FERRARI KILLER
Oleh:
Pathurrahman Kurnain
SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Tulisan ini akan menguraikan pengalaman bagaimana Ford Motor Company menjadi killing machine bagi Ferrari pada kejuraan The 24 Hour of Le Mans. Namun menariknya, keberhasilan tersebut bukan ditentukan oleh orang yang berada di level Top Management, melainkan justru mereka yang berada di level menengah. Saat perusahaan kehilangan dominasinya di pasar otomotif Amerika pada 1960-an, akibat kegagalan mengantisipasi perubahan dan munculnya kompetitor-kompetitor baru, CEO atau founder bukanlah orang yang paling berperan besar mengembalikan kejayaan perusahan. Namun justru orang yang berada di middle structure-lah menjadi penentu segalanya.
Perilaku belanja masyarakat AS saat itu tengah berubah, seiring petambahan usia maupun populasi Baby-Boomer, generasi yang lahir setelah Perang Dunia II. Hal ini menjadi penanda sejarah, bahwa untuk pertama kalinya preferensi dan selera generasi muda lebih menjanjikan untuk diakomodir oleh para pengusaha daripada kelompok usia lainnya. Baby Boomer memiliki karakter spending money lebih besar daripada para orang tua mereka yang terbiasa hidup hemat karena telah berpengalaman melalui The Great Depression dan Perang Dunia II. Baby Boomer berani jor-joran membeli barang mahal sepanjang memiliki keunikan. Mereka lebih tertarik mobil yang sporty dan seksi, mengutamakan kecepatan dan performa ketimbang kenyamanan, keandalan dan daya tahan. Oleh sebab itu manajemen Ford berpikir bahwa hanya dengan memproduksi mobil Sport, mereka mampu mengatasi penjualan perusahaan yang menurun. Namua sayangnya, Ford tidak memiliki pengalaman dalam mengembangkan mobil sport. Untuk itu, salah satu General Manajer mereka yang bernama Lee Iacocca menyarankan kepada manajemen Ford Motor Company untuk membeli Ferrari, perusahaan produsen mobil sport asal Itali yang mengalami krisis keuangan. Lee Iacocca bepandangan bahwa Ferrari berpotensi menjadi produsen mobil terbaik di dunia, bukan karena Ferrari menjual mobil paling banyak. Namun karena filosofi dan nilai yang melekat pada setiap mobil yang diproduksi Ferrari. Ferrari berarti “Victory” (kemenangan), seperti yang telah mereka buktikan berkali-kali dalam kejuaraan balap mobil paling berbahaya dan bergengsi di dunia saat itu, The 24 Hours of Le Mans.
Mulanya manajemen Ford menolak proposal yang ditawarkan Lee Iacocca, karena mereka memandang rendah Ferrari saat itu. Dimana penjualan Ferrari selama satu tahun hanya sebanding dengan penjualan Ford selama satu hari. Bahkan saat itu orang kepercayaan Henry Ford II mengejek Ferrari dengan mengatakan bahwa total output yang dikeluarkan oleh Ferrari tidak mampu menandingi uang yang dihabiskan Ford untuk membeli toilet paper. Namun kemudian Lee Iacocca mampu meyakinkan Henry Ford II, dan akhirnya mereka mulai melakukan negosiasi dengan Ferrari untuk mengakuisisinya. Tapi sayangnya negosiasi tersebut tidak membuahkan hasil, justru semakin memperuncing konfrontasi antara Ford dan Ferrari. Sejak saat itu Ford mengobarkan bara api persaingan dengan Ferrari dalam dunia balap mobil.
