TERGIRING OLEH FIKIRAN KITA SENDIRI (SERI SECANGKIR KOPI SERIBU INSPIRASI)

TERGIRING OLEH FIKIRAN KITA SENDIRI

Oleh : Syaifudin

SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Di era peradaban digital mempunyai karakteristik dan tatanan kehidupan yang berbeda dengan era sebelumnya, segala aktivitas dalam dunia digital akan terekam jejaknya dan akan dikembalikan kekita dengan “aliran” yang sama dengan apa yang kita lakukan dalam aktivitas tersebut. Sementara aktivitas kita tersebut telah didasari atau dimotivasi oleh pemikiran tertentu yang kita “anggap” baik, kita anggap benar dan kita anggap paling tepat, sehingga “gempuran” arus balik berupa dukungan terhadap apa yang kita fikirkan terus terjadi dengan kuantitas yang semakin besar. Inilah yang disebut algoritme yang menjadikan diri kita atau fikiran kita telah menandai dirinya sendiri sebagai “ciri” untuk terus dipengaruhi dan mempengaruhi dengan membentuk bola salju yang semakin besar dan semakin membesar.

Silahkan  periksa aktivitas di media social yang dilakukan, apa yang kita klik (buka), baik itu dibaca atau ditonton sebagian atau seluruhnya, dikomentari atau juga di bagikan lagi ke pengguna media social lain, baik itu yang sama flatformya atau yang berbeda flatformnya, maka akan terlihat konten konten yang masuk ke media social kita mempunyai karakteristik kesamaan bentuk dan atau substansinya, sehingga kita telah berada dalam “masyarakat jaringan” dengan kelompok masyarakat jaringan tertentu yang mempunyai kesamaan aktivitas, pandangan dan atau pemikiran, yang sadar atau tidak sadar telah membentuk “sub culture” tersendiri yang memisah dengan tatanan nilai umum dalam kehidupan masyarakat jaringan yang bersifat “general culture”.

Dampaknya pada diri kita tergiring pada suatu keyakinan kebenaran yang tunggal atau sedikit dibandingkan dengan nilai nilai kebenaran yang begitu luasnya. Ada istilah kita terjebak pada satu mashlahat yang kita anggap “gagal” atau “tidak baik”, dengan melupakan atau mengenyampingkan ada banyak mshlahat lainnya yang juga sama pentingnya atau bahkan lebih penting eksistensinya dalam kehidupan masyarakat kita.

Kebenaran diukur dari parameter nilai-nilai kelompok algoritma (sub culture), dengan mengenyamping kebenaran objektif yang berada dalam nilai-nilai masyarakat umum, bahkan yang lebih parah telah menampikkan kebenaran lainnya, sementara ia sendiri sibuk mencari pendukung untuk melegitimasi kebenerannya tersebut, sehingga “like” dan “share” menjadi himbauan atas apa yang diyakininya tersebut.

Inilah dunia dengan perdaban digitalnya layaknya “bebek” yang menggiring sekaligus tergiring untuk mengikuti arus algoritme, tanpa melihat kanan dan kiri lagi terus berjalan mebgikuti arusnya dengan keyakinan inilah “jalan” yang paling benar dan paling paling lainnya, sehingga orang bukan berada pada jalur jalan ini kita anggap “salah”. Ada hal atau masalah besar kita anggap kecil dan masalah kecil kita anggap besar, mata fikiran kita tertutup oleh kerjaan perekayasa arus algoritme yang “bermain” untuk merasuki fikiran dan kegiatan  serta sikap kita.

Diperadaban digital inilah, berfikir “wisdom” mendapatkan tempat untuk kita lebih “bijak” dalam berfikir, bersikap dan bertindak, dengan cara sesekali kita rehatkan fikiran kita untuk proses penjernihan dari algoritme digital dengan merenung (reflektif) pada fikiran yang holistic (menyeluruh dan utuh) sembari menyadari realitas hidup dan realitas kebenaran yang sangat beragam dalam melihat dan memandang sesuatu.

Lebih dalam lagi kalau kita bisa merenungkan semua aspek kehidupan ini adalah berasal dari Yang Maha Kuasa, beproses dan berjalan bersamaNya dan semua akan kembali kepadaNya.

Oleh karena itu saat kita dapat dan terinspirasi untuk berfikr “wisdom”, itu adalah dariNya sebagai anugerah untuk kehidupan kita, jadi bersyukurlah.

Salam secangkir kopi seribu inspirasi.

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini