SCNEWS – Alkisah Henry Ford gelisah melihat banyak orang kehilangan pekerjaan dari bengkel kereta dan peternakan kuda saat industri otomotif mulai menggeliat.
Otomotif bisa menggantinya, namun untuk mengedukasi pasar dibutuhkan biaya besar. Pilihannya: beriklan atau mensubsidi harga.
Suasana bisnis awal abad 20 memang serba terbatas. Media massa untuk beriklan belum memadai, sementara produsen membuat hanya atas dasar pesanan (tailor-made). Akibatnya, pada tahun 1900 hanya sekitar 200 orang yang bisa punya mobil.
Bahkan sampai tahun 1909 hanya 2.000 unit. Jumlah ini tidak cukup untuk melahirkan industri-industri penopang dari kaca, dealership, sampai ke sektor konstruksi dan pembiayaan.
Industri ini baru berubah setelah Ford melakukan breakthrough dalam business model dan melakukan semacam taktik “ bakar uang” yang dikenal sebagai Model T.
Sebagian orang bilang, biaya itu dicapai berkat skala ekonomis dan standardisasi suku cadang. Tapi setelah saya baca-baca kembali, sambil tersenyum saya bisa mengatakan “Henry Ford juga bakar duit.” Hal ini karena factory demand selama 10 pertama belum mencapai skala ekonomis (Cristensen, 2019).
Jadi tatkala harga mobil pesanan 1.000 dollar AS, Model T Ford dimurahkan menjadi sekitar sepertiganya yakni 350 dollar AS per unit. Mirip antara persaingan taksi online vs taksi konvensional, bukan?
Demand terhadap mobil pun melonjak menjadi 2 jutaan, tapi itu baru terjadi 14 tahun kemudian, 1922. Jadi untuk menjadikannya industri yang menguntungkan memang butuh waktu yang panjang. Bahkan butuh 74 tahun (1982) untuk menjadikannya backbone perekonomian. Ketika satu dari enam orang di Amerika Serikat hidup dari sektor ini.
Lantas, mengapa sekarang orang mau serba instan dalam mendapatkan untung?
Duit Yang Dibakar Milik Mereka, kok Anda Yang Keberatan?
Saya sering berkelakar pada orang yang gemar menyebarluaskan berita tentang bisnis start up yang ada kata sensasinya, yaitu “bakar duit”. Kepanikan dibumbui kata seperti hati-hati, awas, jangan percaya, dan seterusnya. Padahal bisnis mereka bukan penipuan seperti yang dilakukan oleh First Travel atau Abu Tour.
Saya katakan, duitnya ya duit mereka, yang menikmati banyak orang, Kok anda yang repot? Saya malah sebaliknya.
Tengok saja siapa yang menerima manfaatnya: konsumen kini bisa menikmati akses keuangan, belanja jauh lebih murah dan mudah, ada diskon, bebas ongkir, pilihan lebih luas, dan yang bisa bekerja kini lebih banyak.
Lalu di abad 21 ini, uang yang dibakar bukan milik bank, juga bukan milik publik. Siapa yang dirugikan kalau laporan keuangan mereka selama beberapa tahun rugi? Apakah karena ulah mereka, uang anda di bank atau di pasar modal akan hilang? Ternyata tidak juga.
Sebagai catatan perlu diketahui juga bahwa bukan hanya start up seperti Google, Amazon, Uber, Grab, Gojek, Tokopedia yang menerapkan ilmu bakar duit. Kalau kita tengok ke belakang, ternyata juga bukan hanya Ford yang melakukannya.
Di sini, BCA pada masanya juga pernah bakar duit (lewat Gebyar BCA), minuman kesehatan Extra Joss, Aqua dan Le Minerale, Pantene dan Sunsilk, es krim Magnum, Luwak White Coffee dan Top Coffee atau Torabika, sampai kacang Dua Kelinci dan Garuda, semua pernah bakar duit. Hanya saja bentuknya berbeda. Mereka bakar duit melalui media promosi untuk mempercepat demand.
Yang tidak bakar duit itu mungkin cuma PT Dirgantara Indonesia, Rumah Makan Mbok Berek, Gado-Gado Boplo, Cwimi Malang, dan pabrik gula Colo Madu.
Tetapi tentu saja tak semua pengusaha atau brand harus bakar uang. Pertama, kalau market sudah terbentuk dan Anda sudah jadi pemimpin pasar. Buat apa bakar duit?
Kedua, kalau nafas tidak cukup panjang. Ketiga, timbang-timbanglah reaksi pelaku yang sudah menjadi pemimpin pasar. Kalau tak kuat, sekali dibalas dengan jab menohok, bisa langsung terkapar.
