GANGSTER
Oleh : IBG Dharma Putra
SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Gangster adalah istilah dunia kejahatan, pada awalnya dikaitkan dengan anggota organisasi kriminal yang disebut Mafia tetapi selanjutnya lebih banyak dipakai sebagai istilah bagi para pembuat keonaran. Gangster kembali terkenal belakangan ini, sebab adanya istilah Gangster Surabaya.
Gangster Surabaya ditenggarai merupakan gerombolan remaja yang suka tawuran serta melakukan aksi kekerasan dan aksi aksinya itu, sangat meresahkan sekaligus membuat takut masyarakat, karena aksinya bersifat ngawur, brutal, sadis dan tanpa alasan jelas. Mereka membacok, menyakiti, melukai orang yang hanya lewat didaerah mereka berkumpul dan sering sering melakukan konvoi sepeda motor dengan menebas nebaskan pedang kesetiap orang lewat.
Mereka hanyalah gerombolan remaja konyol, tidak teroganisir rapi dan dari kajian ilmiah, diduga sedang haus eksistensi diri dan sedang bereaksi untuk menunjukkan ketidak puasan terhadap kotanya. Sifat umum remaja yang mencari identitas, cendrung anti kemapanan dikombinasi dengan ketidak puasan karena melihat ketidak adilan disekitarnya, memang potensial menjadi penyebab reaksi patologis ( sakit ) dalam bentuk bertindak kriminal.
Gerombol anak kecil nakal, seharusnya dibina serta diberi penyadaran kasuistis dan tidaklah layak dihadapi berlebihan dengan perbenturan horizontal antar kelompok masyarakat dengan risiko perang antar kelompok. Jika perbenturan horizontal terjadi, berarti kekonyolan remaja belia telah berpindah menjadi kekonyolan para orang tua dan tokoh masyarakat. Kewajiban menjaga stabilitas, keamanan dan ketertiban yang ada di pundak pemerintah, tidak boleh dengan mudah hendak dipindah tangankan kepada masyarakat berikut semua risiko yang menyertainya.
Pidato heroik pejabat kota, yang mirip dengan seruan perang oleh Bung Tomo pada arek arek Suroboyo, hanyalah tampilan yang secara isi, berbeda sekali. Bung Tomo memang mengajak perang demi mempertahankan kedaulatan negara dan bangsanya, tidak elok jika dibelok arahkan untuk mengempur anak sendiri yang menjadi bandel karena lupa diberi pelajaran.
Kondisi salah tujuan seperti itu, memperkuat dugaan bahwa bergerombolan remaja bodoh, untuk berulah dan membuat keresahan serta kegelisahan di lingkungannya dengan nekad adalah buah dari salah asuhan pendidikan. Sebuah fenomena yang dapat merupakan alarm terjadinya kemacetan dialogis antara anak dengan orang tuanya, antara pemerintah dengan masyarakatnya, terutama yang masih remaja. Kemacetan dialog yang menyebabkan mereka tak bisa memahami program ataupun kebijakan pemerintah dan akan berujung pada ketidak puasan.
Ketidak puasan masyarakat yang ditunjukkan secara patologis, dalam bentuk aksi brutal, di banyak kejadian, terbukti terjadi bersamaan dengan kurangnya sinergitas TNI Polri. Kesan emperis ini, perlu segera dikonfirmasi detail dan diikuti dengan kajian jujur untuk mendapat penyelesaian masalah tuntas. Perlakuan adil pada kedua institusi penjaga kamtibmas ini, tidak jarang mampu meredam supaya ketidak puasan masyarakat tak meledak menjadi aksi brutal.
Memberikan rasa keadilan melalui penyikapan disertai dengan perlakuan adil kepada semua aparat pemegang senjata ini, membangunkan harmoni sinergitas TNI Polri dan diujungnya akan membangun soliditas dan solidaritas. Karena solid dan diienuhi solidaritas maka penjagaan kamtibmas akan berjalan baik dan
aksi aksi tidak produktif semacam keberadaan gerombolan gangster dapat dihindarkan.
Melakukan sinergitas gerakan sebagai cara untuk menjaga kamtibmas sesuai ketentuan adalah pilihan cerdas yang harus dilakukan pemerintah dan bukan mengajak masyarakat memerangi anak remajanya yang berpotensi menginisiasi perbenturan horizontal dalam masyarakat.
Banjarmasin
18122022.