Melihat sejarah sejak zaman prehistorik, tidak ada satu pun penduduk Indonesia yang benar-benar bisa disebut pribumi. Kita semua adalah pendatang. Tanah air ini diperjuangkan bersama untuk berdiri dalam persatuan, melawan penjajah yang mengganggu ketenteramannya. Kemerdekaan Indonesia dapat dicapai akibat bantuan seluruh elemen masyarakat. Mulai dari laki-laki, perempuan, orang tua, anak muda, semuanya terlibat untuk membebaskan bangsa dari jeratan para penjajah. Termasuk pula para keturunan Tionghoa yang menetap di Tanah Air. Tanpa pandang bulu, tanpa melihat ras dan suku, para pejuang keturunan Tionghoa ini bertarung mati-matian membela rakyat. Ada yang terjun di arena pertempuran, terlibat dalam ranah politik, hingga bergerak sebagai mata-mata dan tenaga medis.
Berikut tokoh-tokoh keturunan Tionghoa terlibat dalam mencapai kemerdekaan Republik Indonesia :
1. John Lie
John Lie atau yang kerap dipanggil Daniel Dharma adalah pejuang keturunan Tionghoa. Lahir di Manado pada 9 Maret 1911, John Lie merupakan perwira Angkatan Laut RI di masa penjajahan Jepang. Awalnya, ia menuntut ilmu di sekolah berbahasa Belanda, Hollands Chinese School dan Christelijke Lagere School di Manado. Namun ketika menginjak usia 17 tahun, ia nekat pergi dari kampung halamannnya menuju Batavia untuk mendapatkan pendidikan militer.
Salah satu kontribusi besar John Lie yang membuat namanya terkenal adalah ia berhasil menembus blokade Belanda di Sumatra dan menukar komoditas Indonesia dengan senjata. Kapal yang dipimpin oleh Laksamana Muda ini juga sangat lincah, selalu lolos dari bidikan musuh. Pada tahun 1950, Lie juga dikenal aktif dalam menumpaskan gerakan pecah belah Republik Maluku Selatan (RMS) dan pemberontakan PRRI. Masih banyak lagi kontribusi John Lie terhadap kemerdekaan RI. Itulah kenapa, ia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional di tahun 2009 lalu.
7. Lie Eng Hok
Lie Eng Hok lahir di Balaraja, Tangerang, pada 7 Februari 1893. Ia adalah salah satu tokoh Tionghoa yang terlibat aktif dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Ia mengawali kariernya sebagai jurnalis di surat kabar Tionghoa bernama Sin Po pada tahun 1910-an. Namanya mulai dikenal pada tahun 1926 setelah mempelopori gerakan pemberontakan di Banten terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pada peristiwa itu, massa pribumi bergerak merusak jalan, rel kereta api, instalasi listrik, dan semua properti milik penjajah.
Dalam pemberontakan ini, Lie Eng Hok diam-diam mengamati gerak-gerik pasukan Belanda dan mengirimkan informasi-informasi yang ia dapatkan kepada para pejuang. Karena tindakan tersebut, ia sempat ditahan dan diasingkan ke Boven Digoel (Tanah Merah), Papua selama lima tahun, yakni dari 1927 hingga 1932. Selama pengasingan, Lie Eng Hok menolak bekerja sama dengan pemerintah Belanda walaupun telah diberikan iming-iming. Ia lebih memilih hidup serba kekurangan dengan membuka kios tambal sepatu.
Jasa-jasa Lie Eng Hok pun diakui oleh pemerintah Indonesia. Pada tahun 1959, dua tahun sebelum ia meninggal, pejuang tersebut diangkat menjadi Perintis Kemerdekaan RI. Ia kini dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal, Semarang.
8. Sho Bun Seng
Sho Bun Seng sebenarnya merupakan penggiat seni di masa penjajahan Belanda. Ia aktif dalam kelompok sandiwara bernama Dardanela di Aceh pada tahun 1920-an. Dari situlah sikap anti-Belanda dan rasa cintanya terhadap Tanah Air tumbuh. Sekitar tahun 1926, ia pindah ke Padang, Sumatra Barat dan bergabung ke dalam kelompok gerilya yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Ismail Lengah. Bun Seng yang berbakat dalam sandiwara pun mendapatkan tugas memata-matai Pao An Tui, sebutan untuk kelompok Tionghoa yang pro terhadap Belanda.
Langkah Bun Seng dalam membela NKRI terus berlanjut hingga pasca kemerdekaan. Ia bergabung dengan Batalyon Pagarruyung, terlibat dalam menumpaskan pemberontakan DI/TII, dan berbagai aktivitas berbahaya lain demi mencapai Indonesia yang benar-benar merdeka. Pada tahun 1958, ia pun memutuskan berhenti dari dunia militer dan kembali menggeluti seni. Sho Bun Seng meninggal pada usia 89 tahun di tahun 2000. Almarhum dijemput oleh pasukan kehormatan dan dimakamkan secara militer di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
9. Tjia Giok Thwam
Tjia Giok Thwam atau yang dikenal sebagai Basuki Hidayat adalah pejuang keturunan Tionghoa yang berasal dari Surabaya, Jawa Timur. Lelaki kelahiran 1927 ini telah terlibat dalam pertempuran melawan Belanda sejak berusia 18 tahun. Saat itu ia bergabung dalam Pasukan 19 Corps Mahasiswa Djawa Timur (CMDT). Perjuangan Basuki Hidayat terus berlanjut hingga tahun 1950. Ia melaksanakan tugas terakhirnya sebagai pasukan gerilya CMDT. Setelahnya, ia resmi mundur dari dunia militer dengan pangkat terakhirnya yakni Letnan Dua (Letda) untuk melanjutkan studinya di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya.
