PROBLEMATIKA MASA JABATAN KEPALA DAERAH/WAKIL KEPALA DAERAH DAN PILKADA SERENTAK 2024

PROBLEMATIKA MASA JABATAN KEPALA DAERAH/WAKIL KEPALA DAERAH DAN PILKADA SERENTAK 2024

Oleh : Dr.H.Syaifudin, SH.,MH. (Akademisi & Founder Jurist Solution)

Pengantar :

Uraian ini berformat legal opini, sebagai langkah awal untuk mengkaji lebih dalam permasalahan hukum terkait dengan jadwal Pilkada Serentak tahun 2024 dan Masa Jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan. Sebagai suatu opini hukum tentu terbuka perdebatan, dan setiap perdebatan yang terpenting para kolega mengetahui alur fikir (order of logic” yang digunakan dalam melakukan analisa normatifnya.

ISUE ATAU MASALAH HUKUM yang mau dijawab adalah :

  1. Kapan Pilkada 2024 dilaksanakan ?
  2. Kapan waktu atau masa jabatan Kepala Daerah berakhir ?
  3. Bagaimana Problema Normatif dan pemecahan masalahnya ?

FAKTA NORMATIF DAN DISKUSI, sebagai berikut :

Fakta 1

Pasal 201 ayat 7 UU 10/2016 “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan tahun 2024”.

Bahwa  dengan mempergunakan penafsiran hukum “gramatikal” (catatan ada 11 metode penafsiran hukum, yaitu : Gramatikal, Historis, Sistematis, Sosiologis/Teleologis, Komparatif, Futuristik/antisipasi, Restriktif, Ekstensif, Otentik, Interdisipliner, Multidisipliner) disebutkan masa jabatannya adalah rentang waktu 2021 sampai dengan 2024, berdasarkan kalender tahun 2021 dimulai bulan januari, sedangkan 2024 diakhiri oleh bulan Desember. Karena disebutkan berlakunya sejak tanggal pelantikan dan pelantikan dilakukan umumnya dilakukan pada tahun 2021, maka ditafsirkan masa jabatan ini dari tanggal pelantikan tahun 2021 sampai dengan 31 Desember 2024. Jadi secara gramatikal masa jabatan 2021 sd 2024 itu adalah dari tanggal pelantikan di tahun 2021 sd 31 Desember 2024.

Fakta 2

Bahwa masa jabatan Kepala Daerah selama kurun waktu 2021 sd 2024 (efektif 4 tahun) telah diatur dalam Pasal 201 ayat 7 UU 10/2016, disebutkan”Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan tahun 2024”. Sementara dalam Undang Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, masa jabatan Kepala Daerah sebagaimana diatur dalam Pasal  60 disebutkan “Masa  jabatan  kepala  daerah  adalah selama 5 (lima) tahun terhitung sejak pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan”.

Terhadap fakta normatif ini, maka secara norma hukum telah terjadi “konflik normatif” karena ada dua Undang-Undang mengatur hal yang berbeda dari masalah yang sama yaitu masalah masa jabatan Kepala Daerah, yaitu kurun waktu 4 tahun dan kurun waktu 5 tahun. Untuk menyelesaikan konflik norma ini, ditarik ke asas hukum yang berada dalam kajian teori hukum, yaitu dengan “metode penyelesaian konflik norma”. Metode penyelesaian konflik norma ada 3, yaitu :

(1) Asas lex superior derogat legi inferiori, artinya undang-undang yang lebih tinggi mengalahkan atau menyampingkan undang-undang yang lebih rendah; (2) Asas lex specialis derogat legi generali, artinya undang-undang yang bersifat khusus mengalahkan atau menyampingkan undang-undang yang bersifat umum; (3) Asas lex posteriori derogat legi priori, artinya undang-undang yang baru mengalahkan atau menyampingkan undang-undang yang lama.

Dianalisa dengan asas lex superior, Undang Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota adalah sama derajatnya sebagai undang-undang dalam tata urutan perundang-undangan, sehingga tidak bisa diselesaikan dengan asas ini.

Dianalisa dengan asas lex specialis, maka mesti ditentukan, undang-undang mana yang bersifat khusus ? secara teori hukum kekhususan itu ada dua hal, yaitu khusus subjeknya dan khusus objeknya. Kalau dilihat dari subjeknya, maka kedua undang-undang mempunyai kesamaan, yaitu Kepala Daerah, tapi dilihat objeknya berbeda, Undang-Undang Nomor Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, sedangkan Undang Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota. Sehingga kalau dilihat dari kekhususan kelembagaan, maka UU 23/2014 bersifat khusus dan dapat mengenyampingkan ketentuan dalam UU 10/2016.

