SCNEWS.ID-BANJARMASIN. Sore itu suasana puncak gunung terlihat tidak begitu ramai orang yang naik, udara sore ditandai oleh berhembusnya angin cukup kencang, sehingga bisa menerbangkan topi pengunjung yang memakai topi kalau tidak di ikat atau dipegangi, rambut para kaum hawa terurai alami oleh terpaan angin itu, sementara yang memakai jilbab terlihat ujung jilbabnya ikut menari menari dengan tiupan angin. Matahari sudah turun ke sela-sela perbukitan yang ada di sebelah Barat, cahayanya memancar ke atas menerpa awan-awan yang ada di atasnya, bak lukisan-lukisan abstrak yang menakjubkan dan terkadang terlihat pola-pola tertentu membentuk huruf atau angka atau lukisan dalam bentuk tertentu, warnanyapun beragam, dari putih sampai kekuning-kuningan, ada yang biru dan ada yang sudah gelap. Inilah lukisan alam yang membawa ketakjuban bagi siapapun yang memandang dan merasakan eksistensi kebesaran Sang Pencipta yang berada dibalik gejala dan keindahan alam itu.
“Alhamdulillah kita sudah sampai di Puncak” kata Darel dan langsung disahut oleh semua teman-temannya “Alhamdulillah”, “ayu kita naik ke perahu itu”, ajak Hendra, Ok bos, kita kesana semua dulu” celetuk Darel dan Wisnu, sedangkan Sinta dan Andini sibuk membetulkan lipatan ujung jilbabnya yang terbang melambai seperti daun yang terjuntai menari-nari ditiup angin, akibatnya lehernya yang putih bersih sesekali tersingkap terlihat.
Puncak ini disebut sebagai “Puncak Kiram”, karena gunungnya berada di Kawasan Desa Kiram, di atas puncak itu dibangun oleh pengelola sebuah reflika perahu besar yang sebagian ber atap dan sebagian dibiarkan lagi terbuka, banyak pengunjung yang berfoto atau berswafoto di atasnya dengan pemandangan alam pegunungan yang hijau dan lukisan awan disekitarnya. Biasanya terdapat dua waktu ramae yang banyak ditunggu oleh penikmat pemandangan alam, yaitu waktu pagi hari menjelang dan saat matahari terbit, dan kedua waktu sore hari menjelang dan saat matahari tenggelam, karena di dua waktu ini pemandangan langit dan pegunungan begitu indahnya dengan nuansa alam yang berbeda dibandingkan saat melihat matahari terbit dan tenggelam di lautan. Bagi yang sering melihat matahari terbit dan tenggelam di laut, tentu akan melihat seolah-olah matahari muncul atau terbenam secara perlahan di permukaan laut, dengan panorama atasnya yang menakjubkan. Begitu juga saat matahari terbit dan tenggelam di pegunungan yang dilihat dari puncak gunung, seperti layaknya matahari secara pelan muncul dan tenggelam disela perbuktikan, dengan panorama langit yang menakjubkan pula.
“Subhanallah” kata Darel menunjukan kekagumannya pada Alam Ciptaan yang Maha Kuasa, sambal bergumam “walhamdulillah”, “wallahhuakbar”. Batinnya bergetar memuja dan memuji kebesaran Sang Pencipta. “Ayuu Darel kita ke ujung perahu ini untuk berfoto” ajak Santi yang lagi tadi selalu dipepet oleh Hendra, “ok Santi, hayoo Hendra, kita kesana”, ajak Darel pada Hendra agar tidak terjadi salah faham, yang walaupun Darel sangat memahami ada semacam unsur sengaja mengajaknya berfoto tersebut agar tidak selalu berduaan dengan Hendra.
Keasyikan mereka berfoto secara bergantian layaknya seorang model dengan potografi professional, apalagi bergabung Wisnu dan Andini, kecerian, gaya dan candaan menjadikan suasana menyatunya panorama alam sore dengan keramaian mereka. Matahari yang nampak mulai tenggelam seolah sedang ditelan perbukitan telah menghantarkan keredupan cahaya matahari, secara bersamaan mulai terdengar suara-suara kehidupan malam hutan yang sayup-sayup muncul, namun keasyikan itu terhenti seketika setelah mendengar suara azan dari aplikasi smart phone Darel. “Ayooo kita sholat berjamaah dibagian buritan perahu ini”, kalian bisa wudhu dengan air mineral botol ini, yang hemat airnya yaa, karena ajaran wudhu juga dianjurkan untuk menghemat air”, kata Darel.
Kumandang iqomah oleh Wisnu menghantarkan mereka sholat berjamaah dan Darel yang mengimaminya, terlihat khusu mereka berjamaah dibawah kilau kelap-kelip bintang yang mulai terlihat, lampu seri yang sudah menyala disekitar reflika perahu besar tersebut, hembusan angin yang mulai terasa dingin, menjadikan sholat ini begitu istemewa bagi Darel dan kawan-kawannya, tenggelam dalam suasana ibadah dan berdoa bersama serta berdoa masing-masing setelah sholat sunah ba’diah. Tidak seorangpun yang mengetahui apa yang menjadi isi doa masing-masing, tapi terlihat sangat khusu Santi berdo,a dan begitu juga Darel, sementara Hendra terlihat menatap takzim kilauan cahaya emas matahari yang masih terlihat redup disela-sela perbukitan itu.
