SCNEW.ID-Banjarmasin. Kata “putus” itulah ternyata yang membuat Santi ini merasa sangat sedih dan seolah-olah hidup tidak bergairah. Paman Dono termenung sebentar mencerna kata putus ini, iya sih kata putus ini adalah kata yang tidak diharapkan keluar dari mulut seseorang yang lagi menjalin asmara, apalagi kata ini keluar dari seseorang yang sangat kita cintai, namun sebenarnya kata putus ini juga menjadi lonceng keras pertanda keretakan dalam hubungan sosial apapun, seperti putus hubungan bisnis, putus pertemanan atau persahabatan serta putus kekeluargaan, dan yang paling parah adalah putusnya silaturahmi yang mestinya tetap terjalin sebagai suatu “human relationship”.
Begitulah yang terjadi pada Santi seorang gadis remaja yang sedang menjalin asmara dengan seorang pria idamannya, maka kata “putus” adalah pertanda “tragedy kehancuran” kasih sayang yang selama ini dibangunnya, dan sebagaimana percintaan remaja, putus cinta ini hampIr selalu akan diikuti oleh putusnya silaturahmi, tidak saling sapa, atau bahkan cinta itu berubah menjadi “benci”, sehingga berkomunikasipun sudah tidak mau lagi, ada ungkapan “beda beda tipis antara cinta dan benci”. Bahkan secara psikologis semakin besar dan dalam cinta itu, maka apabila putus menjadi semakin besar dan dalam pula kebenciannya, dengan kata lain antara cinta dan benci itu berbanding lurus.
“Lah kenapa bisa sampai diputus kekasihnya”, kata paman sambil memandang tajam ke Santi yang jadi tertunduk malu. “Aku nih Paman juga tidak tahu persis apa yang menjadi penyebabnya, tapi dari berbagai sumber yang menginformasikan ke saya, dia telah menemukan gadis lain yang lebih segalanya dari saya dan gadis itu masih ada hubungan persahabatan dengan orang tuanya”, jawab Santi ringkas”. “Oh ya Paman, nama kekasih saya tersebut Hendra yang sekarang sudah duduk di Smester 7 dan sesaat lagi akan menyelesaikan program Strata1 dibidang hukum”, katanya setelah lulus S1 ia akan melanjutkan ke Perguruan Tinggi di Luar Negeri”. Kembali Santi terdiam dan tangannya meraih tisue yang ada di meja lalu mengusapkan ke pipinya yang basah dari aliran tetesan airmatanya yang lembab sayu akibat menangis.
Hendra bukanlah sosok sembarangan orang, karena ia terlahir dari keluarga seorang Pejabat BUMN dan sangat dikenal di Kampusnya, berperawakan body atletis, berpakaian selalu rapi dengan trend casual, punya rambut berombak walaupun tidak terlalu Panjang, dengan wajah yang terawat dan kepandaiannya berbicara di depan umum, berdebat dan bercengkarama adalah menjadi magnet kepribadian yang sering menjadi daya Tarik tersendiri bagi para mahasiswi di Kampus. Datang ke Kampus pakai Mobil Sporty merek terkenal, atau terkadang bawa Moge, pembawaannya yang ceria dan menjadi anak gaul, yang terkadang apapun keinginannya mesti terpenuhi, sehingga jadilah ia sosok anak muda yang banyak di incar mahasiswi di Kampus tersebut.
Dengan penuh kebapaan, Paman Dino pun kemudian mulai bertanya, “Nak Santi menurut Nak Santi adakah kira-kira kesalahan dari Nak Santi yang membuat Hendra marah ?”, “rasanya tidak ada Paman”, “bahkan saya terus mencoba introspeksi diri pada jalinan asmara kami selama ini”, “saya tidak menemukan hal yang prinsip dari saya yang bisa memicu kemarahannya”. “Coba deh Nak Santi ceritakan sedikit aja ke Paman tentang adakah hal-hal kecil yang bisa membuat Hendra ngambek” ? “Begini ya Paman, saya punya orang tua yang ketat mengawasi anaknya, sehingga kalau Hendra mengajak pergi nonton atau nongkrong pada malam hari, saya mesti minta ijin dulu ke orang tua dan sering tidak diijinkan, dan saat mendengar tidak diijinkan tersebut terlihat “raut muka” yang kurang senang”. “Begitu juga saat berjalan dengan saya, Hendra sering mau memegang tangan saya, akan tetapi saya tolak, karena kami bukan muhrim dan hal ini juga diingatkan atau dipesani oleh orang tua saya, agar tetap bisa menjaga diri dan kehormatan seorang gadis”.
“Pernah suatu hari Hendra mengajak nonton konser music band popular tanah air, dan mengajak saya ikut nonton konser itu, tiketnya juga sudah dibelinya, akan tetapi saat saya minta ijin ke orang tua saya, ibu mengijinkan tapi ayah saya tidak mengijinkan”, “lebih baik kamu membaca buku” untuk materi perkuliahan besok dari pada nonton konser itu, kata ayah saya” dan kata ayah lagi “lagian ayah tidak suka kamu keluar malam dan bertemu banyak orang yang sangat beragam latar kehidupannya, ayah takut kalau terjadi apa-apa dengan acara konser itu, “kata ayah””. “Tentu saya tidak tega paman melawan larangan ayah tersebut, apalagi beliau berkata, kalaupun saya pergi juga, maka ayah tidak bisa tidur sampai nanti kamu datang, karena ayah sangat khawatir”.
Paman memperhatikan cerita Santi ini, perlahan menarik nafas dan mencoba mencerna apa yang yang telah disampaikannya, terdapat fakta orang tua laki-laki yang sangat menyayangi anak perempuannya dan umumnya kalau ada anak perempuan, maka sang ayah lebih bersifat “protek” terhadap anak gadisnya. Dan ini sebagai suatu kewajaran ditengah-tengah pergaulan masyarakat sekarang yang digempur oleh arus modernisasi dan teknologi informasi yang menjadikan tatanan nilai pergaulan dikalangan anak muda bisa menjadi sangat bebas dan tak terkendali. Hal ini tentu saja menjadi kekawatiran orang tua yang lahir digenerasi X sementara anaknya lahir pada generasi Z, terdapat perbedaan dalam menilai tatanan kehidupan. Ada semacam dilema, satu sisi “mana ada orang tua” yang tidak menyayangi anaknya, lebih-lebih anak perempuan, sehingga harus melindungi dan menjaganya dengan ketat, tetapi disisi lain memberikan kebebasan dan kepercayaan anak di masa sekarang juga menjadi keharusan untuk kemandiriannya.
“Paman! Kok malah melamun” sentak Santi yang menyadarkan Paman dalam lamunannya tersebut, “oh iya Nak Santi…” belum selesai Paman berbicara terdengar suara klakson mobil di luar warung dan terlihat serombongan anak muda melambaikan tangan ke Santi dan berteriak we are coming ……” (bersambung)