BABAK AKHIR PELAJARAN PILKADA KOTA BANJARBARU

BABAK AKHIR PELAJARAN PILKADA KOTA BANJARBARU

Oleh : Syaifudin

(Ketua Litbang Dutatv & Dutatv.com)

Pengantar

Sebagaimana diketahui Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan dengan menyatakan tidak dapat menerima permohonan sengketa hasil pemungutan suara ulang (PSU) Pilkada Kota Banjarbaru Tahun 2024 yang diajukan pemantau pilkada Lembaga Pengawasan Reformasi Indonesia (LPRI) dan Udiansyah, sebagaimana yang termuat dalam Putusan Nomor 318/PHPU.WAKO-XXIII/2025 dan 319/PHPU.WAKO-XXIII/2025 di MK RI. Adapun Perkara Nomor 318 diajukan LPRI yang dalam hal ini diwakili oleh Syarifah Hayana selaku Ketua LPRI Kalimantan Selatan, sementara Perkara Nomor 319 diajukan oleh Udiansyah yang merupakan warga Kota Banjarbaru yang terdaftar sebagai pemilih dalam Pilkada Kota Banjarbaru 2024. Adapun yang menjadi dalil gugatan pemohon (penggugat) adalah tuduhan kepada Calon Tunggal Erna Lisa Halaby dan Wartono telah melakukan  pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) dalam tahapan PSU pilkada Kota Banjarbaru.

Para pemohon mendalilkan  telah terjadi pelanggaran TSM yang dilakukan Lisa-Wartono dalam bentuk “duitokrasi”, politik uang di semua wilayah PSU, dan juga terdapat ketidaknetralan aparatur negara, adanya intimidasi, juga  ketidakprofesionalan KPU yang tidak mensosialisasikan ke pemilih, disamping itu adanya perbedaan daftar pemilih tetap (DPT). Namun Dalil dan bukti yang diajukan tersebut, oleh MK dinilai dapat dibuktikan kebenarannya.

Hakim konstitusi berpendapat bahwa alat bukti yang diajukan oleh para pemohon berupa buku, artikel, berita, hingga tangkapan layar komentar warga di media sosial itu belum atau tidak cukup meyakinkan untuk mengkualifikasi adanya pelanggaran TSM dalam pelaksanaan PSU Pilkada Kota Banjarbaru 2024 tersebut.

Begitu pula  alat bukti berupa surat pernyataan tidak cukup meyakinkan untuk menunjukan adanya praktik politik uang dengan melibatkan aparat RT/RW. Terlebih, dari sejumlah surat pernyataan yang diajukan, terdapat pernyataan yang didapatkan dari pihak lain alih-alih peristiwa yang disaksikan sendiri oleh pembuat pernyataan. Di samping itu, dalil ketidaknetralan aparatur negara yang dibuktikan dengan video yang bersumber dari media sosial tidak pula dapat dipastikan kebenarannya secara meyakinkan. Begitu pula  terkait dalil intimidasi, Hakim MK menilai pencabutan akreditasi kepada LPRI selaku lembaga pemantau pemilihan tidak dapat serta-merta diartikan sebagai bentuk intimidasi. Sebab, hal itu merupakan proses hukum yang menjadi kewenangan Bawaslu dan KPU.

Ringkasnya menurut Hakim MK “Bukti video tersebut maupun uraian dalam permohonan tidak dapat menerangkan secara jelas dan lengkap peristiwa hukum yang didalilkan oleh Pemohon”.

PSU Sebagai Babak Ke-Dua Persengketaan Pilkada di Kota Banjar Baru.

Pada gugatan babak Pertama MK (24 Pebruari 2025)  telah “Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian,” pada sidang putusan perselisihan hasil pilkada perkara 05/PHPU.BUP-XXIII/2024. Yaitu  “Memerintahkan Komisi Pemilihan Umum Kota Banjarbaru untuk melaksanakan pemungutan suara ulang pada setiap Tempat Pemungutan Suara dalam Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Banjarbaru Tahun 2024 dengan mendasarkan pada Daftar Pemilih tetap, Daftar Pemilih Pindahan dan Daftar Pemilih Tambahan yang sama dengan pemungutan suara pada tanggal 27 November 2024 untuk Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Banjarbaru Tahun 2024 dengan menggunakan surat suara yang memuat dua kolom yang terdiri atas satu kolom yang mencantumkan Pasangan Calon Nomor Urut 1 Hj Erna Lisa Halaby dan Wartono dan satu kolom kosong yang tidak bergambar,” dan PSU digelar dengan menggunakan surat suara bergambar pasangan calon nomor urut 1 Erma Lisa Halaby dan Wartono melawan kolom atau kotak kosong. PSU harus dilaksanakan dalam rentang waktu 60 hari sejak putusan dibacakan.