Namun terhadap hal ini perlu dilihat Pertimbangan Putusan Mahkamah Kontistusi saat Uji materiel “Kebijakan memformulasikan penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota termasuk pemotongan atau pengurangan masa jabatan kepala daerah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 201 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) bersifat transisional atau sementara dan sekali terjadi (einmalig) demi terselenggaranya pemilihan serentak nasional pada 2024. Sehingga pemilihan berikutnya berakhirnya masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota bersamaan dengan periodesasi pemilihan gubernur, bupati, dan walikota yakni setiap 5 (lima) tahun sekali secara serentak nasional”. Selanjutnya disebutkan “pemotongan masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati, dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota hasil pemilihan gubernur, bupati, dan walikota pada 2020 sebagaimana dimaksud Pasal 201 ayat (7) UU Pilkada, menurut Mahkamah tidak bertentangan dengan konsepsi hak asasi manusia. Sebagai hak politik, maka hak tersebut terkategori sebagai hak yang dapat dikurangi (derogable right) yang berarti hak tersebut boleh dikurangi dan dibatasi pemenuhannya oleh negara berdasarkan alasan-alasan sebagaimana termaktub dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945”. (lihat Perkara Nomor 18/PUU-XX/2022).

Apabila dilihat dari asas Asas lex posteriori, maka Undang-Undang Nomor Nomor 23 tahun 2014 dapat dikesampingkan oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, karena dibuat belakangan, artinya substansi dari Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 lah yang diberlakukan.

Fakta Hukum 3

Pasal 201 ayat 8 UU 10/2016 disebutkan Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan   Wakil   Bupati,   serta   Walikota  dan   Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024.

Jadwal pelaksanaan Pilkada tahun 2024 ditentukan penyelenggaraannya pada tanggal 27 November 2024 sebagimana termuat dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 3 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilu Tahun 2024.

Berdasarkan hal ini bisa dipastikan  pelantikan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terpilih dari hasil Pilkada 2024 tersebut akan dilaksanakan pada Tahun 2025, artinya akan ada kekosongan jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, apabila diterapkan pasal 201 ayat (7) UU Pilkada tersebut.

Terhadap hal ini kemudian oleh Pasal 201 ayat 10-11 UU 10/2016 disebutkan “Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur, diangkat penjabat Gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Fakta Hukum 4

Menyadari permasalahan kekosongan jabatan Kepala Daerah dengan memberlakukan ketentuan pasal 201 ayat 8 UU 10 Tahun 2016 tersebut, maka Kemendagri, KPU RI dan BAWASLU RI dan Komisi II DPR-RI, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) pada 20 September 2023 menyimpulkan perlunya dirubah jadwal pelaksanaan Pilkada Serentak tersebut ke Bulan September 2024. 

Kesimpulan ini secara normatif didasarkan pada pertimbangan agar pada tahun 2024 telah bisa dilakukan pelantikan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Baru dari hasil Pilkada Serentak tersebut, sehingga tidak perlu ada pengangkatan Penjabat Gubernur, yang tentunya didasari perimbangan objektif. yaitu  :

  1. Pertimbangan Efektivitas Pemerintahan dari kekosongan jabatan Kepala Daerah yang berakhir pada 31 Desember 2024;
  2. Pertimbangan Kondisi Sosial Politik Pemilu Serentak 2024 dikarenakan baru terpilihnya Anggota DPR RI, DPD RI DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten Kota serta Presiden, dan Kepala Daerah hasil Pilkada belum terisi ditahun tersebut.

REKOMENDASI PENYELESAIAN

Dari uraian di atas, untuk penyelesaiannya dapat ditempuh dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, karena sifatnya mendesak sebagaimana adanya kondisi problem normatif dan kondisi objektif tersebut di atas. yaitu :

  1. Dengan menerbitkan Perpu melakukan revisi ketentuan pasal 201 UU Nomor 10 tahun 2016, dengan sustansi “Kepala Daerah yang dipilih berdasarkan hasil pemilihan umum tahun 2020 yang tidak mencalonkan diri lagi sebagai kepala daerah dan atau anggota legislatif dan atau anggota DPD masa jabatannya berakhir saat Pelantikan Kepala Daerah Hasil Pemilihan Umum Tahun 2024”. Atau
  2. Dengan menerbitkan Perpu merevisi ketentuan pasal 201 ayat 8 UU Nomor 10 Tahun 2016 merubah jadwal Pilkada dengan memajukannya ke Bulan September 2024, dengan disertai ketentuan “bahwa Jabatan Kepala Daerah hasil Pilkada Tahun 2020 akan berakhir sampai 31 Desember 2024 dan/atau sampai dilantiknya Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah hasil Pilkada Serentak 2024, dan/atau apabila terjadi perselisihan Hasil Pilkada yang diselesaikan lewat Mahkamah Konstitusi maka jabatan Kepala Daerah hasil Pilkada Tahun 2020 sampai dilantiknay kepala Daerah Baru hasil Pilkada Serentak Tahun 2024 tersebut. Atau
  3. Dengan menerbitkan Perpu melakukan revisi pada UU Nomor 10 Tahun 2016 dengan menegaskan pemberlakuan Undang-Undang Pemerintahan Daerah lebih bersifat khusus dari pada Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah”, sehingga masa jabatan kepala daerah harus ditafsirkan selama 5 tahun dan atau  sampai dilantiknya Kepala Daerah dari hasil pemilu 2024.

Banjarmasin, September 202

Terbaru

spot_img

Related Stories

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini