TOKOH MAHABHARATA
Oleh : IBG Dharma Putra

SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Mahabharata bercerita tentang manusia penghuni dunia, dengan berbagai karakter politik, sosial atau kemanusiaannya. Epos terkenal yang disenangi oleh banyak orang, bahkan dipercaya oleh sebagian manusia sebagai bagian dari kitab sucinya, bisa dibaca untuk dijadikan cermin diri. Tulisan ini, akan menampilkan Karna, Sangkuni, Duryodana dan Yuyutsu.

Karna, Raja Angga, sudah mengetahui jati dirinya, sesaat sebelum dimulainya perang di Kurusetra dan telah dihadapkan pada dilema rumit kehidupan yang harus segera dipilihnya. Raja Angga, bergulat dalam diam di kesunyian kesendiriannya, tidak berteman dan tidak ada seorangpun yang peduli. Akhirnya, dia memilih mengabdi pada Duryodana yang melindungi dan memberinya kehormatan pada saat dia mengalami hinaan dunia. Pemilihan jalan terjal yang telah dia perkirakan akibat buruknya dan memang terbukti begitu. Karna terbukti gagal dalam pilihannya walau tergantikan oleh jalan hidup tidak kalah mulia, menjadi pahlawan perang tidak terkalahkan, terbunuh karena tak bersenjata. Kematiannya dikelilingi orang yang menyayanginya disertai tangis haru dipenuhi penyesalan dari orang yang pernah salah memahaminya.

Sangkuni, antagonis dari Gandara (sekarang Afganistan) yang cerdik dan pandai berjudi, hidupnya dimotivasi oleh dendam, keinginan tak sampai. Sangkuni sangat ingin menjadi suami Dewi Kunti dan menginginkan Dewi Gandari, adik kandungnya menjadi istri Pandu, bukan istri seorang difabel seperti Drestarata. Dendamnya terbuka karena Sangkuni bukan manusia bermuka dua dan secara jujur serta konsisten, menginginkan kehancuran Bhisma bersama Hastinapura sekaigus membunuh Tuhan. Sangkuni bergaul akrab dengan para begundal, seperti kepala preman bernama Purocana dan menjauhi bahkan tidak pernah mengindahkan nasehat para tokoh agama.

Duryodana, bayi tabung pertama didunia, lahir bersama sembilan puluh sembilan bayi tabung lainnya sebagai kembaran hasil rekayasa doa ayah ibundanya. Sebuah kelahiran karena keinginan berlebihan hingga mirip kerakusan setelah orang tuanya melihat Yudistira lahir dan potensial menjadi suksesor Hastinapura. Karakternya baik, dipenuhi oleh kasih sayang dan kepedulian, menyayangi sanak keluarga, suka dan mudah bergaul, malaikat penolong kaum miskin papa, sampai dirusak menjadi ambisius oleh hasutan Sangkuni. Kebehasilan Sangkuni mengubah karakter Duryodana, diawali oleh kesuksesannya meyakinkan diri Duryodana bahwa Sangkunilah yang paling menyayanginya.

Mahabharata melalui Karna, Sangkuni serta Duryodana, menginsiprasi bahwa kesalahan dalam mendudukkan cinta, terlalu menjaga harga diri serta termotivasi oleh dendam serta kesalahan dalam memilih teman adalah awal kehancuran. Inspirasi itu, membuat terbersit dalam benak saya sebuah kalimat pendek berbunyi, “ jalanilah hidup dengan baik agar kematianmu menjadi benar “. Kebaikan harus diupayakan dengan sekeras kerasnya tetapi jangan melawan kebenaran. Membaca kitab, memperhatikan lingkungan, melihat adab dan iptek adalah dasar wawasannya.

Kebaikan tak harus selalu benar karena boleh salah dan tidak haram untuk diperbaiki serta dibuat menjadi benar. Matinya kebaikan hanya terjadi pada jiwa jiwa yang mati karena hanya diam dan menunggu, membiarkannya tetap salah karena terjebak dalam rutinitas yang takut berubah. Sekelilingnya kabur, bahkan tak terlihat hingga tak bisa dipelajarinya untuk menjadi benar. Kabur oleh matanya yang buta akibat telalu banyak menangis menyesali diri dan mengkasihani dirinya.

Kebaikan dipastikan akan merasa tidak nikmat dalam suasana dingin membosankan, dipaksa untuk menjadikan suasana tersebut seolah suasana damai padahal hampa tanpa aroma pergantian musim. Udaranya tak berangin, membuat kantuk bekepanjangan dan orang orang tertidur pulas disebarang tempat, membuatnya ingin dan ikut begitu. Kemalasan dan kebodohan meraja lela. Keburukan takkan pernah menjadi kebaikan.

Tak berani keluar dari zona nyaman untuk berubah menjadi lebih baik serta menjadi orang beruntung walaupun harus menantang matahari, adalah kebodohan yang tak akan pernah memunculkan kebaikan. Ketakutan seperti itu setara dengan membohongi dirinya dengan gairah tempat bersemayamnya cinta kasih beraroma mesra untuk setiap khayal kemajuan yang tak pernah berani dimulainya. Penuh kepalsuan, terlihat seperti nyata tetapi ternyata hanya mimpi, sebuah khayal pengisi dengkur bagi pemalas tak bermasa depan

Mahabharata juga bercerita tentang Yuyutsu, saudara tiri dari seratus kurawa, putra ke 101 dari Raja Drestarata, dari seorang dayang istana. Yuyutsu adalah seorang konglomerat yang bekerja sebagai Bendahara Kerajaan Hastinapura. Yuyutsu ikut berperan membiayai Bharatayudha, bahkan sebagian besar biaya Bharatayudha yang harus dikeluarkan oleh Kurawa, dipinjam dari kekayaan Yuyutsu.

Dengan sikap, cara berbicara dan prilakunya, Yuyutsu selamat dari kematian akibat perang dan akhirnya menyeberang serta berpihak pada Pandawa sehingga diangkat menjadi Bendahara Dewi Drupadi. Artinya, diraihnya kemenangan oleh Pandawa, menjadikannya Bendahara Permaisuri di Indraprasta, Kerajaan Hastinapura yang baru.

Pada orde pemerintahan selanjutnya, setelah Yudistira meletakkan tahtanya, tokoh utama adalah Parikesit dan anak keturunan Karna serta anak keturunan Yuyutsu adalah para petingginya. Begitulah dunia, akan ditemukan banyak bunglon sejenis Yuyutsu, yang keren mirip the man of all season, dalam cara yang baik ataupun buruk. Yang tidak suka dan tidak nyaman berbuat seperti itu, harus siap didera gelombang pasang surutnya zaman.

Saya sangat berempati pada Karna, kagum pada kecerdasan Sangkuni dan ikut sangat menyayangkan kesalahan Duryodana dalam memahami kasih sayang. Saya allergi pada si bunglon Yuyutsu. Orang seperti Yuyutsu dalam katagori buruk, biasanya bersikap paiyanya ( bahasa banjar ).

Banjarmasin
02072023.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini