KRITIK YANG MENGGELITIK
Oleh : Syaifudin
SCNWS.ID-BANJARMASIN. Sahabat ! kegaduhan dan ramenya menyaksikan peristewa keseharian kehidupan yang dipertontonkan ke kita sering membuat saya diam, namun diam diam dalam diam tersebut menggerakan tangan saya untuk menuliskannya sebagai refleksi pemikiran yang terlintas saat menyaksikan peristewa itu apalagi kemudian peristewa itu memunculkan adanya pro dan kontra, sehingga kelompok yang diam seperti saya mencoba berkomentar.
Peristewa itu adalah dimulai dengan adanya kritikan pada kebijakan Presiden Jokowi terkait dengan Ibu Kota Nusantara dalam posisi penggagas sampai mengawal eksekusinya secara terus menerus didalam dan di luar negeri untuk memperkenalkan dan sekaligus menawarkan pembangunan IKN ini, sehingga ada kelompok masyarakat kita yang kurang atau tidak sependapat sehingga kemudian melontarkan kritikannya dengan berbagai “gaya” dan yang terakhir ini adalah kritikan sosok RG dengan gaya kelompok “pergerakan” melontarkan kata-kata yang dianggap tidak pantas atau paling tidak kurang beradab dengan memakai narasi “bajingan tolol”.
dr Dharma di edisi senin 7 Agustus 2023 telah membahas dengan cerdas makna kritikan dalam pendekatan yang “dependent” dimana kritikan bukanlah berada pada ruang yang hampa, akan tetapi diliputi oleh sejumlah tatanan, sehingga substansi dan metode dalam melakukan kritikan harus mengikuti nilai-nilai tatanan kehidupan. Dalam perspektif konsensus dan pluralis saya menyebutkanya dengan istilah adanya “kesepakatan” terhadap nilai-nilai yang dipergunakan untuk menunjukan ekspresi kita, sebagai suatu realitas yang memang beragam dan berbeda-beda dan bahkan perbedaan yang sangat tajam.
Dilihat dari pendekatan “independent”, kritikan memang dimaknai “bebas nilai”, sehingga kritik adalah kritik yang bebas substansi dan metodenya. Pandangan ini termasuk dalam kelompok “kritis” yang biasanya digunakan oleh kelompok “pergerakan” sebagai sesuatu kekuatan perlawanan pada suatu regim yang berkuasa. Paradigmanya yang paling radikal disebut “power elite” dimana segala kebijakan yang dikeluarkan oleh regim adalah semata-mata hanya untuk kepentingan yang berkuasa, oleh karena itu harus dilawan dengan kritikan yang vulgar dan sarkastis.
Sahabat ! Dengan memahami dua pendekatan itu, tentu kita akan menjadi maklum ada pro dan kontra tersebut dan dikelompok mana mereka yang pro dan kontra tersebut adanya, baik terhadap substansi maupun metode yang dipakai seperti yang dipergunakan atau dikemukakan oleh RG tersebut. Namun bagi saya pribadi lebih sependapat dengan model pluralis dan konsensus, atau lebih memilih pendekatan yang “dependent”, melihat objek yang dijadikan sasaran adalah kritik pembangunan, bukan kritik terhadap “kebrutalan regim”, pertimbangannya, dengan cara “wise” kita dapat memberikan kritikan yang tidak menyakitkan terhadap yang dikritik, disamping terkadang hasilnya lebih efektif serta disikapi oleh yang dikritik dengan lapang dada, disamping itu posisi pengkritik tidak terkesan sombong dan merasa paling pintar.
Perhatikanlah :
a. seorang budayawan bisa wise melakukan kritik secara dengan memperhatikan tatanan budaya setempat;
b. seorang filosof bisa sangat wise melakukan kritik dengan membukakan model pendekatan holistik, sehingga mengajak berfikir secara luas, koprehensif dan sekaligus kritis;
c. seorang seniman bisa wise melakukan kritik lewat lirik lagu dan yang menyentuh hati, tanpa melukai;
d. seorang ulama bisa wise melakukan kritik dengan pendekatan “kebapaan” yang tidak bersifat menggurui dan bukan menghakimi apalagi menyalahkan, karena semua diri punya “maqom”nya.
e. seorang akademisi atau ilmuan dapat wise melakukan kritik dengan jalan memberikan kajian akan permasalahan dari sudut pandang keilmuannya akan permasalahan yang terjadi dan kemudian memberikan solusi alternatif sebagai rekomendasi dari hasil versi kajiannya.
Dan seterusnya.
Salam secangkir kopi seribusatu inspirasi.