
“RATIK DAN HUNDANG” (SAMPAH & UDANG) (SERI SECANGKIR KOPI SERIBU INSPIRASI)
Oleh : Syaifudin
SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Sahabat kita dr.IBG Dharma Putra menulis secara reflektif tentang Udang dan Ratik yang melihat dari sisi filosofis eksistensi Udang yang mempunyai kelebihan baik itu harta, ilmu atau kekuasaan, namun dalam pergaulan ia “merendah” yang seolah-olah ia hanyalah orang “biasa” atau cenderung “tak berarti” apa-apa ibarat ratik (baca : sampah) yang tidak berguna. Dalam berbagai makna hal ini bisa digambarkan sebagai “sifat rendah hati”, tidak mau menonjolkan diri, atau menampilkan sosok yang bertolak belakang dari kondisi kapasitas diri dia yang sebenarnya.
Sifat yang seperti ini tentu dinilai “mulia” karena terhindar dari sifat “menyombongkan diri” dari kelebihan yang dipunyai atau diraihnya dalam kehidupan, dan sifat ini lahir dalam tradisi budaya masyarakat “pluralis consensus” yang mengedepankan kedamaian dalam kehidupan Bersama, sehingga menjauhi kondisi-kondisi yang bisa menjadikan adanya konflik dalam menjalani dan berjuang memenuhi kebutuhan kehidupan.
Dalam pandangan “eksistensialis” sifat yang seperti ini justeru dianggap sikap yang terkena “racun” dari ajaran-jaran kebersamaan kemuliaan hidup yang tidak sejalan dengan naluri manusia. Naluri manusia itu sendiri adalah perjuangan untuk memenangkan kehidupan, ia akan berkuasa kalau ia pandai, berkuasa atau berharta, oleh karena itu kepandaian, kekuasaan dan harta harus ditunjukan untuk menunjukan kekuasaan manusia pada manusia lainnya. Salah sendiri manusia ditindas karena kebodohannya, dan kalau mau tidak ditindas maka jadilah manusia pandai atau berilmu. Jadi Udang mesti bilang sebagai udang, agar semua spices bisa menjadi udang.
Dalam pandangan moderat antara ratik dan udang itu tentu kita juga bisa melihat sisi sisi kompromi dengan mendiskursuskan, bahwa udang dan ratik itu dua sosok yang sesungguhnya saling memerlukan dan saling mengadakan eksistensinya, artinya dalam skala nilai spices kehambaan ia bernilai sama, karena “tidak ada ratik akalau tidak ada udang dan sebaliknya kita tau bahwa itu udang karena ada ratik”, oleh karena itu manakala “maqam” hidup kita adalah “ratik”, maka berbuatlah dan jujurlah sebagai ratik sambil berusaha atau berikhtiar menjadi “udang”, begitu pula kalau maqam kita adalah udang, maka jujur dan berbuatlah sebagaimana “udang”. Tentu dengan catatan suatu keniscayaan akan selalau ada maqam ratik dan maqam udang dalam kehidupan ini, oleh karena itu kesadaran yang dibangun adalah bukan untuk menghinakan dan menyombongkan diri, melainkan saling melengkapi, saling membantu dan saling mengadakan.
Apakah kita ini “ratik” atau “udang”, semuanya tergantung dari sisi dan posisi mana kita berada atau diposisikan, diri kita ini sesungguhnya ada ratik dan juga ada udang. Saya mungkin ratik dalam ilmu kedokteran, tapi mungkin sudah menjadi udang dibidang ilmu hukum, saya mungkin ratik dalam harta dibandingkan bos-bos kita yang memiliki perusahaan, tapi saya bisa juga dunilai udang oleh keluarga di kampung yang ekonominya tergantung pada pertanian tradisional. Bahkan cerita seorang Guru Besar yang membanggakan ilmunya dihadapan seorang nelayan kecil, namun saat guru besar itu ikut naik perahu nelayan dan berada ditengah laut, ia adalah ratik lantaran tidak bisa berenang saat perahu mau tenggelam, nelayan itulah udangnya.
Sabahat ! ternyata kita ini hanyalah udang bapadah ratik dan sekaligus ratik bapadah udang yang dengan kesadaran udang dan ratik itu adalah sama-sama “hamba”.
Salam secangkir kopi seribu inspirasi.