PRABOWONOMICS (SERI OPINI IBG DHARMA PUTRA)

PRABOWONOMICS
Antara Kritik dan Dukungan
Oleh : IBG Dharma Putra

“…Prabowonomics bukan sekadar konsep ekonomi, melainkan cermin kecerdasan menghadapi paradoks, mempunyai nyali untuk melawan kutukan SDA, menata ulang ekonomi negara dan usaha, serta membangun budaya antikorupsi sebagai fondasinya. Sebuah awal dari wajah nusantara yang unik dan ikonik serta terkemuka di mata dunia”.

SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Pergantian Menteri Keuangan dari SMI ke PYS, amat sangat mengagetkan sekaligus membuat cemas oleh optimisme ekstrim yang dilontarkan Menteri Keuangan Baru. Lontaran strategis itu, oleh Noorhalis Majid, seorang aktivis tulus serta berintegritas di Kalimantan Selatan, disebutnya sebagai strategi yang masuk akal tetapi masih harus mempertimbangkan adanya mekanisme pasar dengan invisible hand untuk kompromi.

Mencoba memahami pernyataan itu, dicoba secara langsung melakukan apresiasi kritis ke pusat ide Prabowonomics. Konsepsi yang dapat dikatakan sebagai panggilan nurani, membuat pertumbuhan ekonomi sebagai pusat perhatian pembangunan.

Prabowonomics muncul dari balik kepedulian seorang pemimpin yang melihat kesenjangan ekonomi di negeri ini bukan lagi sekadar angka statistik, melainkan kenyataan yang dirasakan oleh rakyat. Bersemboyan sederhana tapi sarat makna, ekonomi untuk rakyat, bukan rakyat untuk ekonomi.

Prabowonomics membawa optimisme karena akan menempatkan masyarakat sebagai tujuan, bukan sekadar alat, termasuk dengan menilik langsung paradoks perekonomian negeri, yaitu melimpahnya sumber daya alam yang potensial menjadi kutukan, serupa dengan kemerosotan ekonomi yang dikenal dengan Penyakit Belanda.

Prabowonomics belajar dari sejarah ekonomi dunia, memperlihatkan bahwa limpahan SDA membuat manufaktur dan produktivitas mandek disertai maraknya korupsi dan bobrok politik. Untuk mengatasinya, ditampilkan ide ekonomi konstitusi, menempatkan negara di titik sentral sesuai amanat pasal 33 UUD 1945. Negara berharap dapat bersikap adil hingga kekayaan negara digunakan setinggi tingginya untuk kesejahteraan masyarakat.

Paradoks dilawan dengan paradoks, harmoni tarikan antara sosialisme dan liberalisme dalam satu bingkai kebangsaan. Di situlah big push strategy dirancang, yaitu dorongan besar investasi negara di sektor terabaikan, sembari mengajak seluruh pelaku ekonomi, sosialistis atau liberalis, untuk duduk bersama dalam meja pembangunan.

Namun, big push bukan perkara mudah. Dunia usaha bergerak dengan logika zero sum game, diwarnai ambisi keuntungan dan kerakusannya yang sulit dielakkan. Karenanya negara hadir dengan instrumen kendali serta daya dorong, melalui holding bernama Danantara.

Di sinilah letak simpul kritik sekaligus dukungan. Kritik muncul karena Danantara yang amat mirip konglomerasi pada hakikatnya berpijak logika liberalisme, bertolak belakang dengan strategi pendiri bangsa yang memilih mendirikan banyak badan usaha dengan spesialisasi untuk saling menopang dan saling memperkuat.

Korupsi dan manipulasi yang kerap terjadi pada pengelolaan BUMN juga mengingatkan bahwa konglomerasi tanpa budaya antikorupsi hanya akan memperburuk keadaan. Untuk itu, maka transformasi tidak boleh berhenti pada bentuk kelembagaan, melainkan harus menembus ke mentalitas, membangun budaya jujur, bersih, dan transparan.

Masukan dari dunia usaha bahwa transformasi ekonomi bersifat multipolar,hingga berkewajiban membuka ruang inovasi, kewirausahaan serta iklim usaha kondusif dan pembiayaan baru, wajib diterima secara arif dengan pemenuhan lima prasyarat utama, kepastian hukum serta regulasi, strategi lintas sektor, peningkatan produksi dan riset, penguatan UMKM supaya mengadopsi ekonomi berkelanjutan dan inklusif serta pembangunan infrastruktur konektivitas untuk menurunkan biaya logistik.

Dari titik ini, kritik dan dukungan bertemu dalam satu benang merah, Prabowonomics hanya bisa berjalan jika ada keseimbangan holistik antara negara sebagai penuntun, dunia usaha sebagai penggerak dan rakyat sebagai tujuan. Negara tidak boleh larut dalam ilusi konglomerasi yang rentan korupsi, sementara dunia usaha tak bisa sekadar menuntut insentif tanpa kesediaan berbagi risiko.

Indonesia ditantang untuk menuntaskan dialog paradoks. Menjadi bangsa yang tidak hanyut ke kiri atau kanan, melainkan ditengah, sebagai pembuat harmoni, penjaga keseimbangan, dan perajut keberagaman menjadi kekuatan. Negeri yang tak canggung sekaligus tak tanggung, tapi bangsa yang matang dalam dialektika, dewasa dalam pilihan, dan cemerlang dalam tindakan.

Mari jadikan Prabowonomics bukan sekadar konsep ekonomi, melainkan cermin kecerdasan menghadapi paradoks, mempunyai nyali untuk melawan kutukan SDA, menata ulang ekonomi negara dan usaha, serta membangun budaya antikorupsi sebagai fondasinya. Sebuah awal dari wajah nusantara yang unik dan ikonik serta terkemuka di mata dunia.

Banjarmasin
11092025

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini