“CINTA YANG MEMOTIVASI PERUBAHAN” (SERI PAHIT MANISNYA KEHIDUPAN DALAM SECANGKIR KOPI BAGIAN 13)
SCNEWS.ID-BANJARMASIN. “Seru nih Darel, pingen tau juga aku sosok gadis yang bisa meruntuhkan hati filosuf ini” seru Santi ditengah lamunan yang diceritakannya terhadap masa lalunya tersebut. “aku cuman minta ke kamu ya Santi syaratnya”, “kok pakai ada syarat segala dalam bercerita masa lalu, sela Santi sambal ketawa. “Ok apa sayaratnya ?, “syaratnya cuman jangan suruh saya menyebutkan nama asli dan melihatkan foto gadis itu” jawab Darel. Agak kaget juga Santi mendengar syarat ini, karena iapun sebenarnya pingen tahu lebih detil tentang sosok sang gadis itu, namun untuk mengetahui bagaimana pengalaman Darel patah hati iapun menerima syarat itu, “ok Darel aku terima syarat itu”, “dan akupun juga berjanji tidak akan menceritakannya ke teman-teman yang lain, sebagai syarat tambahan” kata santi sambil tersenyum.
Udara pegunungan terasa semakin dingin, kilauan kelap kelip bintang dilangit menghiasi langit bersih layaknya permata di atas permadani yang terhampar luas, terdapat tiga bintang yang cerah bersinar bersusun tiga, dikelilingi oleh tiga bintang lainnya yang agak kecil, bintang ini dulunya pernah diceritakan oleh Paman di Kampung seperti bilah bersusun dua yang disebut “baur bilah”, kilauan terang dan kelipnya di Kampungnya dijadikan sebagai pertanda Panen padi yang melimpah. Sepoi angin menerpa semakin dingin, sedingin perasan Darel menerawang kemasa lalunya, namun kerlap-kerlip bintang itu mampu memberikan sinar cahaya yang menerobos waktu ingatannya atas apa yang terjadi pada masa lalu.
“Bercerita masa lalu, seperti kilauan bintang yang kelap-kelip tersebut, mana sisi yang cerah dan mana sisi yang gelap dari cahaya itu sangat tergantung pada posisi dimana kita berada saat memandangnya, bercerita masa lalu telah menyadarkan akan relatifisme yang sulit untuk menentukan versi mana yang benar dan versi mana yang salah atas kejadian yang telah berlalu tersebut. Sudut pandang saya yang bercerita, bisa saja berbeda dengan sudut pandang gadis itu, oleh karenanya saya akan kesamping dulu ya Santi apakah cerita saya ini yang benar atau nanti versi cerita gadis itu yang benar, atau bisa juga benar dua-duanya dalam cara pandang saat itu”, kata Darel.
“Saat pertama aku menerima kepastian sang gadis yang bernama Nita”, oh Nita ya Namanya” sela Santi, maksudku “saya sebut saja Namanya Nita” agar mudah berceritanya, kata Darel menjelaskan maksudnya menyebut nama Nita itu. “Saat Nita syukuran Milad kelahiran Nita, aku diundang ke rumahnya, dan inilah saat yang paling membahagiakan aku, karena aku diterima di rumah itu seperti tamu yang ditunggu oleh Nita”, “dan saat itulah aku mulai terbuka mengungkapkan perasaan terhadapnya”, “tapi anehnya saat itulah muncul kecemasan dalam diriku”.
“Nah, gimana tuh konsepnya saat ada kebahagian sekaligus ada kecemasan” tanya Santi, “sederhana aja, saat saya merasakan kebahagiaan muncul pertanyaan dalam diriku, seberapa lama ini akan bertahan dan bisa dipertahankan”. “Akh! Itu sih kamu ni Darel ada-ada aja, masa saat bahagia kamu memikirkan hal yang belum terjadi, mestinya kan dinikmati aja dulu kebahagiaan itu, jadi jangan mikir yang nga-nga dulu”, timpal Santi. “Itulah kelemahan atau mungkin juga kelebihanku” sela Darel, “saat aku tahu Nita menerima cintaku, sungguh anugerah yang luar biasa dalam kehidupan mudaku, tapi karena terbiasa merenung dengan kondisi social kehidupanku, maka kecemasan itu muncul”.
“Perayaan atau syukuran milad atas hari kelahiran yang sering disebut ulang tahun itu saja sesungguhnya tidak ada dalam kamus kehidupan kami dari Kampung, oleh karena itu saat ada undangan syukuran milad, hatiku bertanya-tanya tentang gaya dan status social keluarga Nita, yang tidak sebanding dengan tradisi dan kondisi social kehidupanku”. Akh! Kamu lagi-lagi ada semacam “rendah diri lagi ya”, sela Santi. “Begitulah perasaanku saat itu, sekali lagi hanya perasaanku yang sebenarnya belum tentu juga apakah begitu kebenarannya kelak ?”.
“Namun yang pasti sejak acara syukuran milad di rumah Nita tersebut oleh teman-teman sekolah saya diproklamirkan sebagai kekasih Nita, sehingga hari-hari sekolah diwarnai oleh keceriaan, semangat baru dan seperti ada tanggungjawab yang mesti dilakukan oleh ku untuk menjaga hubungan ini berjalan dengan baik”. Ibarat seorang pemuda yang kasmaran merasakan nikmatnya punya kekasih yang lama dipuja itu, sebagai pembuktian apa yang pernah dikatakan buya Hamka, “kalau cinta itu ibarat biji bibit tanaman, kalau ia diletakan pada tanah yang subur, maka ia akan tumbuh subur, sebaliknya kalau ia ditempatkan di tempat yang kering tandus, maka hidupnya tidak subur. Begitulah cinta, makala ia tumbuh pada diri dan jiwa yang beriman dan bersyukur, maka ia akan membawa kebahagiaan, tapi apabila ia tumbuh pada jiwa yang kering dan lemah imannya, maka cinta itu tak lebih dari nafsu untuk menguasai orang lain dan sekaligus mengekang hidup kekasihnya, dan tentunya tidak akan membawa kebahagiaan dan kedamain hidup”.