Putusan tersebut didasarkan pada sejumlah pertimbangan yang intinya pemungutan suara yang dilakukan di Banjarbaru dengan menggunakan surat suara yang masih terdapat gambar pasangan calon nomor urut 2 Muhammad Aditya Mufti Ariffin dan Said Abdullah bertentangan dengan mekanisme pemilihan satu pasangan calon. Dan mestinya pemilu digelar dengan mekanisme “kotak Kosong” sebagaimana yang diatur atau diterapkan Pasal 54C ayat (1) huruf e UU 10/2016 yang pada pokoknya menyatakan salah satu kondisi dilaksanakannya Pemilihan dengan satu pasangan adalah apabila terdapat pasangan calon yang dikenakan sanksi pembatalan sebagai peserta Pemilihan yang mengakibatkan hanya terdapat satu pasangan calon.

Pelajaran 1.

Pada sengketa pertama atau gugatan pertama telah memberikan pelajaran agar KPU memperhatikan penafsiran hukum yang berdasarkan pada asas atau teori hukum atau mengembalikannya kepada nilai-nilai demokratis, yaitu suara pemilihwarga banjarbaru, sehingga penafsiran yang “pragmatis” yang langsung atau tidak langsung menguntungkan salah satu pihak dinyatakan “keliru”. Hal ini telah menunjukan adanya perjuangan Tim HANYAR (Haram Menyarah) yang dimotori olehDeny Indrayana dan M.Fejeri telah mewarnai perjuangan hak demokrasi warga kota Banjarbaru, sehingga pemikiran hukum yang diajukan disertai dengan dalil yang kuat (fakta hukum) mampu meyakinkan Majelis Hakim MK yang buahnya kemudian dilakukan PSU.

Pelajaran 2

Pada gugatan kedua yaitu gugatan dari hasil PSU dengan dalil adanya kecurangan yang terstruktur dan sistematis (TSM) dalam penyelenggaraan PSU tidak mampu meyakinkan Majels Hakim MK untuk diteruskan ke tahap siding pembuktian. Hal ini berbeda dengan Gugatan Pertama (pelajaran 1), karena narasi kecurangan yang dibangun dengan bukti bukti tidak langsung, yaitu bukti konten atau tayangan yang beredar di media social, artinya tidak ada bukti yang langsung terkait dengan peristewa TSM yang di dalilkan. Seperti kata “disiram”, percakapan di group WA dipandang sebagai bukti yang tidak langsung sehingga tidak meyakinkan atau berstatus asumsi.

Dari kondisi ini, silahkan kita pertanyakan apakah secara factual memang telah terjadi kecurangan TSM yang dimaksudkan ? tentu masyarakat Banjarbaru yang lebih mengetahuinya, akan tetapi kebenaran hukum yang dipilih oleh Majelis Hakim MK adalah kebenaran yang meyakinkan secara hukum.

Pelajaran 3

Pilkada harus dikembalikan kepada tujuannya, yaitu memilih pemimpin daerah, karena dengan terpilihnya pimpinan daerah maka diharapkan proses pembangunan atau proses mensejahterakan rakyat dapat direalisasikan dengan maksimal.  Oleh karena itu pandangan adanya pertimbangan “kemaslahatan” lain juga menjadi penting untuk kita renungkan. Faktor biaya Pilkada, factor Pembangunan, factor ketenangan dan ketenteraman masyarakat, factor kesatuan dan persatuan juga menjadi tempat kepentingan bersama disamping nilai nilai demokratis yang ideal.

Akhirnya kita memang memerlukan kelompok yang selalu kritis untuk memperjuangkan nilai-nilai demokrasi yang ideal agar demokrasi kita tumbuh semakin dewasa dan bermartabat, namun kita juga dalam menuju proses demokrasi yang ideal itu tidak menampikkan adanya mashlahat atau kepentingan lain yang juga menjadi kebutuhan masyarakat kita. Suka atau tidak suka, paradigma Konsensus menghormati dengan bijak kita kedepankan setelah putusan MK ini.

Selamat Menjalankan Amanah Walikota dan Wakil Walikota BanjarBaru untuk Lisa & Wartono. Terimakasih kepada Tim Hanyar yang telah berjuang untuk demokrasi yang lebih baik bagi banua dan Kota banjarbaru. Tidak ada kata kalah dan menang, yang ada adalah pelajaran atau hikmah yang bisa kita ambil dari Proses akhir Pilkada Kota Banjarbaru ini.

Lensa Banua Senin 02 Juni 2025

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini