SCNEWS.ID-Banjaarmasin. Sholawat bergumam dibibir Paman Dino yang asyik meracik kopi, kopi robusta single origin dari petani Mandiangin yang sudah diproses dalam bentuk biji dengan tingkat sangrai 90 % seberat 20 gram dihaluskan pada blender kopi, kemudian ditempatkan pada filter kopi sambil memanaskan air 80 derajat Celsius. Sholawat tarus bergumam saat air mulai dituangkan secara pelan dan memutar persis putaran tawaf di Baitullah, yang akhirnya jadilah segelas kopi, untuk memenuhi orderan pelanggannya yang datang di sore itu.
Saking asyiknya Paman Dino meracik kopi tersebut, sesekilas sempat memperhatikan sang pemesan kopi seorang gadis remaja puteri duduk disudut warungnya dengan pandangan dan tatapan kosong ke arah sekitar pegunungan di warung itu, tatapannya hampa, matanya basah, terlihat jelas bekas menangis, tangannya berpangku di dagu dan sesekali mengusap matanya dengan tisue serta menghela nafas Panjang dengan posisi duduk agak merunduk.
“Nak ini kopi pesanannya” kata Paman Dino yang mengagetkan lamunan gadis remaja tersebut, “ini gulanya kalau mau rasanya manis, atau minum tanpa gula, pahit sih tapi menyehatkan” kata Paman Dino, “mana enaknya paman, yang manis atau yang pahit”, tanya gadis itu, “akh itu sih soal selera nak, kalau Paman sih sukanya yang pahit, karena itulah rasa kopi yang sesungguhnya, tapi ada banyak orang kurang suka dengan yang pahit dan menambahkan pemanis pada kopi tersebut, sehingga rasa yang pahit itupun berubah menjadi kopi rasa manis”.
“Oh gitu ya Paman, gini aja karena kebetulan saya lagi sangat sedih, maka saya minta Paman aja yang memutuskan apakah mau dikasih gula atau tidak, saat ini bagiku sama saja rasanya, saat sedih seperti ini lidah saya seolah mati rasa, sehingga tidak bisa lagi membedakan rasa pahit atau rasa manis cetus gadis ini”. Kalau begitu coba sesekali minum yang tanpa gula ya Nak”, kata Paman Dino sambil tersenyum.
Sore Jumat pada itu suasana warung kopi Paman Dino memang tidak begitu rame, karena tempatnya yang berada di Kawasan wisata perbukitan anak gunung Meratus ini, hanya rame pada hari sabtu dan minggu atau pada hari libur. Tempat wisata alam ini menjadi salah satu tujuan wisata warga masyarakat Kalimantan Selatan untuk mengisi hari libur, terlebih di masa pandemic covid 19 ini, karena pilihan berlibur ke alam terbuka yang udaranya segar dinilai lebih tepat untuk menghindari penularan virus yang masih kontroversi ini. Oleh karena itulah sore Jumat ini hanya terlihat beberapa orang anak muda yang lagi nongkrong di warung Paman Dino.
“Paman, duduklah di kursi dekat meja saya ini temani saya ngobrol, mau kan Paman ?” kata gadis remaja ini, sejenak Paman Dino memperhatikan disekitar kalau ada tamu yang akan datang lagi ke warung kopinya, akan tetapi melihat keadaan yang tidak begitu rame, paman langsung menjawab “ok lah nak, apa tidak salah kalau ditemani Paman yang tua ini, mestinyakan ditemani anak muda seperti yang di meja sebelah kiri itu”, celetuk Paman. Dengan tersipu malu gadis itu berkata “justeru saya pingen orang setua Pamanlah yang menemani, karena ada yang saya ingin saya curhat ke Paman tentang masalah yang saya hadapi”.
Gadis remaja ini sebagaimana remaja puteri lainnya, usianya sekitar 20 tahun berperawakan langsing, berkulit putih, pakai celana jeans yang sedikit agak robek dibagian lututnya dibalut dengan kombinasi kaos warna kuning muda lengan panjang terlihat pas ditubuhnya, rambutnya tertutup jilbab dengan muka yang oval, terdapat dua tahi lalat di dagu dan pipinya, bulu matanya tidak terlalu Panjang dan matanya agak sipit tapi saat menatap terlihat jelas bolamatanya yang tajam, dilihat dari cara berbicara dan gesturnya, anak gadis ini termasuk yang sangat sopan berbicara dengan orang yang lebih tua darinya.
“Namaku Santi” kata anak gadis ini, “kebetulan tadi saya melihat warung Paman yang bersih dan rapi serta disekitarnya nampak pemandangan alami, hal ini memancing saya untuk singgah nongkrong disini”, “Paman pemilik warung ini ya”, katanya. “ya nak ini punya paman”, dan kok Nak Santi sendirian, mana temannya ?” anak gais ini terlihat muram mendengar pertanyaan balik ini. “Paman disamping sebagai pemilik warung kopi, tapi juga merangkap sebagai pembuat kopinya, yang kata anak muda sekarang disebut “Barista”, “ya Barista tua gitu ya Paman”, goda Santi pada Paman Dino sambil tersenyum alami yang otomatis keluar ditengah kesedihan hatinya.
“Tapi ok juga lho paman rasa kopinya, saya memang tidak begitu ahli dengan kopi, tapi ini kopi termasuk kopi ter-enak yang pernah saya minum”, kata gadis ini. “Paman sih bukan ahli-ahli banget gitu meracik kopi, tapi pernah diajari sahabat yang ahli kopi dan kemudian bermula dari hobby aja paman menjadi “tukang kopi”, hitung-hitung untuk mengisi hari tua agar tetap produktif”. “Disamping itu bagi Paman menjadi barista tua ini adalah mencoba menjalani dan merasakan kehidupan dengan melepaskan semua “embel-embel” dunia yang pernah paman raih yang dulunya memang paman kejar dalam kehidupan ini”. “Dan pada saat menjadi “tukang kopi inilah, Paman banyak melihat dan belajar hikmah kehidupan bagaimana orang memperlakukan kita sebagai “orang biasa” dan “apa adanya””. “Nah ini dia”, kata sang gadis, “berarti cocok aku ngobrol dengan Paman, karena aku lagi dirundung masalah besar dalam hidupku, saking sedihnya aku, sehingga pergi hari ini tanpa tujuan, namun kaki ternyata membawa saya ke warung Paman di Kawasan wisata alam ini”.
“Begini paman”, kata sang gadis memulai pembicaraan agak serius sambal menarik nafas dan membetulkan duduknya yang tadi tertunduk lesu. “Kalau Paman jadi saya apa yang harus Paman lakukan kalau tiba-tiba kekasih memutuskan cintanya ?” Santi terdiam sejenak, “padahal aku sangat sayang kepadanya dan berharap dialah pendamping hidup saya nantinya”, “jujur saat aku ketemu dengan dia, aku langsung jatuh cinta”, artinya saat tatapan pertama lelaki ini kepadaku telah “menggores kalbuku” ada semacam getaran dihatiku”, “wajahnya yang serius dan sikapnya yang energik”, “pandai mengibur dan homuris”, “dan diapun termasuk Mahasiswa yang cerdas di kampusku”, “hubungan kami sudah berlangsung kurang lebih satu tahun dan banyak kenangan dan kegembiraan kami lalui”. Santi kemudian membetulkan jilbabnya yang akak terturun dan berkata lagi “Paman ! bak petir di siang bolong tiba-tiba dua hari yang lalu dia mengirim pesan lewat jaringan WA menyatakan “kita putus”…… (bersambung)