Begitulah cara aku memandang cinta terhadap Nita, dengan iman dan jiwa bersyukur aku benar-benar merasakan kebahagian dan kedamaian saat asmara menggelora, yang kumiliki adalah kesucian cinta, yang sifatnya selalu ingin membahagiakan orang yang dicintainya dan bukan kebahagiaan dirinya sendiri. Namun sudah menjadi hukum alam, manakala kita berbuat untuk kebahagiaan orang lain, maka kita akan merasakan juga kebahagiaan itu. Konsep membahagiakan ini terus menjadi pandangan saya, karena seorang tuan guru pernah bercerita tentang bagaimana cintanya Siti Hadijah kepada Rasulullah, saat beliau berkata “kebahagiaanku terletak pada kebahagiaanmu”, biarlah semua harta yang kumiliki habis, tapi aku masih punya kamu Rasulullah”, oleh karena itu sepanjang hidupku yang kufikirkan hanyalah kebahagiaanmu”.
Menjalani hubungan asmara yang demikian itu, ternyata dalam pandangan Sebagian anak muda terasa aneh, karena tidak hingar bingar kehidupan remaja yang suka nongkrong di café, nonton bioskop dan konser, party dan travelling, akan tetapi hubungan yang lebih kepada saling mengingatkan akan ibadah yang menjadi kewajiban dan yang disunatkan, bertukar fikiran dan pelajaran, bercerita bagaimana ketatnya orang tua mengatur kehidupan keseharian, bagaimana sulitnya meminta ijin kalau mau jalan dengan teman. Oleh karfena itulah hubungan asmara lebih banyak ketemu jiwa dan perasaan daripada fisik, hanya disekolahlah tempat pertemuan fisik kami, khususnya saat berangkat dan pulang sekolah.
Ada anggapan dengan hubungan seperti itu dan pengaturan orang tua yang ketat tersebut adalah hubungan asmara yang tidak normal, ya tentu normal atau tidak itu tergantung dari parameter atau tolak ukurnya, kalau sub culture nya adalah nilai-nilai kebebasan dan glamoritas anak muka “jaman now”, maka mereka menganggap hal tersebut adalah hubungan yang tidak normal. Namun apabila yang menjadi parameternya “nilai-nilai agama” maka hubungan yang seperti inilah yang disebut “normal” dan hubungan yang seperti ini saja juga masih menjadi kontoversi di keluarga Nita dan Darel, karena islam tidak ada mengenal istilah pacaran, yang ada hanya taaruf sebagai kegiatan untuk bertemu untuk berkenalan lebih dalam sebagai proses untuk menuju hubungan berkeluarga”.
“Begitulah Santi, apakah saya bisa disebut pacaran atau tidak dengan Nita ini, sekali lagi tergantung dari sudut mana memandangnya, namun yang pasti bagi akua da perasaan kecocokan, kedamaian dan kebahagiaan saat bersamanya dalam jiwa dan perasaan tersebut. Dan ada lagi yang dahsyat, sosok Nita inilah yang memotivasi hidupku untuk rajin dan giat belajar dalam mencapai cita-cita kehidupan, karena aku yakin dengan penguasaan ilmulah nantinya kehidupanku akan lebih baik dan saat itulah nanti aku akan meminang Nita”.
“Gimana maksudnya cinta terhadap Nita ini sebagai motivasi”, tanya Santi, “begini ya Santi coba perhatikan dalam sejarah perdaban manusia, banyak peristewa dan karya besar dilahirkan karena cinta, seperti Taj Mahal yang menjadi salah satu keajaiban dunia terlahir atas dasar kecintaan Kaisar Shah Jahan pada kekaisaran Mughal di India kepada isterinya Arjumand Banu Begum yang juga dikenal sebagai Mumtaz-ul-Zamani atau Mumtaz Mahal”. “dan begitu banyak karya lainnya di dunia ini yang lahir karena didorong oleh Cinta, walaupun juga banyak cerita tragedy pilu yang lahir karena cinta, namun bagi saya cinta kepada Nita menjadi motivasi yang begitu kuat untuk merubah kehidupan kearah yang lebih baik”. “Semangat perubahan inilah yang menjadi inergi hidupku sampai sekarang sewaktu kita kuliah ini, walaupun Nita sudah tidak bersama aku lagi dalam hubungan sebagai seorang kekasih”.
“Wah, luar biasa itu Darel, seperti orang muda yang sudah berfikir sangat dewasa, kata Santi sambil tersenyum, “lantas faktanya kamu putus ya”, kata Santi lagi. Darel terdiam lagi, hembusan angin yang semakin dingin memaksa Darel mengambil Jaket Jeansnya yang sudah lusuh, begitu juga Santi meraih Jaket Parasut yang dibawanya, pandangan Darel tertuju pada satu panorama yang terlihat menguning pada sudut langit bagian Timur Laut, ada semacam bayangan muncul wajah Nita disana, hatinya menjadi sahdu dan terhenti sejenak untuk bercerita, apalagi ditanya tentang “faktanya putus” yang dikatakan Santi tadi. (Bersambung…)