Henri Ford II lalu membentuk divisi balap untuk mengembangkan prototype “Ferrari Killer” milik mereka. Tujuan utama mereka adalah untuk menglahkan Ferrari di kejuaraan The 24 Hours of Le Mans. Divisi tersebut berhasil menciptakan Ford GT 40 yang memiliki kecepatan fantastis, namun sayang kemampuan manuver dan stabilitas mobil tersebut sangat buruk. Ford memutuskan untuk meminta bantuan kepada Karel Shelby, seorang desainer mobil legendaris serta pembalap pertama dari AS yang pernah memenangkan kejuaraan The 24 Hours of Le Mans, untuk menjadi konsultan desain Ford GT 40. Shelby rupanya tidak bekerja sendiri, dia meminta sahabatnya yang bernama Ken Miles untuk membantunya dalam mendesain ulang Ford GT 40. Miles sempat menolak ajakan Shelby karena menganggap proyek tersebut hanya akan berujung hampa. Miles sadar bahwa manajemen Ford memiliki problem mendasar yakni tidak berani mengambil resiko, terlalu banyak tarik-menarik kepentingan hingga kompleksitas birokrasi. Inilah yang mebuat orang-orang seperti Shelby, walaupun memiliki ide-ide out of the box dan berani mengambil jalan berbeda akan sangat kesulitan berkeja dalam naungan Ford Motor Company.
Keyakinan Miles terbukti, Ford kalah dari Ferrari dalam kejuaraan balap mobil tersebut selama 2 tahun berturut-turut di tahun 1964 dan 1965. Henry Ford II marah besar menerima hasil tersebut, uang jutaan dolar yang ia gelontorkan terlihat tidak membuahkan hasil. Henry Ford II kemudian turun tangan secara langsung utnuk memberikan ruang penuh kepada Shelby dan timnya untuk mengelola divisi balap tanpa melalui mekanisme birokrasi manajemen yang rumit. Shelby bertanggung-jawab langsung kepada Henry Ford II tanpa melalui manajemen perusahaan. Shelby kemudian menggandeng Ken Miles untuk mendesain ulang mobil balap sesuai dengan stlye dan kreatifitas mereka, maka lahirlah Ford GT 40 Mark II. Melalui mobil tersebut, di kejuaraan Le Mans tahun 1966 Ford tidak hanya mempecundangi “pasukan kuda” Ferrari karena tidak ada yang berhasil mencapai garis finish, namun juga memborong semua podium 1, 2 dan 3 melalui tiga pembalap mereka yang mengendarai GT 40 Mark II. Tidak hanya berhenti di situ saja, di tahun 1967. 1968 dan 1969 secara berturut-turut Ford GT 40 Mark II kembali membuktikan kedigdayaannya dengan kembali memenangi kejuaraan The 24 Hours of Le Mans.
Dibalik sejarah kesuksesan Ford mengalahkan Ferrari, menurut Dr. Indra Nugroho dalam salah satu konten Youtube-nya, kunci keberhasilan mereka justru karena Ford memiliki manajer madya yang berpikir liar, radikal dan berani mengungkapkan pendapatnya pada pimpinan, disaat orang-orang di sekitarnya lebih memilih cari aman dan menjadi “yes-man”. Lee Iacocca bersama teman-temannya di level manajemen madya ternyata mampu memggerakkan inisiatif dan inovasi yang anti-mainstream, hingga memperjuangkan keyakinannya sampai berhasil. Bagi Paul Osterman, Professor of Human Resources and Management di MIT Sloan School of Management menyebutkan bahwa pada umumnya, manajemen madya memiliki nasib sebagai sasaran tembak atau malah terabaikan sama sekali. Padahal mereka justru seharusnya perlu dipandang sebagai sumberdaya kunci yang harus dikembangkan.
Ferrari Killer dalam konteks politik Indonesia Kontemporer
Perubahan karakter penduduk AS yang membuat Ford Motor Company kehilangan determinasinya pada awal tahun 1960-an sepertinya juga tengah melanda Indonesia. Saat ini Indonesia harus berjibaku menghadapi ledakan bonus demografi dengan generasi milenial (mereka yang lahir antara tahun 1981-1996) yang menjadi ujung tombaknya. Sehingga tidak salah jika lebih dari setengah pemilih pada pemilu 2024 berasal dari generasi milenial. Salah satu karakter khas yang dimiliki oleh generasi milenial ini adalah sangat menyukai inovasi. Generasi milenial dibesarkan dalam era inovasi dan modernitas. Hasil riset menunjukkan bahwa 80% generasi milenial merasa puas terhadap perkembangan industri jika mampu membawa inovasi-inovasi dan nilai-nilai pelanggan yang berkualitas. Generasi milenial juga tumbuh selama ekonomi booming, sehingga mereka lebih cenderung bersifat idealis serta lebih konsumtif berbelanja untuk menikmati pengalaman yang mereka rasakan. Sehingga karakter generasi milenial sekarang relatif lebih mirip dengan karater Baby Boomers penduduk AS di tahun 1960-an.
