PROBLEMATIK AMICUS CURIAE “ANTARA STRATEGI BERPERKARA ATAU SAHABAT DALAM MENEGAKAN KEADILAN ?”

PROBLEMATIK AMICUS CURIAE “ANTARA STRATEGI BERPERKARA ATAU SAHABAT DALAM MENEGAKAN KEADILAN ?”

Oleh : Syaifudin*

SCNEWS.ID – BANJARMASIN. Memperhatikan “gejolak” menanti Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Sengketa Pilpres Pemilu 2024 yang diagendakan akan dibacakan pada Senin Tanggal 22 April 2024, telah membawa ingatan saya sewaktu mengikuti Kuliah di Program Pascasarjana Unair tentang apa yang disampaikan oleh Prof. Philipus M Hadjon saat membahas ilmu hukum normative dan ilmu hukum empiris, salah satu bahasannya adalah tentang “law in society” yang menjadi bagian dari kajian ilmu hukum empiris (sosiologi hukum, antropologi hukum, psikologi hukum, sejarah hukum dan perbandingan hukum). Untuk memahami apa yang disebut “law in society ini beliau memberikan sebuah contoh kasus yang disebut “baby jessica case” yang menggambarkan bagaimana Proses “PETARUNGAN HAK ASUH” peradilan di Amerika dalam mendapatkan kembali “pengasuhan anak” yang telah diadopsi oleh keluarga lain, dengan menunjukan perubahan perilaku orang tua yang bertanggungjawab dengan mengawini secara resmi ibu sang bayi dan perilaku positif lainnya, selama proses peradilan berlangsung. Tujuan perubahan perilaku Penggugat (Sang Ayah Asli) bayi (baby Jesica) ini agar Pengadilan dalam hal ini “Hakim” yang mengadili terpengaruh oleh perubahan perilakunya sehingga pengadilan memenuhi tuntutannya untuk mendapatkan kembali Baby Jesica yang sudah diadopsi oleh keluarga lain tersebut.

Diceritakan dalam kasus ini Pengadilan akhirnya memutuskan mengabulkan permintaan sang ayah asli, karena argumentasi hukum yang dibangun oleh pengacara keluarga yang mengadopsi bahwa ayah asli bayi itu “mempunyai perilaku yang tidak baik dan tidak pantas memelihara Baby Jesica” telah gugur dengan berbagai peristewa di luar pengadilan saat perkara ini berlangsung.

Kasus Baby Jesica ini menunjukan bahwa dalam kajian “law in society” ada saling pengaruh mempengaruhi antara hukum dan masyarakat atau pengaruh masyarakat terhadap proses hukum di pengadilan, yang istilahnya Prof.Sajtiopto Rahardjo, bahwa hakim itu adalah manusia yang juga dalam memutuskan suatu perkara berpegang pada perundang-undangan akan tetapi sekaligus fikirannya dipengaruhi oleh sejumlah variable di luar non hukum.

Beranjak dari hal inilah saya melihat apa yang disebut amicus curiae (sahabat pengadilan) sebagaimana yang ditulis di scnews.id tanggal 4 April 2024 oleh Kolega Robensjah Sjachran dan adanya amicus curia dari sebagian akademisi, Megawati dan Indonesian-American Lawyer’s Association (IALA) dalam penganan perkara perselisihan Pemilu Presiden 2024 yang bergulir di Mahkamah Konstitusi ini menjadi menarik untuk kita simak, terlebih Lembaga amicus curiae lahir dan berkembang dalam tradisi hukum di Anglo America yang berbasis “judge made law”.

Dalam pandangan seorang lawyer atau professional hukum yang menangani perkara, amicus curiae lebih dilihat sebagai strategi untuk “memenangkan perkara” karena basis teorinya ada pada kajian “law in society” seperti yang saya sebutkan di atas, oleh karena itu  amicus curiae berusaha mempengaruhi pengadilan (hakim) untuk memenangkan tuntutannya, karena diluar pengadilan ada kejadian-kejadia atau pendapat pendapat yang mendukung tuntutan tersebut untuk dikabulkan, sehingga nilai-nilai yang diperjuangkan mendapatkan dasar pembenar dari realitas social. Bahwa dalam hal ini pengadilan atau hakim mesti mendengarkan dan mempertimbangkan kejadian-kejadian si masyarakat.

Sebenarnya dalam system pengadilan di Negara kita, ada atau tidak amicus curiae ini, Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman (Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009) dalam pasal 5 ayat (1) sudah mengamahkan bahwa sebelum memutus suatu perkara “Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Ketentuan ini adalah dalam kerangka usaha memenuhi keadilan yang bersifat substantive. Akan tetapi yang perlu dicatat dalam penggalian nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat tersebut bersifat “holistic” yaitu dengan mempertimbangkan nilai-nilai keadilan bagi semua kelompok masyarakat dalam struktur social masyarakat hal ini dikarenakan dampak dari putusan yang terkait dengan Putusan Mahkamah Konstitusi akan “terkena” pada seluruh Rakyat Indonesia, sehingga pengadilan atau hakim tidak boleh terjebak oleh pemahaman sebagian nilai-nilai yang dianggap hidup dalam  masyarakat. Dan hal ini agak berbeda dengan system Anglo Amerika dimana putusan Pengadilan terlebih dahulu hanya mengkikat atau berlaku kepada Pihak Yang Berperkara.

Adanya kewajiban hakim dalam menggali nilai-nilai yang hidup di masyarakat ini telah dibekali pula dengan prinsip kebebasan hakim dalam memutus suatu perkara, yang secara normative  kebebasan ini akan membebaskannya dari pengaruh atau intervensi dari pihak manapun juga dalam memutus suatu perkara. Posisi hakim dalam posisi “mewakili” Tuhan dalam menegakan keadilan pada semua masyarakat.

Secara sederhana keberadaan amicus curiae ini lebih kepada upaya membantu Hakim (Pengadilan) untuk mempertimbangkan keadilan bagi semua pihak, akan tetapi tidak bersifat “memaksa” atau “menekan” hakim untuk mengabulkan apa yang diminta oleh amicus curiae tersebut, karena kristalisasi nilai-nilai keadilan di masyarakat, sudah berada dalam genggaman hakim baik itu dalam prinsip “justice is done” (keadilan yang sudah ditetapkan dalam undang-undang oleh pembentuk undang-undang) ataupun juga hasil penggaliannya terhadap nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

Dalam pandangan saya, manakala amicus curiae ini dipertimbangkan oleh Hakim dalam putusannya, maka proses peradilan berikutnya akan ada banyak pihak yang masuk sebagai amicus curiae dengan membawa kebenaran dan keadilan yang berbeda pada masing-masing perorangan atau kelompok masyarakat, sehingga justeru akan membuat “kehebohan” tersendiri dalam proses peradilan di Indonesia yang akan dihadang oleh adanya demonstrasi pro dan kontra.

Oleh karena itu saya tetap berpegang dalam kajian ilmu hukum empiris, sebaiknya usaha mempengaruhi ini mestinya tetap ditempatkan berada di luar pengadilan, dan yakinlah semua berita dan pendapat atau kejadian di luar pengadilan akan menjadi pertimbangan hakim sebagai seorang manusia yang mempunyai dua sisi, yaitu sisi manusia bebas dan sisi manusia yang terikat dengan masyarakatnya, ingatlah pengadilan atau hakim itu sosok yang independen dan sekaligus dependen.

*Founder Jurist Solution

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini