
DARI HEDON PINDAH KE PANCA SILA
Oleh : IBG Dharma Putra
SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Hedon itu edan, diduga hedonis tak takut mati dan dihukum mati, apalagi jika hukuman mati bisa dibatalkan dengan berprilaku baik selama 10 tahun. Dalam penikaian subjektif baik sulit dibedakan dengan berpura pura baik dengan sering sering memberi hadiah pada penilai.
Mayoritas hedonis, adalah kaum yang mudah memperoleh uang hingga kurang menghargai uang dan cendrung menghamburkannya pada kebiasaan foya foya. Kebiasaan yang menjadi sebab kaum hedonis, takut miskin dan sangat ketakutan jika dimiskinkan.
Semua tahu, bahwa menggunakan kekuasaan dan menjual keindahan nyaman adalah cara mudah mendapat uang, sehingga potensi tersebut cendrung akan dimanfaatkan dan perlu diawasi seksama dan jika terbukti wajib dimiskinkan.
Diperlukan masa transisi dengan aturan peralihan untuk membuat hukuman yang memiskinkan jika perilaku hedon dan penyebab hedon sudah beraroma tidak terkendali. Masa sebelum hukuman mati bagi pelaku dan memiskinkan keluarganya, mulai diberlakukan tanpa pandang bulu.
Sebuah masa transisi untuk pertobatan, dalam pengertian mengaku pernah melakukan dan berjanji untuk tak melakukannya lagi. Pengakuan tobat wajib disertai pengembalian uang curian sesuai jumlahnya dan sejumlah insentif pertobatan akan diberikan sehingga dapat hidup layak sesuai kebutuhan.
Disekitar hamburan uang, potensial berkumpul perempuan hedon, hidup dalam sandiwara karena tidak cerdas dan rendah diri. Memilih barang palsu buatan luar negeri dibanding barang asli dalam negeri, memilih harga dan bukan nilai.
Berkurangnya hamburan uang, mengurangi jumlah perempuan yang terjerumus ataupun menjerumuskan dirinya dalam hedonisme dan dunia akan lebih diwarnai oleh keberadaan perempuan cerdas. Perempuan yang memakai barang asli buatan negeri sendiri, baik dalam aksi ataupun narasinya, tampil penuh empati hingga ikut berperan dalam kedamaian hidup di masyarakatnya.
Perempuan cerdas dan tidak rendah diri ini, akan mendidik putra putinya untuk mencintai produk buatan negerinya sendiri, mencontoh kelakuan lucu para balita yang ngambek dan melakukan protes kepada bundanya disetiap bulan Februari. Karena bulan itu, tidak punya tanggal 30, padahal balita pecinta mie produk dalam negeri, diijinkan memakannya 3 kali sebulan, disetiap tanggal 10, 20 dan 30.
Sayangnya pecinta mie produk dalam negeri, tak tahu bahwa mienya diproduksi dari tepung gandum buatan negeri asing nun jauh disana. Konon pernah dicoba membuat mie berbahan singkong tapi tak pernah ada yang tahu lagi ceritanya. Kejadian sama bisa terjadi pada orang dewasa pecinta produk dalam negeri.
Untuk itu, produsen selayaknya dipaksa rela untuk memakai bahan lokal. Disarankan agar pemerintah mendekatinya dengan penegakan hukuman tegas bagi pelanggarnya. Memberi insentif pada yang patuh terbukti tak mempan karena yang patuh sulit dibedakan dengan pura pura patuh, apalagi jika ngibulnya kurang mendapat pengawasan secara tegas.
Para produsen hendaknya tidak hanya berpikir keuntungan belaka, apalagi hanya untungnya sendiri saja. Pemerintah wajib tegas supaya produsen tidak begitu, dengan menegur keras dan menghukum untungnya menjadi buntung.
Hakekat perbuatan egois seperti itu adalah subversif karena telah mengkhianati tujuan berbangsa untuk merdeka, berdaulat, adil dan makmur.
Nusantara tercinta tak memerlukan produsen pengkhianat bangsa dan masyarakat ramah serta toleranpun tak hendak hidup bersama dengan para pengkhianat sehingga sebaiknya para pengkhianat itu, apapun warna kulitnya, sukunya, rasnya, agamanya, golongannya, dihukum dengan setimpal sesuai dengan bobot pengkhianatannya.
Produsen baiklah yang wajib dilindungi, awasi pajaknya dengan benar, jangan sampai dibuat rumit dan dibengkakkan oleh petugas nakal, agar bisa dijadikan alat negosiasi kotor. Pemihakan bagi perbaikan harus ditunjukkan dan bukan hanya komitmen politis tanpa aksi nyata. Kegagalan dikoreksi dan dipakai bahan instrospeksi. Apresiasi partisipasi dan aspirasi, jangan berkelit menyalahkan oknum semata. Pemerintah harus bisa lebih baik dari penjajah belanda.
Titik awal sekaligus triger aksi, adalah Panca Sila, sehingga pemerintah harus patuh pada kelima silanya dan bukannya ikut memberi pengertian baru dan menafsirkan Panca Sila untuk kepentingan sesaat saja. Kepatuhan ditunjukkan dengan pengabdian tulus tanpa diwarnai oleh kepentingan pribadi yang hanya mendahulukan para sahabat, keluarga serta kelompoknya saja.
Banjarmasin
20032023