
KOPLAK BERHARI RAYA
Oleh : IBG Dharma Putra
SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Di keseharian Si Koplak, kembali muncul sebuah paradoks, yang mengusik hatinya, tepat pada inti nurani, dari gembiranya perayaan Hari Raya Idul Fitri tercampur Hari Raya Nyepi, yang tidak hendak bersuara. Menginspirasi tentang hening yang wajib ada, menemani kegembiraan, walau hanya sekilas saja.
Si Koplak paling suka berada di tengah pusaran paradoks. Bergulat mesra sampai mengerti dan bahkan terinspirasi oleh paradoksnya, sehingga menjadi semakin koplak saja.Sekali koplak tetap koplak dan otak koplak sekaligus membuatnya lebih cepat menemukan perlunya suasana sepi ditengah bisingnya kemenangan.
Keseharian Si Koplak, yang selalu diwarnai oleh dering denting media sosial, berbentuk pesan, iklan, informasi atau berita, menjadikan hening sebagai barang langka, budaya sangat purba, tenggelam dalam dominasi bicara, tentang apa saja, dimana saja, kapan saja dan oleh siapa saja. Tak bicara bisa berarti ketinggalan era.
Berbicara seolah budaya, tetapi tidak jarang timbulkan hampa, hanya bicara tanpa makna, membuat hampa yang tidak bahagia. Bicara, hampa, tanpa makna dan tidak bahagia adalah kumpulan kata, yang menstimulasi otak koplak pada sebuah tanya, bicara sebagai budaya atau tidak budaya.
Pertanyaan utopis cenderung membuat pusing, titik tidak terjawab, noktah misteri, ruang hampa yang menyelipkan pesan bahwa kebisingan itu, perlu, hening juga begitu. Bising adalah proses untuk maju dan hening adakah jeda introspeksi, agar maju bertemu keberuntungan. Kombinasi keduanya adalah bahagia.
Si Koplak, sangat sadar diri, sebagai penghuni bumi, kupingnya hanya mendengar suara bumi, serta belum pernah menjumpai benda angkasa lain, apalagi mendengar bunyinya, misteri yang tak didengarnya disimpulkan sebagai hening, sekaligus membuat simpulan bahwa planet terbising di tata surya adalah bumi.
Mungkin bukan terbising tetapi kenyataannya, bumi memang bising oleh perdebatan benar dan salah dari orang yang merasa paling tahu tentang semesta yang sebenarnya tidak pernah dilihat dan tak mungkin dipahaminya. Bising tanpa jeda berpotensi sampai ke ujung lelah dan akhirnya menghancurkan, mematikan.
Kesibukan berproses dalam kebisingan ataupun menghindarinya sekaligus kesibukan mencari keheningan, membuat tidak sempat melakukan pencermatan lebih dalam, ternyata ditemukan keberadaan keheningan pada setiap kebisingan dan sebaliknya ditemukan kebisingan dalam keheningan. Bising dan hening seolah harmoni yang saling melengkapi.
Hari Lebaran dan Hari Nyepi, memberi inspirasi tentang harmoni, bahwa hidup tak murni benar karena berisi salah, tak murni baik karena berisi buruk. Kehidupan yang sempurna, berisi semua warna, seperti cahaya yang memerlukan gelap untuk terlihat terang. Semua manusia sama saja sehingga jangan mudah menghakimi. Si koplak mengerti, memahami karena mengalami.