Dan keempat, lihat juga DNA perusahaan. Jangan dicampur aduk jika struktur, proses dan culture yang dibangun dalam tradisi heavy assets tak sesuai dengan business model yang basisnya adalah light assets.
Jadi dalam beberapa bisnis yang saya kelola, saya tak merasa perlu melakukan hal ini.
Beberapa waktu lalu, saat mendampingi sebuah start up yang akan pitching di Silicon Valley. Saya mengajukan pertanyaan sederhana tentang bagaimana mereka menentukan besarnya investasi.
Jawaban mereka sangat beragam. Mayoritas memang menjawab potensi efek jejaring yang dihasilkan (network effect).
Wajar, ini eranya teknologi informasi. Ibarat telepon, kalau hanya satu orang yang memiliki maka nilainya nol. Nah semakin besar yang sudah pegang aksesnya dan berada dalam jaringan itu, maka semakin besar pula nilai dan efek jejaringnya.
Lalu ada pula yang melihat growth, atau potensi untuk dijadikan ekosistem pada platform yang lebih besar (super apps).
Namun untuk mendapatkan itu semua, pemilik awal-lah yang paling banyak berkorban. Dengan masuknya investor baru, maka otomatis persediaan cash “untuk dibakar” tersedia, namun pemilik lama harus mengorbankan sahamnya yang terus terdilusi.
Kini misalnya, Jeff Bezos hanya punya 12 persen di Amazon, Jack Ma (Alibaba) 11,7 persen, dan Ren Zhengfei (Huawei) tinggal 1 persen. Hal serupa juga dialami hampir semua pendiri unicorn Indonesia.
Nafas Panjang Investor Amazon
Jadi sampai di sini mungkin ada nasehat yang bisa saya berikan. Pertama, kalau ada start up yang baru berumur dua atau lima tahun tapi masih rugi, hendaklah kita jangan langsung men-judge bisnisnya tak punya prospek. Anda harus melihat dulu bagaimana network effect-nya. Agar lebih jelas, mari kita simak sejenak perjalanan Amazon.
Perusahaan ini didirikan Jeff Bezos pada Juli 1994 dan baru bisa mencetak profit 35 juta dollar AS pada 2003. Setelah itu rugi lagi. Namun, pada triwulan IV 2017 Amazon meraih untung 1,86 miliar dollar AS.
Jadi, butuh 58 triwulan atau 14 tahun bagi Amazon untuk mencetak untung yang “lumayan besar.” Amazon yang dulu hanya dikenal sebagai pedagang buku online kini merambah kemana-mana, termasuk jasa keuangan dan cloud.
Tapi mereka toh masih gemar bakar duit sampai hari ini. Katanya untuk menciptakan masa depan baru memang harus begitu. Harus mengikuti irama pendapatan masyarakat.
Tapi kini Amazon menjadi platform yang membentuk standar. Pekan lalu, kapitalisasi pasar Amazon mencapai 892 miliar dollar AS. Menjadikannya perusahaan dengan market cap terbesar ke-4 di dunia setelah Apple, Microsoft, dan Alphabet (Google). Bahkan pada September 2019 lalu kapitalisasi pasarnya sempat tembus 1 triliun dollar AS.
Selanjutnya, yang dibakar adalah duitnya orang-orang kelebihan uang. Orang-orang yang kelebihan uang memang punya beragam motif, salah satunya ingin dilihat progresif.
Memang kadang mereka bisa salah dan kejeblos dalam presentasi yang meyakinkan. Ini antara lain dialami oleh keluarga Walton (pendiri Wallmart), Rupert Murdoch, dan keluarga DeVos yang menanam 600 juta dollar AS ke dalam Theranos yang kelak dikenal sebagai skandal Bad Blood. Hal yang sama juga dialami Masayoshi Son (Softbank).
Bagi orang-orang seperti itu, investasi adalah sebuah game dan mereka sendiri yang tahu di mana batas-batasnya. Sebab mereka memang tak pernah menaruh telur-telurnya di satu keranjang.
Beda dengan sebagian besar kita yang memiliki budget terbatas dan termehek-mehek kalau satu saja telurnya pecah. Sebab bagi kita telur itu adalah segala-galanya.
Lalu bagaimana dengan unicorn kita? Sama saja, itu bukan uang mereka, tapi saham mereka pasti terdilusi. Investasinya pun light assets. Jadi itu uangnya kalangan berduit yang sebagian besar datang dari luar negeri.
Saya malah membatin, sering-sering sajalah membakar uang di sini. Jadi nikmati sajalah.
Lagi pula setiap zaman selalu ada yang melakukannya.
Sumber : http://www.rumahperubahan.co.id/blog/2019/12/03/orang-berduit-bakar-uang/