Secara perlahan setelah sholat, rombongan anak muda ini terpecah tiga bagian, satu bagian Hendra dan Santi yang duduk mengarah matahari terbenam, satu bagian terlihat Wisnu dan Andini yang sambil berjalan disekitar Perahu, sementara Darel belum beranjak dari sajadah sholatnya.
“Kok diam ?” sapa Hendra kepada Santi memulai pembicaraan, Santipun menatap ke muka Hendra sambil perlahan menarik nafas, “aku butuh ketegasanmu tentang apa yang kita bicarakan kemaren malam”, “satu sisi kamu mengatakan masih mencintai saya, tapi disisi lain kamu tidak berdaya dengan kondisi memenuhi kemauan ibu kamu untuk menjodohkanmu”. Santi diam dan Hendrapun belum menjawabnya, “silahkan aja kamu tegaskan, aku siap dan menghormati apapun yang kamu putuskan”… “semua orang memerlukan kepastian terhadap suatu hubungan, apalagi menyangkut hubungan kasih sayang, karena bagi aku kejelasan akan menentukan sikap dan responku terhadap teman-teman dalam pergaulan di Kampus, karena sejak kita jadian setahun yang lalu, aku membatasi sikap untuk menjaga perasaanmu”.
Sampai dititik ini Hendra masih terdiam, entah apa yang difikirkannya, tapi terlihat ada semacam kebingungan juga pada dirinya, satu sisi sebenarnya dia mencintai Santi, karena sosok Santi sangat berbeda dengan perempuan lainnya yang pernah dekat dengannya, apa sesungguhnya yang menarik pada Santi ini terkadang sulit untuk dilukiskan dengan kata-kata atau diucapkan oleh Hendra, tapi fakta selalu dia merasa damai saat dekat dengan Santi. Hatinya berkata, sebenarnya tidak susah untuk mendapatkan gadis dengan kecantikan seperti santi ini, akan tetapi kenapa dia menjadi sangat tertarik dibalik “paras yang nyaris tanpa make up, bibir yang terkadang hanya dibalut dengan pelembab, kalau pakai bedakpun hanya tipis dan alami, tidak pernah melihat adanya bulu mata yang disambung, apalagi lipstik yang minor.
Daya Tarik Santi ini sesungguhnya tidak terletak pada kecantikan wajah dan fisiknya, akan tetapi terletak pada kecerdasan dan akhlak kepribadiannya, seperti yang pernah diulas oleh seorang penulis perempuan “apakah sesungguhnya daya pikat hakiki seorang wanita itu ?, apakah karena kecantikan fisik dan kekayaannya ? sesungguhnya tidak karena itu. Kecantikan hakiki itu justeru terletak pada akhlak dan kepribadiannya, tutur kata yang lembut, perilaku yang sopan, kecerdasan yang mampu ditempatkannya pada kondisi tertentu, sangat perhatian, senyum keikhlasan, tatapan yang lembut penuh makna yang tidak menimbulkan nafsu birahi, semuanya memancarkan keagungan yang membuat hati lelaki jadi terkesan dan kagum.
Dalam hatinya bergumam berdasarkan pengalamannya mengenal banyak gadis “bayangkan kalau kita ketemu perempuan yang sangat rupawan, tapi sombong dan berkata kasar, kaya tapi suka meremehkan orang dan selalu minta diperhatikan, tanpa peduli pada kondisi orang lain, selalu ingin dimanja tanpa mau bemanja, lantas apakah kita akan kagum terhadap gadis atau perempuan jenis seperti ini ?, tentu paling sebentar kita mengaguminya karena kecantikannya tersebut, namun setelah itu kita menjadi tidak “nyaman” dekat dengannya dan tidak ada magnet yang selalu ingin berdekatan dengannya”. Tipe-tipe seperti itulah kebanyakan para gadis yang ditemui oleh Hendra, sehingga Hendra sering gonta ganti pacar. Santi justeru sangat berbeda dengan gadis-gadis yang pernah dipacarinya tersebut, karena dalam diri Santi terdapat kecantikan sederhana yang alami pada wajah dan fisiknya, akan tetapi mempunyai kecantikan kepribadian yang sangat cantik.
“Maaf Santi” kata Hendra sudah mulai membuka suaranya untuk berbicara, “dihadapanmu sekarang aku seperi lelaki yang lemah, dan tidak tegas”, “aku akui itu”, “karena aku benar-benar merasa tidak tahu sikap dan putusan apa yang harus kuambil sekarang”, “saat aku mengirim WA putus kemaren itu, hatiku bergoncang dan sangat menyesal, makanya aku buru-buru ikut Darel datang ke Wisata Alam ini menyusul kamu”, kata Hendra dan langsung terdiam lagi…”ibaratnya kita sekarang berada di puncak bukit ini, maka aku sekarang merasa berada di puncak keraguan”. (Bersambung)