Karakter generasi milenial yang khas ini juga perlu dicermati oleh para politisi jika ingin mendapatkan dukungan besar pada pemilu 2024 nanti. Sebab karakter generasi milenial akan menjadi sangat diperhitungkan guna mencari strategi politik yang fit untuk digunakan jika ingin memenangkan kontestasi. Jika para politisi yang hanya bergantung serta mengulangi model strategi yang digunakan pada pemilu 2019, besar kemungkinan akan kesulitan memenangkan kontestasi. Generasi milenial akan banyak memberikan peluang terhadap munculnya kejutan-kejutan besar di pemilu 2024 kelak. Apalagi lagi saat ini juga dunia sedang mengalami disrupsi, goncangan-goncangan besar akan terjadi yang mampu menjungkir-balikkan tatanan yang mapan sekalipun. Sehingga tidak akan ada mereka yang benar-benar menikmati berada dalam zona aman dan nyaman. Semua bisa berbalik 180 derajat dalam waktu singkat. Ibarat kata, pagi kaya malam bisa menjadi gembel. Banyak contoh kasus yang telah membuktikan hal tersebut. Kasus terbaru dari Gautam Adani, seorang konglomerat asal India yang kehilangan Rp 1.800 triliun hanya dalam waktu sepekan. Kondisi-kondisi kompleks seperti itulah yang memberikan tantangan ekstra bagi mereka yang berkontestasi di pemilu 2024. Perlu diwaspadai, jangan-jangan akan ada partai-partai besar pemenang di pemilu 2019 lalu yang tumbang di pemilu 2024 kelak. Karena ketika merasa besar, maka akan berpotensi terbuai dalam zona nyaman. Sementara ancaman yang datang justru direspon dengan abai, hingga tiba-tiba semuanya sudah terlambat. Persis seperti analogi katak di dalam panci mendidih yang digambarkan oleh Profesor Manajemen Organisasi dari London Business School, Charles Handy, dalam salah satu bagian dalam bukunya yang berjudul The Age of Unreason.
Bercermin dari fenomena Ferrari killer dan relevansinya dalam konstelasi politik Indonesia hari ini, kita bisa melihat sendiri bagaimana Partai Nasdem yang lebih banyak memainkan manuver-manuver politiknya dalam mewarnai peta koalisi partai pengusung capres-cawapres 2024. Padahal notabene-nya Partai Nasdem saat ini masih menjadi partai medioker. Namun karena posisinya yang berada di tengah tersebut, membuat Partai Nasdem mampu bergerak leluasa ke “partai-partai atas” maupun “partai-partai bawah”. Karena posisinya tersebut pulalah, Partai Nasdem tidak terlalu terbenani jejak elektoral mereka di Pileg 2019 silam, sehingga mereka berfikir lebih kreatif dan bertindak lebih berani dalam mencalonkan lebih dulu nama capres yang akan mereka usung, dengan keyakinan akan memberikan keuntungan lebih besar kepada partai mereka. Karena posisi di tengah jualah, membuat partai-partai besar tidak bisa memandang enteng dan partai-partai kecil tidak bisa mengabaikan manuver Partai Nasdem tersebut.
Demikian halnya juga dengan aktor-aktor medioker dalam tim pemenangan dari masing-masing kandidat. Perlu kiranya para elite politik untuk memberikan ruang dan kepecayaan yang lebih besar kepada orang-orang yang berada di level menengah untuk memainkan peran dan kreasinya. Jangan-jangan bukan sosok Anies, Ganjar, ataupun Prabowo yang menjadi landasan kemenangan pada Pilpres 2024 nanti. Bisa jadi tokoh-tokoh populer tersebut hanya menjadi ikon pemenangan, bukan jantung dari kemenangan itu sendiri. Jangan-jangan bukan Haji Muhidin, Pangeran Khairul Saleh, Denny Indrayana, dr. Zairullah, Bang Rifky ataupun Aditya Mufti Arifin yang menjadi aktor kunci dalam memenangkan konetstasi Pilgub Kalsel 2024 nanti. Bisa jadi justru orang-orang yang berada di “Ring 2” yang menjadi game changer-nya.