not cry like a woman for what you could not defend like a man. Ironis dan tragis. Ben
Foto Foto Koleksi Penulis :