SUDAH MAKAN ? Vs APA KABAR ?
Oleh : Syaifudin
SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Sahabat ! mengenang kembali lebaran di Kampung halaman dengan nenek dan kakek adalah sesuatu yang sangat indah buat saya kenang, terlebih saat lebaran ini tidak mudik ke kampung Mandapai Padang Batung Hulu Sungai Selatan dimana dulu kakek dan nenek kami tinggal, di kampung ini sekarang masih ada keluarga dengan garis keturunan sepupu dua kali, artinya nenek dan atau kakek kami yang bersaudara. Terdapat sapaan yang tak terlupakan dan mengiang ditelinga saya saat pertama ketemu dan datang ke Kampung menengok nenek dan kakek, “wan tuan tuan…cucuku datang” sambil memeluk dan kemudian dilanjutkan beliau dengan sapaan sekaligus bertanya “sudah makanlah cu “?.
Pertanyaan “sudah makanlah cu?” ini dulu saya pahami hanya sekedar bentuk perhatian beliau pada kami yang datang dari perjalanan jauh yang tentunya membuat kami lelah terlebih kalau diperjalanan belum makan. Namun sekarang saya pertanyaan “sudah makanlah cu” ini setelah saya renungkan dan mendapatkan dari beberapa referensi, ternyata mempunyai makna yang dalam untuk menjadi bekal dalam menempuh kehidupan yang damai dan bahagia, sebagai kelanjutan dari tulisan saya jumat terdahulu tentang “berkecukupan”.
Sahabat ! mengapa begitu penting “makan” bagi masyarakat kampung kakek dan nenek saya dulu ? bagi mereka dengan terpenuhinya kebutuhan untuk makan adalah batas puncak kenikmatan untuk bisa menikmati kehidupan ini, dalam artian memaknai hidup damai dan bahagia pada saat sudah bisa memenuhi kebutuhan hidup dengan makan, dan setelah kita renungkan kebutuhan hidup kita yang esinsial untuk hidup ini sebatas makan. Dan dengan makan ini maka sesungguhnya kita tidak punya alasan untuk tidak bisa menikmati kehidupan. dari sinilah muncul kebersahajaan masyarakat kita di kampung dalam menjalani dan menyikapi kehidupan, senda gurau, gelak tawa, belajar sifat 20 (Ketuhanan), mengaji (membaca Alqur’an), perayaan maulid Nabi, gotong royong, saling membantu dan menolong menjadi kegiatan yang dilaksanakan dengan penuh kegembiraan, yang menurut kita seolah-olah tidak ada beban lagi dalam kehidupan ini.
Selanjutnya pertanyaan sudah makan kah ini, merefleksikan kepedulian bagi sesama akan kebutuhan yang paling mendasar tersebut, atau dengan istilah lain sebagai “benda” yang paling berharga untuk ikut diberikan dan dirasakan. Karena kalau belum makan, maka ada semacam perasaan yang ikut dirasakan akan ketidaknyamanannya, sehingga makan ini perlu disegerakan untuk dipenuhi.
Sahabat ! Lantas bagaimana dengan kehidupan masyarakat perkotaan atau masyarakat yang kita sebut modern sekarang ini ? pertanyaan sudah makan saat ketemu kerabat dan sahabat sudah bergeser kepada pertanyaan “apa kabar?” yang menggambarkan keingintahuan akan kondisi kehidupan seseorang dan selanjutnya diikuti obrolan tentang aktivitas pekerjaan, perolehan pendidikan, perolehan pangkat atau jabatan, posisi di perusahaan, posisi di pemerintahan, hobby yang dijalankan, olah raga yang dilakukan, tempat tinggal yang dibanggakan dan seterusnya.
Akibat pertanyaan apa kabar inilah, bagi kita yang sadar atau tidar mendorong kita untuk mematok kesuksesan dan kebahagiaan hidup pada simbol-simbol raihan kebendaan dan kekuasaan, sehingga setiap hari kita ingin hidup bahagia dengan memiliki dan memamerkan perolehan-perolehan kekayaan dan kekuasaan tersebut. Akibatnya terjadilan “pergelutan” pertarungan kehidupan untuk menang menangan, tinggi tinggian, hebat hebatan dan setrusnya, yang justeru membawa kepada sesuatu kondisi yang tidak ada batasnya sehingga membawa kepada “kegalauan” hidup, yaitu mengejar fatamorgana kebahagiaan yang tidak pernah akan ditemuinya, selain merasa bangga sesaat menunggu sanjungan dan pujian.
Perhatikan lagi, sekedar untuk makan di masyarakat perkotaan kita, nilai nilainya sudah bergeser dari empati pada masyarakat kampung, kepada “gengsi” dengan tempat tempat tertentu dan brand-brand tertentu yang dikembalikan kepada simbol gaya hidup yang dianggap sukses tersebut.
Sahabat ! saya tidak bermaksud mengajak meninggalkan pengejaran kita pada simbol-simbol kesuksesan masyarakat perkotaan atau modern untuk eksis bersaing dalam persaingan kapital dan global, akan tetapi saya hanya sekedar mangajak untuk kita merenungkan pada suatu kondisi, ada saatnya kita mengukur kesuksesan dan kebahagiaan hidup itu secara sederhana, sesederhana pemikiran dan pemahaman kakek dan neneknya saya di Kampung “saat sudah “makan”, dan “mampu untuk makan” maka selanjutnya nimatilah hidup ini”.
Semoga perenungan yang seperti ini sebagai oleh-oleh mudik pulang kampung… amin…
Salam secangkir kopi seribusatu inspirasi.