Pada tahun 1958, Tjia Giok Thwam menerima sejumlah tanda kehormatan atas jasa-jasanya sebagai pejuang kemerdekaan. Di antaranya adalah Satyalencana Perang Kemerdekaan Kedua, anggota Veteran RI, serta Satyalencana Peristiwa Gerakan Operasi Militer Kesatu. Ia juga dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Suropati, Malang, Jawa Timur dalam peti berhiaskan bendera merah putih.
10. Ferry Sie King Lien
Berikutnya ada Ferry SIe King Lien. Lahir tahun 1933, ia besar di keluarga mapan yang memiliki pabrik gelas di Karditopuran, Surakarta, Jawa Tengah. Walaupun masa depannya bisa dibilang terjamin, Sie King Lien dengan berani mengambil risiko sebagai pejuang kemerdekaan. Saat berusia 16 tahun, ia ikut mengangkat senjata dalam pertempuran di Solo tahun 1949. Ia bersama empat rekannya, yaitu Tjiptardjie, Salamoen, Semedi, dan Seohandi diberi misi khusus oleh pimpinan. Mereka harus memberikan dorongan kepada rakyat untuk ikut berjuang. Kelima orang itu pun membuat berbagai coretan di tembok, membagikan selebaran, dan menangkis berbagai propaganda pemecah belah yang digaungkan oleh Belanda. Mereka juga bertugas menembaki markas pasukan Belanda di malam hari secara gerilya.
“Eens kompt de dag dat Republik Indonesia zal herrijzen” adalah coretan Sie King Lien yang paling memantik semangat rakyat Solo saat itu. Kalimat tersebut berarti ‘Suatu hari Republik Indonesia akan muncul kembali’. Sayang sekali, Sie King Lien dan keempat temannya diserang oleh tentara Belanda di tengah pertempuran. Sejumlah peluru menyasar tubuh Sie King Lien dan Soehandi. Keduanya gugur seketika sedangkan tiga kawan lainnya berhasil meloloskan diri. Perjuangan Sie King Lien memang berhenti di usia 16 tahun, namun jasa-jasanya begitu besar dalam pertempuran Solo saat itu. Ia pun dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Jurug, Solo, Jawa Tengah sebagai satu-satunya keturunan Tionghoa.
11. Ong Tjong Bing
Pejuang kemerdekaan keturunan Tionghoa terakhir di daftar ini adalah Ong Tjong Bing atau yang dikenal juga sebagai Daya Sabdo Kasworo. Berbeda dengan lainnya, ia berjuang sebagai dokter yang merawat korban pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, Jawa Timur. Setelah menempuh pendidikan sebagai dokter gigi di tahun 1953, Ong Tjong Bing pun bergabung di dunia militer sebagai pegawai sipil. Singkat cerita, ia mendapatkan gelar kapten dua tahun setelahnya di bawah Resimen Infanteri RI-18 di Jawa Timur.
Selama menggeluti bidang militer, ia aktif menumpas beberapa gerakan pemberontakan, seperti DI/TII, operasi PRRI-Permesta, hingga Mandala-Trikora. Ong Tjong Bing juga diminta untuk mendirikan rumah sakit militer di Jayapura dan menjadi Kepala Kesehatan Kodam Cendrawasih pertama di sana. Hingga akhirnya pejuang tersebut pensiun pada tahun 1976 dengan menyandang pangkat Letnan Kolonel.
12. Soe Hok Gie
Nama Soe Hok Gie mungkin sudah tak asing lagi bagimu. Meskipun tidak terlibat langsung dalam pertempuran kemerdekaan, Soe Hok Gie adalah tokoh keturunan Tionghoa yang patut untuk diteladani. Lahir di Jakarta, 17 Desember 1942, Soe Hok Gie adalah aktivis reformasi yang menentang kediktatoran pemerintahan Indonesia saat itu. Ia sangat gencar menyuarakan pemikirannya melalui tulisan yang dipublikasikan di koran Kompas, Sinar Harapan, Harian Kami, Mahasiswa Indonesia, hingga Indonesia Raya.
Bisa dibilang bahwa Soe Hok Gie adalah salah satu pelopor gerakan mahasiswa yang mengkritisi pemerintah. Bahkan banyak yang meyakini bahwa Gie adalah salah satu kekuatan yang berhasil menumbangkan pemerintahan Soekarno. Gie meninggal di usia yang sangat muda pada tahun 1969, tepat sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27. Ia meninggal ketika mendaki Gunung Semeru bersama dengan teman-temannya.
Saking inspiratifnya, catatan-catatan harian Soe Hok Gie pun dicetak menjadi buku dan difilmkan dengan judul Gie pada tahun 2005.
Selain yang disebutkan di atas, sebenarnya masih banyak pejuang keturunan Tionghoa lainnya yang mungkin tidak mendapatkan sorotan. Kegigihan mereka patut untuk dikenang dan diteladani. Mari bersama-sama menjaga Indonesia dan hilangkan semua sentimen rasial agar bangsa kita bisa lebih maju di masa depan.
(Dari Berbagai Sumber)