
BOLEHKAH SECARA HUKUM SEORANG KEPALA DAERAH
MENGANGKAT ANAK KANDUNG MENJADI KOMISARIS BANK MILIK DAERAH ?
Oleh : Syaifudin
Pengantar
Karena ramai dibicarakan dan dikomentari di media social dan ditulis di media online, saya mencoba menanyakan permasalahan kepada Asisten AI, dengan isue “ apakah seorang Kepala Daerah diperbolehkan mengangkat anank kandungnya menjadi Komisaris Bank Milik Daerah ditinjau dari Undang_undang Anti KKN?”, dan jawabannya akan saya muat utuh di bagian bawah tulisan ini.
Namun sebelumnya saya ingin menyampaikan beberapa catatan yangl terkait dengan aturan hukum dan penafsirannya dalam undang-undang Anti KKN tersebut sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang PENYELENGGARA NEGARA YANG BERSIH DAN BEBAS DARI KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME.
Pengertian Nepotisme ?
Dalam kajian hukum pidana dalam sub masalah kajian “perbuatan pidana”, maka yang pertama dikaji adalah perbuatan seperti apa yang termasuk sebagai perbuatan nepotisme tersebut. Untuk menjawabnya kita bisa menggunakan penafsiran hukum, seperti Penafsiran Otentik atau penafsiran formal atau penafsiran yuridis, yaitu penafsiran yang dilakukan oleh Undang_undang itu sendiri, baik yang termuat dalam pasal 1 atau pada bagian penjelasannya.
Dalam Konstruksi Nepotisme sebagai “Perbuatan Pidana” atau “Tindak Pidana” dirumuskan secara pararel, yaitu Pasal 1 angka 5 yang memuat pengertiannya, Pasal 5 angka 4 mengatur Larangan Melakukan Neptisme dan Pasal 22 mengatur tentang sanksi pidananya. Oleh karena apa yang dimaksud dengan perbuatan nepotisme sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, maka kita telusuri pengertian nepotisme itu sendiri sebagaimana disebutkan pengertiannya oleh Pasal 1 angka 5, yaitu“ Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara”.
Dari pasal 1 angka 5 ini secara unsur perbuatan dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Perbuatan yang dilarang adalah perbuatan penyelenggara negara;
2. Perbuatan tersebut bersifat melawan hukum;
3. Perbuatan tersebut menguntungkan : Keluarganya, dan atau Kroninya diatas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.
Untuk rumusan unsur 1, berupa subjek hukum pidananya yang mempunyai kekhusussan, yaitu hanya subjek hukum dalam kapasitas “penyelenggara negara”, lalu siapa penyelenggara negara itu ? Dalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang Anti KKN ini juga menyebutkan pengertiannya, yaitu “Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang funsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku”. Kalau kita lihat pada Undang-Undang Pemerintahan Daerah, khususnya UU No. 23 Tahun 2014, yang disebut penyelenggara negara itu meliputi Pemerintah Daerah dan DPRD. Sedangkan Pemerintah Daerah terdiri dari gubernur, bupati, atau walikota, serta perangkat daerah yang membantu penyelenggaraan pemerintahan. Dan dalam pasal 2 UU Anti KKN juga disebutkan siapa saja yang termasuk penyelenggara negara itu, yaitu :
(1) Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara; (2) Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara; (3) Menteri; (4) Gubernur; (5) Hakim; (6) Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan (7) Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Unsur Melawan Hukum, unsur 2.
Secara umum unsur melawan hukum ini dalam kajian hukum pidana dibahas adanya pengertian yang sempit dan pengertian yang luas. Dalam artian sempit setiap perbuatan disebut melawan hukum kalau bertentangan dengan aturan yang termuat dalam perundang-undangan (hukum positive) yang padanannya dalam bahasa Belanda disebut “wet”. Sementara pengertian yang lebih luas adalah setiap perbuatan yang bertentangan dengan hukum yang tidak hanya termuat dalam undang-undang akan tetapi juga bertentangan dengan kepatutan dalam masyarakat atau disebut hukum yang tidak tertulis, sehingga istilah yang dipakai dalam bahasa Belanda adalah “recht”, oleh karena itu “recht” tidak sama dengan “wet” atau pengertian “recht” lebih luas dari “wet”. Termasuk dalam istilah “recht” ini adalah Asas Asas Umum Pemerintahan Yang Baik sebagaimana juga disebutkan dalam Pasal 1 angka 6 UU Anti KKN, yaitu “ Asas Umum Pemerintahan Negara Yang Baik adalah asas yang menjunjung tinggi norma kesusilaan, kepatutan dan norma hukum, untuk mewujudkan Penyelengara Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme”. Terminologi lain menyebutnya unsur melawan hukum formal untuk pengertian sempit, dan unsur melawan hukum meteriel untuk pengertian yang luas tersebut. Dalam unsur melawan hukum materiel inilah dalam hukum pidana mempunyai dua fungsi, yaitu fungsi positif berarti “mengadakan pidana” dan fungsi negative yang berarti meniadakan pidana.
Unsur Menguntungkan, unsur 3.
Dalam penafsiran gramatikal Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), keuntungan berarti hal mendapat untung (laba) atau untung itu sendiri. Secara lebih luas, keuntungan dapat diartikan sebagai selisih lebih antara harga penjualan yang lebih tinggi dari harga pembelian atau biaya produksi.
Dalam penafsiran sistematis, UU Anti KKN adalah bagian dari sub system dari Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sehingga istilah menguntungkan tersebut terkait dengan keuangan negara atau keuntungan dibidang ekonomi, karena Tindak Pidana Korupsi itu berada dalam regim perbuatan yang menimbulkan kerugian keuangan negara. Oleh karena itu, keuntungan yang dimaksudkan adalah berupa keuntungan ekonomis.
“Dari penjelasan tersebut, dapatlah dimengerti mengapa terjadi perdebatan pro dan kontra terhadap adanya seorang Kepala Daerah sebagai pemegang saham mayoritas pada Bank Milik Daerah, kemudian mengusulkan dan mengangkat atau melantiknya sebagai Kimisaris pada Bank tersebut”.
JAWABAN AI :
Berikut saya muat utuh dan saya disclamer sebagai Hasil Riset AI tentang masalah hukum seperti yang termuat dalam judul tulisan ini.
Fenomena kepala daerah mengangkat anak kandung sebagai komisaris bank milik daerah memang kerap menjadi sorotan dan menimbulkan pertanyaan serius terkait kepatutan dan potensi pelanggaran undang-undang anti-KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Mari kita kaji hal ini berdasarkan Undang-Undang yang relevan di Indonesia.
Dasar Hukum Utama:
Undang-Undang yang menjadi landasan utama dalam kasus ini adalah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (UU 28/1999). Undang-undang ini secara khusus bertujuan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bertanggung jawab.
Poin-Poin Penting dalam UU 28/1999 yang Relevan:
* Definisi Nepotisme: Pasal 1 angka 5 UU 28/1999 mendefinisikan nepotisme sebagai setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.
* Larangan Nepotisme: Pasal 5 angka 4 UU 28/1999 dengan tegas menyatakan bahwa setiap Penyelenggara Negara dilarang melakukan nepotisme.
* Sanksi Pidana: Pasal 22 UU 28/1999 menyebutkan bahwa setiap Penyelenggara Negara yang melakukan nepotisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 4 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).
Analisis Terhadap Kasus Pengangkatan Anak Kandung Sebagai Komisaris Bank Milik Daerah:
Ketika seorang kepala daerah mengangkat anak kandungnya menjadi komisaris bank milik daerah, ada beberapa aspek yang perlu dianalisis dari kacamata UU 28/1999:
* Penyelenggara Negara: Kepala daerah adalah “Penyelenggara Negara” sebagaimana didefinisikan dalam UU 28/1999.
* Kepentingan Keluarga: Anak kandung jelas termasuk dalam kategori “keluarganya” sebagaimana dimaksud dalam definisi nepotisme.
* Melawan Hukum dan Menguntungkan Kepentingan Keluarga: Isu utama adalah apakah pengangkatan tersebut dilakukan secara “melawan hukum” dan “menguntungkan kepentingan keluarganya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.”
* Melawan Hukum: Meskipun tidak ada larangan eksplisit dalam peraturan perbankan atau tata kelola perusahaan yang secara langsung melarang anak kepala daerah menjadi komisaris, namun praktik ini dapat dianggap “melawan hukum” jika proses pengangkatannya tidak transparan, tidak berdasarkan meritokrasi, atau terdapat penyalahgunaan wewenang. Kualifikasi dan kompetensi anak kandung tersebut harus menjadi faktor utama, bukan karena hubungan kekerabatan.
* Menguntungkan Kepentingan Keluarga: Jabatan komisaris, apalagi di bank milik daerah, adalah posisi strategis yang memberikan gaji, tunjangan, dan pengaruh signifikan. Jika pengangkatan ini didasarkan pada hubungan kekeluargaan dan bukan semata-mata pada kualifikasi dan pengalaman yang relevan, maka hal ini dapat diinterpretasikan sebagai upaya untuk menguntungkan kepentingan keluarga kepala daerah. Keuntungan ini tidak hanya finansial, tetapi juga potensi akses informasi dan pengaruh yang bisa disalahgunakan.
* Di Atas Kepentingan Masyarakat, Bangsa, dan Negara: Bank milik daerah seharusnya beroperasi untuk kepentingan pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat. Jika proses seleksi komisaris tidak obyektif dan mengutamakan koneksi daripada kompetensi, maka ini berpotensi merugikan kinerja bank dan pada akhirnya merugikan kepentingan masyarakat.
Potensi Pelanggaran Etika dan Tata Kelola yang Baik (Good Corporate Governance):
Selain aspek hukum, pengangkatan semacam ini juga sangat rentan terhadap pelanggaran etika dan prinsip tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance – GCG). Prinsip-prinsip GCG menuntut transparansi, akuntabilitas, independensi, dan kewajaran. Pengangkatan yang didasari hubungan keluarga akan menimbulkan persepsi negatif tentang independensi komisaris dan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
Kesimpulan:
Berdasarkan tinjauan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, seorang kepala daerah yang mengangkat anak kandungnya menjadi komisaris bank milik daerah sangat berpotensi melanggar ketentuan tentang Nepotisme.
Meskipun secara tekstual tidak ada larangan mutlak bagi keluarga Penyelenggara Negara untuk menduduki jabatan publik atau jabatan di BUMD, namun jika pengangkatan tersebut dilakukan dengan adanya unsur:
* Penyalahgunaan wewenang sebagai kepala daerah.
* Menguntungkan kepentingan keluarga (anak kandung) secara tidak wajar.
* Tidak didasarkan pada prinsip meritokrasi dan kompetensi yang obyektif.
* Merugikan kepentingan publik (karena kualitas kepemimpinan bank yang tidak optimal atau potensi konflik kepentingan).
Maka praktik tersebut dapat dikategorikan sebagai tindakan nepotisme yang dilarang oleh UU 28/1999 dan dapat dikenai sanksi pidana.
Saran dan Rekomendasi:
Untuk menghindari potensi pelanggaran dan menjaga prinsip tata kelola yang baik, penting bagi setiap pengangkatan pejabat di BUMD, termasuk komisaris, untuk melalui proses yang:
* Transparan: Proses seleksi harus terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan.
* Akuntabel: Kriteria dan alasan pemilihan harus jelas dan dapat dipertanggungjawabkan.
* Meritokrasi: Pemilihan harus didasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan pengalaman terbaik, tanpa memandang hubungan kekerabatan.
* Independen: Komisaris harus mampu menjalankan tugasnya secara independen dan bebas dari pengaruh kepentingan pribadi atau kelompok.
Jika ada dugaan praktik seperti ini, masyarakat atau pihak berwenang dapat melaporkannya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau aparat penegak hukum lainnya untuk dilakukan penyelidikan lebih lanjut.
Seri Lensa Banua Versi SCNEWS.ID