SUJUD SYUKUR KEMENANGAN HASIL PEMILU ???
Oleh: Noorhalis Majid
SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Seorang awam bertanya kepada ustaz, bagaimana bila ada caleg melakukan sujud syukur atas kemenangan yang sudah diraih, sementara diduga bahwa kemenangan tersebut dicapai atau diperoleh dengan cara yang curang. Kemenangan seperti melalui proses money politik, pencurian dan penggelembungan suara. Kemenangan melalui pengkondisian situasi, dengan melibatkan penyelenggara, petugas dan semua yang dapat mengkondisikan keadaan, pendek kata diraih dengan cara yang dapat dikualifikasi sebagai sesuatu yang tidak halal ?.
Sang ustaz tersenyum mendengar pertanyaan dengan nada penuh gugatan, dan dengan arif mengatakan, “setiap kita akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dilakukan”.
Fenomena sujud syukur atas kemenangan adalah lumrah, akan tetapi kalau kemenangan itu didapatkan dengan cara yang tidak halal, memang sangat membingungkan awam. Seperti koruptor yang merasa mendapat rezeki halal atas kekayaan yang ditumpuknya, lantas mengucapkan alhamdulillah berulang kali, padahal tahu didapatkan dengan cara yang tidak halal.
Pun nanti ketika perolehan suara pemilu ditentukan, dan para pemenangan diumumkan, semua yang menang kemungkinan akan sujud syukur, sedangkan diketahui ada diantaranya menang dengan cara yang tidak halal, seperti menggunakan uang dan “main kayu”. Sehingga kemenangannya tersebut telah menzolimi pihak lain yang ikut Pemilu secara jujur dan bersih serta tidak melakukan cara-cara yang tidak dibenarkan oleh ajaran agama dan hukum nasonal.
Terasa “ironi” kalau para pemenang dengan cara yang tidak halal tersebut melakukan Sujud syukur disertai pesta dengan mengundang khalayak umum digelar, lantas meminta doa agar amanah, serta dapat menunaikan tugas-tugas yang sudah dimandatkan.
Dalam kehidupan ini, politik, kekuasaan dan agama, yang semestinya saling memberikan tatanan nilai nilai perilaku ideal, akan tetapi sering kali adanya saling mempolitisasi, dan membungkus antara yang satu dengan yang lainnya, sehingga mengaburkan adanya proses yang tidak benar.
Kita perhatikan ada kalanya suatu waktu politik dan kekuasaan dibungkus dengan agama. Dan pada waktu yang lain, agama dibungkus oleh politik dan kekuasaan. Perlu kejernihan dan ketenangan untuk melihatnya, karena tidak dapat dibaca hanya dari permukaan saja, perlu diselami dengan segenap perenungan untuk melihat yang substansial dan bukan di luarnya saja.
“Kalau bukan sujud syukur, lantas apa mestinya ustaz?”, tanya awam masih penasaran. Sang ustaz menjawab dengan nada tenang, “istigfar dan mohon petunjuk”. (nm)