LUASAN AREA BERSIH-BERSIH YANG BERSIH
Oleh : Syaifudin
SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Sahabat ! Istilah (terminologi) membersihkan yang bersih yang saya ungkapkan pada tulisan jum’at yang lalu terus membawa perenungan dalam diri saya, entah kenapa ia kemudian membawa saya pada suatu area lain yang terkait dengan bersih bersih menjelang dan saat menjalankan ibadah puasa ini. Area yang saya maksud adalah pada hal-hal yang kita kuasai atau “miliki”, seperti harta benda yang berwujud dan harta atau benda yang tidak berwujud. Pada saat saya menyebut harta atau benda ini, maka dalam kajian hukum ia termasuk “objek hukum” yang diartikan sebagai sesuatu yang bisa “dihaki” oleh kita dan umumnya bernilai ekonomis.
Hak yang kita dapatkan dari benda (berwujud dan tidak berwujud) itu menjadikan kita dapat melakukan perbuatan atasnya, seperti menjual, menghibahkan, menyewakan, mewarikan dan sebagainya. Benda ini memiliki nilai ekonomis, baik yang nyata ataupun yang tersamar, namun semuanya bisa dikalkulasi dengan angka ekonomis atau dalam bahasa populer bisa “dirupiahkan”, seperti harta dalam bentuk rumah, perhiasan, tanah, termasuk harta dalam wujud hak atas kekayaan intelektual.
Isuenya apakah area harta benda yang didapat dari “bekerja/berusaha” sehingga nyata terlihat jumlahnya, dan hak kekayaan intelektual yang kita dapatkan dari proses menggunakan akal fikiran yang kemudian diwujudkan dalam bentuk karya atau penemuan yang sering kita sebut Hak Cipta, Merek dan paten serta Hak atas kekayaan Intelektual lainnya juga harus kita bersihkan ?
Harta benda yang bernilai ekonomis ini manakala kita dapatkan atau diperoleh dengan cara yang “halal”, maka kita dapat menyimpulkannya bahwa harta kita bersih, lalu kenapa kemudian kita disuruh mebersihkannya dengan membayar “zakat” atau juga dengan mengeluarkannya dalam bentuk infaq dan sedekah ? Untuk ini secara sederhana maka masuklah konsep yang saya sebut “membersihkan yang bersih”, artinya terhadap yang bersihpun kita akan bersihkan juga.
Ada banyak “hikmah” yang bisa diambil dari membersihkan yang bersih ini, seperti soal harta ini, dibangun atas kesadaran sesuatu yang kita peroleh dalam kehidupan yang kemudian oleh “hukum manusia” diberi label hak, sesungguhnya bukan atas hasil kita sendiri, melainkan ada peran pihak lain dalam mendapatkannya, sebagaimana layaknya hidup inipun kita tidak mampu hidup sendiri dalam memenuhi seleuruh kebutuhan kita, dan pasti ada peran pihak lain, terlebih kalau kita menyadari hidup kita ini adalah Anugerah (pemberian) dari Yang Maha Kuasa, maka menjadi mutlak atas hak kita itu ada hak orang lain didalamnya. Sehingga dengan demikian kosep membersihkan yang bersih ini, adalah suatu “kesadaran bahwa kita harus membagi apapun resourses yang kita punyai kepada orang lain”, sehingga kalau kita bersihkan, maka akan bersih diri kita.
Membersihkan harta yang berwujud sudah maklum bagi kita semua, bahkan sudah diatur secara syariah jumlah dan sasarannya, akan tetapi membersihkan sumber daya fikiran yang dinugerahkan kepada kita, masih belum banyak mendapat perhatian kita. Okelah kita sudah mendapatkan karya yang relatif dihargai secera ekonomis dari hak atas kekayaan Intelektual kita itu, namun regim HAKI ini sangat menitik beratkan kepada “nilai keakukan ekonomis”, sehingga kita melupakan ia juga mempunyai nilai sosial dan spritual. dari pemikiran inilah membersihkan yang bersih dari karya dan potensi pemikiran kita mendapat tempat.
Berbagi kepada sesama atas ilmu, pengetahuan dan pengalaman yang kita miliki sesungguhnya “membersihkan diri yang bersih” sebagai tanda kesyukuran kita atas anugerah ilmu, pengetahuan dan pengalaman yang diberikan oleh Yang maha Kuasa kepada kita, dan tentunya saat kita memperolehnya juga terdapat peran orang lain. Semoga kita semua dihindarkan dari sifat kikir ilmu, pengetahuan dan pengalaman.
Salam secangkir kopi seribusatu inspirasi.